Deklarasi KAMI yang digagas Din Syamsuddin, lagi-lagi selain mengundang kalangan Islam dengan menghadirkan Dubes Palestina juga mencoba menarik tentara/militer lewat Gatot Nurmantyo.Â
Sementara di sisi lain, Jokowi sebagai presiden mulai dianggap militeristik karena memberi peran yang lebih besar kepada pihak tentara. Benturan dan tarik menarik antara Islam dan militer ini hampir mirip dengan kondisi Turki pasca runtuhnya Kekhalifahan Turki Usmani.
Kisah dari Turki
Di penghujung abad ke-19, seorang bayi lahir dari keturunan Gazi, kasta prajurit yang sangat dihormati dalam era penaklukan Turki. Dia lah Mustafa Kemal Pasha, yang kelak merubah total bentuk Kekhalifahan Turki Usmani yang telah berkuasa selama 600 tahun menjadi sebuah negara republik yang sekuler.Â
Pengaruh Kemal Ataturk (Bapak Pendiri Turki) yang begitu kuat sampai melahirkan ideologi 'Kemalisme' di kalangan pemujanya. Dan militer selalu menganggap dirinya adalah penerus ajaran Kemalis sekaligus pengawal nasionalis-sekuralis Turki.
Kemalisme akhirnya meredup setelah makin tidak populernya junta militer di pentas internasional dan seiring naiknya Necmettin Erbakan pada tahun 1996 ke tampuk kepemimpinan Turki modern.Â
Lambat laun pengaruh Islam kembali bangkit, yang semasa pemerintahan sekuler ala Kemalisme hampir tidak memberi ruang bagi kalangan Islam yang telah mengakar dalam budaya Turki.
Masa penantian kelompok Islam yang begitu panjang akhirnya menemukan momentumnya di era kepemimpinan Recep Tayyip Erdogan pada tahun 2003. Yang paling fenomenal adalah difungsikannya kembali Mesjid Aya Sofia (Hagia Sophia) setelah di era rezim Kemalis dijadikan museum. Meskipun Hagia Sophia sendiri awalnya adalah Katedral yang dibangun oleh penguasa Konstantinopel sebelum ditaklukkan kaum Usmani yang dipimpin Al-Fatih atau  Mehmed II.
Erdogan sendiri berhasil memainkan politik dua kaki dengan menuding isu kudeta kaum pengawal nasionalis-sekularis yaitu tentara untuk membungkam kekuatan Islam pimpinan seorang ulama kharismatik dan paling dihormati, yaitu Fetullah Gulen.
Memainkan isu nasionalis di satu sisi dan Islam di sisi lain adalah cara yang cerdik untuk memenangkan simpati masyarakat dalam pertarungan kekuasaan. Seperti di Turki, dua kekuatan itu -militer dan Islam- juga kerap beradu pentas dalam jagat politik modern Indonesia. Yang terkadang terlihat mesra namun sering pula kontra.
Pasca Supersemar