Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sense of Crisis di Tengah Pandemi

8 Oktober 2020   23:11 Diperbarui: 9 Oktober 2020   01:15 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adagium dari Lord Acton (1834-1902) yang menyatakan bahwa: Power tends to corrupt and absolutely power tends to corrupt absolutely, adalah pengingat bagaimana kekuasaan (apalagi yang absolut) cenderung akan mengundang perilaku yang korup. 

Namun kini sepertinya kekuasaan tak hanya mengundang perilaku yang korup, tetapi juga cenderung menghilangnya 'sense of crisis'. Intinya kekuasaan bisa me-lena-kan hingga lupa tujuan yang awalnya 'serba ideal'.

Belum usai dengan kekecewaan ketika sebulan yang lalu kita dikejutkan oleh manuver DPR dan pemerintah yang mensahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengundang kontroversi. Kini kembali dikecewakan saat DPR setuju untuk mensahkan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang dari awal sudah banyak ditentang berbagai kalangan karena 'diduga' berpihak pada oligarki.

Reaksi keras akan keputusan DPR ini tanpa diduga sangat mengejutkan pemerintah di tengah wabah pandemi yang 'mengharuskan' setiap orang menjaga jarak. Kerumunan para pendemo seakan 'menantang maut' karena abainya sense of crisis dari DPR dan pemerintah.

Hak Konstitusi dan Demokrasi

Ketika Mahfud MD, Puan Maharani, Aziz Syamsuddin, dan seorang staff ahli presiden dengan 'kompak' mempersilakan pihak-pihak yang tidak puas dengan pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja ini untuk melakukan uji materi (judicial review) ke MK, 

sepertinya yang muncul adalah sikap apatis dan distrust seperti yang ditunjukkan Haris Azhar terhadap lembaga MK yang bulan lalu sudah mendapat 'kado' berupa Perubahan Ketiga atas Undang-Undang tentang MK dari pemerintah.

Dalam era negara hukum modern, keberadaan lembaga MK adalah benteng terakhir dalam tatanan hukum.  Karena lembaga inilah yang mempunyai kewenangan besar yang salah satunya adalah menguji materi sebuah undang-undang (Pasal 24C ayat 1). 

Selain memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu, serta memutus atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh presiden dan wapres.

Melakukan uji materi memang hak konstitusional warga negara dalam sebuah negara hukum. Tetapi mengemukakan pendapat pun adalah hak konstitusional warga negara (Pasal 28E ayat 3) sebagai wujud dari sebuah negara demokrasi.

Tidak berbeda jauh ketika Komisi Pemilihan Umum beberapa waktu lalu memutuskan untuk tetap menggelar pilkada di saat negeri ini tengah 'berperang' melawan virus covid 19 dengan alasan bahwa itu hak konstitusi warga negara!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun