Kepiawaian Soeharto dalam memainkan sentimen nasionalisme lewat isu golongan kiri dan golongan kanan menjadi kunci suksesnya kekuasaan Orde Baru. Ideologi asas tunggalnya tak ubahnya ubahnya seperti ajaran Kemalis di Turki yang harus diterapkan dan diamalkan.
Tumbangnya komunisme sebagai institusi dan gerakan di tanah air ini menjadikan Islam sebagai satu-satunya lawan yang harus dihadapi. Namun isu komunis tetap menjadi 'senjata mematikan' untuk melumat gerakan yang dianggap mengganggu stabilitas negara.Â
Terutama gerakan berlatar pertanian  atau agraria dan juga buruh. Stigma kaum tani dan buruh sebagai 'underbouw' PKI masih cukup kuat melekat di benak anak bangsa ini.
Islam sebagai kekuatan, awalnya pun bahu membahu bersama tentara dalam menghancurkan golongan komunis. Namun rezim militeristik  Orde Baru tetap memandang Islam sebagai kekuatan pesaing yang juga harus 'dimatikan'.
Dari mulai Ali Moertopo hingga LB Moerdani, militer secara intens menekan kekuatan Islam yang muncul secara sporadis. Peristiwa Cicendo, Talangsari, hingga tragedi Priok adalah contoh perseteruan antara tentara dan Islam. Selain dengan taktik memukul, mereka pun merangkul kekuatan Islam yang bisa menjadi corong kekuasaan Orde Baru.Â
Ada beberapa lembaga pendidikan dan dakwah Islam bentukan rezim Orde Baru. Bahkan ikut pula 'kasak kusuk' mengatur pucuk pimpinan dua ormas besar Islam negeri ini.
Puncaknya kala rezim Soeharto merestui Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang digawangi Habibie yang dianggap sebagai 'kemesraan' antara rezim Orde Baru dengan kelompok Islam.
Pasca Reformasi
Runtuhnya kekuasaan Orde Baru bukan berarti kekuatan militer selesai dan kekuatan Islam bisa bangkit sepenuhnya. Seperti di Turki, baik Erbakan maupun Erdogan tetap membutuhkan sekutu militer sebagai kekuatan yang tidak bisa dinafikan begitu saja.
Kalau kekuatan Islam di awal pemerintahan Republik Turki modern secara kelembagaan dan politik nyaris habis oleh kekuatan Kemalis yang sekuler. Lain halnya dengan Indonesia yang sepanjang lahirnya republik ini, kekuatan Islam selalu bertarung dengan ideologi sekuler. Masyumi adalah satu-satunya kekutan politik Islam yang pernah memimpin kabinet meski secara nasional pucuk pimpinan tetaplah sekuler.
Hingga kini belum  ada kekuatan Islam yang mampu melampaui keberhasilan Masyumi. Tak bisa dipungkiri, konstelasi politik Islam di Indonesia sejak awal memang terbelah antara kalangan tradisionalis dan reformis. Dan itu tak mudah untuk disatukan.