Mohon tunggu...
Nurmadani
Nurmadani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Santri Aktif Pondok Pesantren Darul Falah , Mahasiswa STIS Darul Falah Bondowoso𝗦𝗮𝗻𝘁𝗿𝗶 𝗔𝗸𝘁𝗶𝗳 𝗣𝗼𝗻𝗱𝗼𝗸 𝗣𝗲𝘀𝗮𝗻𝘁𝗿𝗲𝗻 𝗗𝗮𝗿𝘂𝗹 𝗙𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗕𝗼𝗻𝗱𝗼𝘄𝗼𝘀𝗼 , 𝗠𝗮𝗵𝗮𝘀𝗶𝘀𝘄𝗮 𝗦𝗧𝗜𝗦 𝗗𝗮𝗿𝘂𝗹 𝗙𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗕𝗼𝗻𝗱𝗼𝘄𝗼𝘀𝗼

Lebih senang menulis dan olahraga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentang Pengabdian

20 Januari 2024   22:57 Diperbarui: 10 Juni 2024   22:56 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kejadian itu berawal pas hari jum’at malam sabtu. Pagi itu aku dan santri yanga lainnya mengarungi tugas mencari bahan bakar untuk keperluan dapur,lebih pasnya mencari kayu.Sebenarnya hal yang sedemikian sudah turun – temurun dilakukan para santri yang haus akan barokah.Di pondok kami dikenal dengan “LASKAR NGEDHEB” dalam artian para santri yanga “ngireng dhebu” kami menyebutnya.

Pagi itu kami pergi dengan penuh semangat, karena kami percaya disamping mencari kayu, kami juga yakin seyakin – yakinnya tedapat nilai ibadah dan barokah yang nantinya dapat kami petik sebelum akhirnya kami boyong dari pondok tercinta kami.

Oh.... ya aku belum mengenalkan pondok pesantren  yang kami tempati beberapa tahun ini dalam menimba ilmu agama.Pondok Pesantren Darul Falah yang didirikan sanga murobbi ruhina K.H.Syamsul Arifin,yang kebetulan tempatnya kurng lebih 5 kilo meter dari kediamanku,wajarlah Pondok Pesantren yang kami tempati berada di pedesaan.Sebelumnya Pondok Pesantren itu diasuh oleh K.H.Mahfudz Ahmadi Syam.,setelah akhirnya diambil alih oleh adik kandung beliau K.H.Abdul Qodir Syam.yang juga masih putra dari K.H.Syamsul Arifin.

Panas mentari begitu menyengat kami rasa,segelintir titik air kecil mulai membasahi tubuh kami,akan tetapi hal tersebut tidak dapat merayu semangat yang sejak awal kami tanamkan.Perlahan aku memandngi sekeliling sawah yang penuh dengan kayu yang masih berserakan.Tak terasa kami sudah berhasil memindahkannya kurang lebih 3,5 %. 

“ Bennyak pon ollena ? “.Salah seorang santri bertanya bertanya kepadaku dalam bahasa maduranya yang khas. Aly kami memanggil namanya.

“Pendhenan pon ! “.Pria yang memakai jersey MU itu menyambut pertanyaan Aly, yang sebenarnya bertanya kepadaku.Sebenarnya dia juga tim kami yang berada di luar pesantren,yang juga giat dalm mengabdi.Namanya “ Nurul Musthafa “ akan tetapi kami memanggil dengan sebutan “Hadi”,ada juga yang memanggil Hadi mus.

Hari semakin terik, panas yang kami rasa semakin menjadi – jadi .Kerinat deras membasahi tubuh kami tanpa komando, bak air sungai yang mengalir sangat deras.

Disisi lain ku lihat jarum jam sudah menunjukkan pukul 10:30, artinya kami masih mempunyai sisa waktu satu jam untuk melaksanakan sholat jum’at. Sebagian dari kami sudah berlalu meninggalkan ladang. Akupun juga masuk di dalam rombongan tersebut, sebagian lagi ada yang masih mengembalikan tenaganya yang tadinya terkuras, dan ada juga yang telah terhanyut dengan mimpi indah yang telah mereka rangkai dalam tidurnya.

*****______________*****

Jam tepat menunjukkan pukul 19:30 kami sampai di pesantren  kami , masing – masing  santri kembali ke asrama yang biasa mereka tempati.  Beda halnya dengan aku yang menenpati asrama Tahfidzul Qur’an, meski kenyataannya aku bukanlah seorang hafidz qur’an. Hhihihihiihi

Pagi itu kami habiskan tenaga kami mencari kayu, sehingganya banyak dari kami yang kewalahan. Aku berbaring dalam ketenangan malam, hanya suara jarum jam yang mengisi kensunyian malam.Sesekali terdengar lantunan Nadzom ‘Imrithy, Alfiyah, bahkan Aqidatul  Awam.Sampai akhirnya Fiqi datang dengan tergesah – gesah.

“ Den ! .... Deni !.... Alvin ada disini ?” 

Seoran khaddam kiyai itu menanyakan keberadaan adikku.

“Ada dia masih tidur, baru saja!” jawabku denagn nada memastikan.

“Ada apa ki?” Aku balik bertanya karena rasa penasaran yang menyelimuti fikiranku.

“Tidak , hanya butuh sama Alvin,soalnya dari tadi pagi dia dicari kiyai .” pria itu masih tetap dengan nada terburu – buru.Seakan menanpakkan kepanikannya.Kebetulan dari tadi adikku juga ikut mencari kayu bersamaku, sehingganya rasa kantuk dan lelah membuatnya terlelap dalam mimpinya.

“Vin ..vin... vin ...Alvin bangun vin “ khaddam itu menarik tangan adikku sehingganya dia tebangun dari tidurnya.

“ Napa ki..? , saya masih ngantuk !” Ucap adikku yang masih tidak bisa lepas dengan rayuan kantuk yang seakan menggantungi kelopak matanya. Sang khaddam mengabil HP VIVO Y12 nya dari selah – selah lipatan sarungnya, sebelum akhirnya mencoba  menelfon Kiyai 

“Assalamualaikum !” santri berkopyah putih itu mengawali pembicaraannya, lewat telepon yang ia speaker dengan volume keras.

“Apa Cong ...?” Suara dari seberang lantas bertanya yang tidak lain beliau adalah Murobby Ruhina. K.H.Abdul Qodir Syam.

“Engghi ka’dinto Alvin sareng abdhina “Sang khaddam itu menepis pertanyaan beliau dengan penuh ta’dzimnya terhadap seorang guru.Sembari menyerahkan telepon yang tadi ia genggam kepada adikku Alvin dengan wajah kaget.

“Assalamualaikum Ka’dinto Alvin” Perlahan adikku mengawali kata, sembari ia mengumpat rasa kantuknya.

“Deni bede.?” Deni adiknya Doni itu .!” Pria yang penuh karisma itu mengalunkan suara khasnya.Ketegasannya yang terpancar dari logat bicara beliau berbicara, membuat tenang orang lain yang mendengarnya.

Deg ....!

Denyut nadiku seakan berhenti, nafasku terengah, hanya terpintas dalam benakku “Apa salahku, apa dosa yang telah aku perbuat terhadap beliau, sehingga diriku ditanya keberadaannya.Ya Allah ... ampunilah kesalahan yang telah aku perbuat terhadap kiyai.”gumanku denagan penuh harap dan penyesalan yang tercampur aduk jadi satu dengan penuh rasa keheranan.Reflek aku ingat sepatah kata “Syaikh Imam Zarnuji  “dalam kitabnya yang monumental itu “Waa min ta’dzimil ilmi ,ta’dzimul ustadz” rasa takut itu terus menghantui fikiranku, sebab dosa yang kian hari terus menggunung terhadap masyaikh. Masih minim rasanya untuk aku tebus dengan kata maaf, layaknya bermaaf – maafan dengan teman sebayaku.

“iya....!  ada dia lagi sama saya sekarang  kiyai,?” suara adikku Alvin sukses memecahkan lamunanku yang entah sudah sampai kemana.

“ Kamu tahu rumahnya  H. Hasan Kades Bajuran .?” Dengan nada bertanya seakan berharap akan jawaban dari adikku.Sedang adikku hanya bisa berkata iya denga penuh rasa hormat dan ta’dzim.

“Kamu antar Deni ke H. Hasan..! ingat jangan lupa bilang sama H. Hasan kalau Deni lah orang yang di maksud kiyai ,satu lagi jangan lupa tawassul kepada Nabi Muhammad S.A.W. dan pendiri Ponpes ini K.H.Syamsul Arifin “Tegas beliau memastikan adikku dapat mencerna dan memahami dawuh beliau.

*****_____________*****

Sayup – sayup semilir angin menyapa kulitku yang masih meriang.tidak percaya dengan semua itu, ku ambil air wudlu’untuk mengusir rasa kantuk dan ego yang tidak lagi bersahabat dengan perasaanku.Ku pakai baju kokohku warna cokelat berpaduan warna gold, dan sarung wadimor senada terlipat rapi, dan songkok putih yang tidak lupa bertengger diatas kepalaku yang masih basah bekas air wudlu’ yang aku ambil tadi, seakan menunjukkan kesederhanaanku layaknya para santri pada umumnya.

Perlahan ku langkahkan kakiku denag penuh percaya diri, ku lewati kamar mandi dan masjid yang masih di penuhi santri junior untuk muthola’a kitab dan beberapa pelajaran yang mereka dapat dari ustadz  di Madin tadi sore.Sedang adikku mengambil motor kiyai yang nantinya akan digunakan untuk mengantar aku pada H. Hasan.Dibalik pilar gerbang bercat putih salju itu aku masih tertunduk dan tidak lupa mulutktu sibuk dengan mengirimkan tawassul kepada Nabi Muhammad dan pendiri pesantren ini sebelum akhirnya aku dan adikku berangkat menuju tempat yang kami tuju, Desa Bajuran.

Sebenarnya rasa tidak nyaman itu menyirami rohaniku, sebab yang aku tunggangi sekarang bukanlah motor orang biasa pada umumnya, melainkan milik kiyai ku.Adikku menjadi sopir sedang aku naik di belakangnya, bak kiyai dengan khaddamnya.” YaAllah ...ampunilah hambamu yang tidak bisa mengontrol fikiran hambamu ini”.

*****______________*****

Di depan rumah besar bercat hijau daun dan gerbang yang terbuka lebar seakan siap menyambut akan kehadiran kami berdua.Kami mulai memasuki dan tidak lupa mengucapkan salam pada pemilik rumah berbentuk L besar itu. Aku masih tertunduk dan tidak lepas daari bibir mungilku lantunan Sholawat Nariyah yang tidak hentinya aku baca sejak awal aku berjalan.

Tidak kemudian sang pemilik rumah itu menampakkan ujung hidungnya, dan mempersilahkan kami berdua masuk.

“Dari K.H. Abdul Qodir ...?” Sang pemilik rumah bertnya, dan tanpa komando kami berdua mengangguk memastika pertanayaan beliau.

Adikku melangkah lebih awal dariku memasuki ruang tamu yang berukuran cukup besar itu, sedang aku membuntutinya di belakangnya.Sesekali ku daratkan pandangan di sekeliling ruangan bercat hijau daun itu. Di sebelah barat tertata rapi meja da kursi tamu yang siap menjamu, lemari kaca dengan kombinasi kayu di setiap pinggirnya dengan  warna khas plitur yang elegan, dan beberapa foto terpasang rapi berdampingan. Salah atu diantarnya aku mengenalinya, nampak dari wajahnya bersinar menunjukkan kewibawaannya, dan bibir yang sedikit menyungging ditampakkannya membuat orang yang melihatnya terluluh hatinya seakan sirna rasa duka dan hampa. Ya... beliau adalah panutanku sosok yang mendidik rohaniku sejak aku menimbah ilmu agam di pesantren “K.H.Abdul Qodir Syam.”

Dikursi sebelah timur sudah hampir dipenuhi beberapa tamu kades yang lebih awal dari kami berdua.Sehingga hanya tersisa 2 ( dua ) kursi yang hanya cukup untuk kami berdua duduki. Tak lupa aku salim kepada sang pemilik rumah dan beberapa tamu duduk di kursi melingkar itu secara bergantian, begitupun adikku Alvin meniru ritual indah itu.Sebelum akhirnya kami di persilahkan duduk oleh sang pemilik rumah.

Malam semakin larut, kantukku mulai menyerang kelopak mataku. Awalnya aku tidak menyukai kopi, terpaksa aku seruput sebagai bentuk penghormatan tehadap sang pemilik rumah, juga untuk mengusir rasa kantuk yang kian menit kian menggebu.

”Sampeyan masih ada acara pak haji..?” Salah seorang pria berkopyah hitam bertuliskan lambang NU yang di bordir dengan benang berwarna gold itu angkat bicara.

“Iya ... ada setelah ini ke salah satu dusun “ Ujar pria paruh baya yang disebut pak haji itu dengan simpel.Sedang aku tertunduk hanyut mengitari bayang – bayang yang terlintas di  benakku. “Sebenarnya mau diapakan aku “ guman hatiku yang masih di timbun rasa heran.

Tak lama aku dibawa ke suatu ruagan yang hanya ada aku, pak kades dan satu orang yang tidak aku kenali. Aku duduk di paling kanan pak kades dan satunya duduk bersebelahan di samping kiriku. Syahdan pak kades meminta agar menyaton atau neptu dalam ilmu falaknya.Lelaki yang tak kukenal itu dengan santainya berkata “ iya” seakan ia sudah profesional dan berpengalaman dengan hal – hal yang semacam itu, aku hanya bisa menyimak percakapan mereka berdua.

“ Siapa namamu nak ..? “ Tanya pak tua dengan tatapan menerawang jauh terhadapku.

“Deni...., Deni Prayoga..! “ Ucapku lirih, bukan hanya itu dia menanyakan tanggal lahirku lengkap dengan hari dimana aku dilahirkan kebumi.

“Mantap ini sudah ..!” Ucap pak tua itu seraya menyodorkan kertas hasil ramalan sesaatnya. Aku masih tertunduk bukan berarti aku tak mampu mendongak, seabab aku masih diarungi rasa penasaran yang makin menggunung.Aku masih tidak mengetahui siapa wanita yang akan dijodohkan dengan ku  itu, namanya belum pernah aku temui dalam mimpi ku, dan alamat tetapnyapun sangat asing aku dengar,yang aku tahu hanya satu dia adalah seorang wanita.

Hemmmz ......

Deru nafasku terasa dalam tak menentu, sejauh ini masih tak ada jawaban tentang rasa penasaran ini. Aku kembali pada tempat duduk ku yang semula. Malam semakin larut jam sudah menunjukkan pukul 21:30 

Pak Kades memberi isyarat kepadaku sembari berkata “Gimana cong .! mau berangkat ?” Aku mengagguk dengan antusias disertai dengan kata simpel “Engghi” hanya kata itu yang bisa keluar waktu itu, sebab itu semua merupakan perintah dari sang guru dan mentaatinya merupakan nilai ibadah bagiku.

*****____________*****

Aku dan pak kades berjalan menuju gerbang, sedang adikku dititipkan dirumah sebelah selatan rumah pak Kades itu.

Aku bonjeng di belakang pak Kades, sedang beliau yang menjadi sopir .

“Zreng......!”  bunyi merdu suara knalpot itu terdengar dari motor sejenis Mio J produksi YAMAHA menandakan perjalanan akan segera dimulai.

Desir angin menyentuh tubuhku, perlahan ku itari pandangan yang hanya mendapati kegelapan dan pernak – pernik sorot lampu terlihat dari kejauhan. Beberapa tebing menjulang tinggi saling berdampingan mengiringi perjalanan kami. Jalan yang kami lewati masih terlihat benyek karena bekas hujan yang mengguyur desa itu tadi pagi.

Dalam perjalanan tersebut pak kades berpesan kepadaku “ Nanti kalo ada yang memberi hidangan kopi kamu lihat ya..!” Aku hanya tetap dengan sikap sebelumnya tidak merubah kata “Engghi “ karena itu adalah ciri khas seorang santri apabila ada sebuah perintah dari seorang kiyai ataupun yang mewakilinya.

Tepat di depan rumah yang kami tuju,namun aku masih tidak tahu apa nama desa tersebut.Pak kades dengan sigap mematikan motor yang kami tunggangi tadi.Pak Kades terlihat sudah saling mengenal dengan sang pemilik rumah, dengan ramah kami saling bersalam – salaman yang sewajarnya dialakukan ketika bertamu. Aku dududk di kursi yang menghadap selatan, sedang pak kades duduk berdampingan dengan sang pemilik rumah. Panjang kali lebar pecakapan mereka berdua dilakukan dengan sanat santai akan tetapi juga serius. Aku masih tertunduk,entah kenapa leherku mampu tidak terasa sakit ataupun pegal.

Nampak seorang wanita menyodorkan segelas kopi hangat kepadaku, disisi lain kepalaku teraa sangat berat untuk di angkat, sampai akhir dengan tekat bulat dengan Bismillah aku melihat sosok wanita yang tadinya memberi aku kopi hangat. Aku masih tidak tahu jelas seperti apa wajah dari wanita itu, sebab yang aku ingat dari perkataan pak kades tadi untuk melihatnya bukan kemudian menatapnya.

“Anak saya yang itu ...” sang pemilik rumah berkata padaku,” Soal keputusan saya pasrah pada ank saya “ Imbuh sang pemilik rumah menegaskan kembali.Sedang hanya seperti biasanya mengatakan kata “Engghi “ karena tidak ada kata lain yang bisa aku ucapkan selain kata itu.

Tak ku sangka diumurku yang masih belia ini sudah mengalami suatu perjodohan, meski pada kenyataannya aku tidak tahu apa arti di balik semua itu. Aku hanya mengetahui sekilas dari pak kades bahwa semua tindakan kiyai terhadapku adalah sebuah perjuangan syiar beliau  untuk memperluas ajaran Ahlus Sunnah Wal – Jama’ah an Nahdliyah melalui perjodohan diriku dengan wanita yang tak ku kenali.

Wallahu A’lam..............

*****_____________*****

*KOSA KATA

  1. Abdhina            : Saya

  2. Ka’dinto           :Disini           

  3. Engghi              :Iya

  4. Napa                  :Apa (kata tanya dalam bahasa indonesia)

  5. Cong                  :Nak (sebutan orang yang lebih dewasa pada yang lebih muda)

  6. Bede                   :Ada

  7. Bennyak           :Banyak 

  8. Pendhenan      :Lumayan 

  9. Pon                     :Sudah

  10. Sareng              :Sedang bersama

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun