Sudah satu tahun terakhir ini, Indonesia dilanda permasalahan tutupnya toko ritel. Dari awal tahun 2017, sudah terlihat penurunan daya beli masyarakat yang membuat para pengusaha ritel panik bukan kepalang. Berbagai statement bermunculan ke publik terkait situasi ini. Ketua Umum Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia ) Roy Nicholas Mandey pernah menyebutkan, terjadinya permasalahan ini diakibatkan oleh beberapa pemicu diantaranya perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) februari lalu yang membuat masyarakat cenderung menahan diri untuk berbelanja.
Program amnesty pajak juga dianggap sebagai penyebab, menurutnya masyarakat sedikit lebih enggan untuk berbelanja lantaran pemerintah tengah gencar-gencar nya menuntut kepatuhan bayar pajak oleh masyarakat. Lalu ada juga yang berinterprestasi bahwa, penyebab tutupnya beberapa gerai ritel di Indonesia adalah persaingan di dunia ritel yang kian ketat. Wajar kalau banyak toko ritel yang tereliminasi, ini adalah proses persaingan. Begitu ungkapan Kartika Wirjoatmodjo selaku Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Benarkah seperti itu? Setiap orang mungkin bisa saja menyampaikan pandangannya masing-masing terkait permasalahan ini. Tetapi saya sendiri dan tentunya kita semua selaku konsumen, yang juga memperhatikan hal ini mencurigai bahwa ada figur maya dibalik semua ini. Mengapa dikatakan maya, karena sosok tersebut tidak nampak secara fisik namun keberadaannya bisa kita rasakan.
E-commerce atau perdagangan elektronik disebut-sebut sebagai pemicu beralihnya pola konsumsi masyarakat dari berbelanja secara tradisional, begitu saya menyebutnya kepada belanja online. Saya pikir, bukanlah suatu hal yang salah jika toko ritel merasa kehilangan pelanggannya. Kalau tidak ada lagi pelanggan, berarti tidak ada yang beli, maka dari itu satu persatu gerai ritel tutup. Tercatat, Matahari Departement store, Lotus Departement Store dan bahkan sekelas Sevent-Eleven pun harus rela menutup usaha ritelnya.
Ya, pada kenyataanya, belanja online ini sudah merubah gaya hidup masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Mulai dari belanja pakaian, makanan dan minuman sampai kepada pemesan tiket pesawat dan kamar hotel pun sudah online. Hanya diperlukan smartphone yang didukung dengan koneksi internet, maka setiap orang sudah bisa melakukan kegiatan berbelanja dengan mudah dan menyenangkan.
Mengenai belanja online, tentunya masing-masing dari kita sudah punya pengalaman tersendiri untuk hal itu jadi  semua manfaat dari belanja online ini sudah pernah kita rasakan secara langsung. Tetapi pernahkan terbayang difikiran kita kalau suatu saat semua kegiatan belanja yang kita lakukan sudah beralih ke digital alias online secara keseluruhan? Mungkin kalau melihat kebiasaan masyarakat saat ini, bukan tidak mungkin yang saya katakana tadi bisa terjadi.
Sebenarnya apa sih e-commerce itu? E-commerce atau perdagangan elektronik merupakan penyebaran, pembelian, penjualan serta pemasaran barang atau jasa melalui sistem elektronik yang terhubung dengan jaringan internet. E-commerce sendiri pertama kali dijalankan di Amerika seiring dengan kemunculan internet sekitar tahun 1969. Sedangkan di Indonesia, e-commerce mulai terdengar sejak kemunculan penyedia internet pertama sekali yaitu pada tahun 1990-an.
Kita tentu sudah kenal dengan situs seperti kaskus dan Tokobagus (sekarang OLX), merekalah yang bisa dikatakan sebagai generasi pertama dalam dunia e-commerce. Kaskus ini didirikan pada tahun 1999 oleh Andrew Darwis. Sedangkan OLX dulunya bernama Tokobagus dan dicetuskan oleh dua orang pemuda asal Belanda yaitu Arnold Sebastian Egg dan Remco Lupker pada tahun 2005.Â
Ternyata e-commerce ini sesuatu yang sangat bervariasi sekali dari jenis atau modelnya. Walaupun yang biasa dan setiap hari kita dengar adalah seperti kegiatan belanja online. Jadi pihak yang menjual dan membeli dipertemukan dalam sebuah platform dari pihak ketiga. Contohnya seperti Lazada, Blibli, Shopee dan apalah itu namanya, pembaca sekalian pasti sudah hafal sendiri.Â
Beralih ke E-Commerce