“Gue menganggap Lazio dulu sebagai underdog yang dengan skuad seadanya, itu bisa menantang klub-klub gede di Serie A,” tutur Aziz, menceritakan awal mula kecintaannya terhadap Lazio. “Awalnya gue cuma sekadar suka doang. Abis itu makin lama gue cari lagi kayak ‘ini klub tuh punya prestasi nggak sih?’” sambungnya.
Aziz menemukan kalau rupanya, Lazio pernah menjadi salah satu kuda hitam terbaik di Eropa. Musim 1999/2000 adalah tahun yang paling berkilau dalam sejarah Lazio, di mana mereka mendapatkan tiga gelar berupa Scudetto, Coppa Italia, dan Piala Super Eropa.
Musim sebelumnya, mereka juga mampu menjuarai Piala Winners setelah mengalahkan Mallorca 2-1 di final. Klub Elang Ibu Kota ini menjadi juara terakhir di turnamen tersebut.
Penampilan Lazio di musim-musim tersebut memang di luar dugaan. Di bawah arahan pelatih asal Swedia, Sven Göran Eriksson, serta manajemen yang dipegang oleh Presiden Sergio Cragnotti, klub yang berdiri pada 9 Januari 1900 ini menjelma sebagai salah satu kekuatan besar dari Italia. Di masa itu, Lazio berisikan beberapa pemain legendaris seperti Juan Sebastian Veron, Sinisa Mihajlovic, Pavel Nedved, Roberto Mancini, Marcelo Salas, Diego Simeone, dan masih banyak lagi. Perpaduan antara pemain tua dan berpengalaman serta pesepak bola muda yang energik, mampu membawa Lazio meraih prestasi gemilang.
Konsisten Menjegal Papan Atas
Sayangnya, sekitar medio 2001-2002, kondisi finansial Lazio memburuk. Perlahan mereka ditinggal banyak pemainnya, terkhusus para pemain muda yang mencari klub yang lebih stabil. Di musim 2001/2002, Veron hijrah ke Manchester United dengan transfer 42,6 juta euro, sementara Nedved dan Salas diboyong Juventus, masing-masing dengan harga 45 juta euro dan 25 juta euro.
Kepergian para bintang mereka belum selesai sampai di sana. Hernan Crespo, penyerang Argentina yang sempat memecahkan rekor transfer Lazio kala diboyong pada musim 2000/2001 dengan harga 56,8 juta euro, juga dilepas ke Internazionale dengan harga 40 juta euro setelah 2 musim membela Elang Ibu Kota. Namun, yang paling menyakitkan adalah hijrahnya Nesta ke AC Milan pada musim yang sama dengan Crespo.
Nesta, yang saat itu sudah menjadi salah satu bek terbaik di Italia serta ikon klub, mengaku tidak ingin meninggalkan Lazio. Namun, dirinya merasa perlu meninggalkan klub yang sudah dibelanya sejak 1985 karena kondisi keuangan klub yang buruk. Kepergiannya bahkan sempat mengundang kecaman, sampai sosok dengan tinggi 187 cm ini dicap pengkhianat.Pada akhirnya, masih ada pemain lain yang meninggalkan Lazio karena berbagai alasan.
Dan ini memang membuat Lazio tidak sekuat di masa keemasannya. Namun, apakah itu semua benar-benar menghapus status Elang Ibu Kota sebagai klub yang selalu menyulitkan klub papan atas? Tentu tidak. Saat mendalami sejarah klub, Aziz menemukan informasi menarik tentang seringnya Lazio menjadi batu sandungan yang menjegal klub besar di Serie A. Salah satu yang paling berkesan justru terjadi belum lama ketika Lazio kehilangan banyak pemain bintang mereka di musim 2001-2002.
Pada pertandingan terakhir Serie A, mereka menghadapi Internazionale yang berpotensi meraih Scudetto, andai saja mampu mengalahkan Elang Ibu Kota. Klub berjuluk Si Ular Besar ini akan berakhir dengan 72 poin, terpaut 1 poin dari Juventus, rival mereka, kalau Si Nyonya Tua menang melawan Udinese. Poin bisa berbeda jauh jika klub dengan baju bercorak hitam-putih ini imbang atau kalah.
Namun, Lazio justru tidak mau kandangnya menjadi saksi perayaan Internazionale. Si Elang Ibu Kota justru menghantam Si Ular Besar dengan skor 4-2, membuat mereka malah terjatuh ke posisi 3 klasemen di bawah Juventus dan AS Roma dengan raihan 69 poin. Si Nyonya Tua juga berhasil memperoleh Scudetto ke-26 mereka. Peristiwa ini tidak akan dilupakan Interisti, sebutan untuk fans Internazionale.
Kisah-kisah seperti inilah yang membuat Aziz bertahan mendukung Lazio. Sudah ada berbagai macam cerita mulai dari menggagalkan usaha SSC Napoli untuk tampil di Liga Champions di musim 2014/2015 sampai menghentikan rekor Juventus yang tidak pernah kalah di kandang setelah dua tahun pada musim 2017/2018, kisah-kisah ini menjadi memori manis bagi pria lulusan program studi Desain Grafis Politeknik Negeri Jakarta ini.