DUNIAÂ pendidikan sepertinya sulit dipisahkan dari politik. Sayangnya, politik dan dunia pendidikan tinggi sering memperlihatkan relasi yang buruk dan kebablasan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya kisruh yang bermunculan di negeri ini menjelang proses pemilihan pimpinan perguruan tinggi baik di perguruan tinggi negeri (PTN) atau perguruan tinggi swasta (PTS). Kisruh terjadi akibat politisasi pendidikan yang kebablasan dan berkiblat kepada kepentingan kekuasaan.
Politisasi yang kebablasan di dunia pendidikan, tentu saja bisa digolongkan ke dalam dangerously act (tindakan berbahaya), karena di dalamnya termuat unsur manipulatif yang merusak nilai-nilai pendidikan, sekaligus menggerogoti dan menghancurkan masa depan generasi penerus bangsa.
Politisasi yang kebablasan di dunia pendidikan tinggi ini, seharusnya bisa dicegah jika perguruan tinggi memiliki statuta yang jelas dan mengacu kepada standar yang telah disiapkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Hal ini penting agar pengelolaan perguruan tinggi tetap berpegang teguh kepada marwahnya sebagai lembaga pendidikan tinggi.
Statuta memiliki peran yang sangat strategis. Oleh karena itu, perlu disusun sebaik mungkin sesuai dengan pedoman penyusunan statuta di perguruan tinggi. Saat ini masih banyak ditemukan proses penyusunan statuta di perguruan tinggi ini tidak mengacu kepada standar yang telah disiapkan Kemendikbudristek dan menjadikan statuta sebagai alat kekuasaan.Â
Statuta disusun sendiri secara diam-diam oleh oknum yang masuk dalam lingkaran kekuasaan, kemudian dipaksakan untuk diberlakukan tanpa melalui proses persetujuan atau pertimbangan dari senat. Kasus seperti ini tentu saja sering memicu polemik dan kekisruhan. Misalnya, dalam proses pemilihan pimpinan perguruan tinggi, di mana statuta dirancang hanya untuk menguntungkan calon tertentu saja dan mencegah peluang calon lainnya.Â
Kisruh yang terjadi khususnya dalam proses pemilihan pimpinan perguruan tinggi, menunjukkan betapa politisasi di pendidikan tinggi yang kebablasan ini bisa membahayakan otonomi dan demokrasi kampus. Alih-alih menjadi ajang seleksi pemimpin terbaik, pemilihan pimpinan kampus dengan statuta yang sudah dipolitisasi, akal-akalan dan tanpa persetujuan senat ini tentu akan melahirkan pemimpin yang tidak diterima di lingkungan kampus.
Mereka yang berambisi untuk menjadi pemimpin di kampus, tentu akan lebih gencar melakukan lobi-lobi "ke atas" ketimbang menggalang dukungan "akar rumput".
Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya intervensi dari badan penyelenggara yang kerap menyetir pemilihan pimpinan kampus demi memenangkan calon yang direstui, meski tidak diterima di lingkungan kampus melalui hak suara 35 persen seperti yang diatur dalam statuta.
Hak suara 35 persen yang dimiliki unsur badan penyelenggara ini adalah bentuk pelanggaran terhadap undang-undang dasar dan tidak demokratis. Logikanya, ketika unsur badan penyelenggara memiliki hak suara 35 persen, sedangkan senat hanya punya satu suara. Ini kan sungguh tidak adil.
Proses pemilihan pimpinan kampus yang tidak demokratis ini adalah bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, karena perguruan tinggi kini tak lagi punya independensi, khususnya dalam menentukan pemimpinnya sendiri. Risiko dari mekanisme ini adalah terpilihnya pimpinan kampus yang bukan representasi kampus.
Jika merujuk Peraturan Pemerintah RI No. 4 Tahun 2014, statuta adalah peraturan dasar pengelolaan perguruan tinggi yang digunakan sebagai landasan penyusunan peraturan dan prosedur operasional di perguruan tinggi. Secara rinci dapat dikatakan statuta adalah pedoman yang paling dasar dalam penyelenggaraan kegiatan yang digunakan sebagai acuan untuk merencanakan, mengembangkan program dan penyelenggaraan kegiatan fungsional sesuai dengan tujuan perguruan tinggi yang bersangkutan.Â
Statuta berisi dasar yang dipakai sebagai rujukan pengembangan peraturan umum, peraturan akademik dan prosedur operasional yang berlaku di perguruan tinggi yang bersangkutan. Artinya, statuta perguruan tinggi adalah pedoman yang sangat strategis dalam mengatur penyelenggaraan perguruan tinggi tersebut.Â
Bagaimana jika pedoman yang paling dasar saja dalam pengelolaan perguruan tinggi itu dipolitisasi dan diubah-ubah semau gue dan berdasarkan ambisi dan kepentingan pribadinya serta tanpa persetujuan senat, tentu saja akan bermuara pada kekisruhan dan konflik yang tiada henti di lingkungan kampus itu sendiri. Ini juga mencerminkan sikap otoriter oknum yang berada dalam lingkungan kekuasaan tersebut.
Proses perubahan statuta yang tidak melalui pertimbangan dan persetujuan senat adalah proses yang tidak demokratis dan melabrak aturan. Seharusnya perubahan statuta itu harus diturunkan ke seluruh civitas akademika, baik itu unsur pimpinan, dosen, pegawai dan disosialisasikan kepada mahasiswa agar statuta tersebut menampung seluruh aspirasi yang memihak kepada civitas akademika.
Guna mengurai benang kusut itu, proses pemilihan pimpinan kampus harus dikembalikan sebagai bagian dari otonomi dan demokrasi kampus.Â
Demikian juga jatah 35 persen dari unsur badan penyelenggara harus dihapus. Alih-alih mengintervensi hasil pemilihan dengan jatah suara 35 persen, badan penyelenggara sebaiknya lebih memastikan pemilihan pimpinan kampus berlangsung jujur dan transparan dengan lebih melibatkan kalangan civitas akademika.
Demikian juga soal proses penyusunan statuta, harus mengacu standar yang telah disiapkan Kemendikbudristek dan diikuti dengan perancangan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yayasan yang jelas serta menerapkan laporan keuangan yang transparan. Seluruh berkas pengelolaan yayasan dan PTS harus lengkap serta disertai bukti-bukti hukum yang kuat.Â
Pastikan setiap jabatan dalam kepengurusan yayasan disertai keterangan lengkap mengenai tugas-tugas yang diemban agar tidak tumpang tindih. Jangan sampai terjadi kasus pengurus yayasan yang bukan tupoksinya mengurus masalah gaji karyawan, ikut melakukan intervensi sehingga berdampak terhadap turunnya gaji yang seharusnya diterima karyawan.Â
Jika statuta PT dan AD/ART yayasan terperinci, konflik bisa dihindari. Konflik yang terjadi di yayasan adalah antar-ahli waris atau generasi penerus pemilik yayasan, sengketa aset, pergantian AD/ART, dan pergantian pengurus.
Penanganan konflik tentu saja tidak boleh melibatkan pihak luar yayasan dan tidak boleh berdampak kepada kegiatan perkuliahan. Apabila pimpinan PTS ataupun dosen terseret konflik yayasan, Kemenristekdikti akan membekukan PTS tersebut hingga konflik selesai. Dampaknya, tentu saja kuliah dan wisuda mahasiswa akan menjadi korban. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H