Kata reklamasi selalu memiliki konotasi dengan kata pengurukan. Kata pengurukan sering diasosiasikan dengan sesuatu yang negatif. Di Jakarta misalnya, rawa diuruk jadi perumahan, tanah hasil urukan lebih tinggi dari tanah di sekitarnya, lalu ketika musim hujan air datang, air tak langsung ke laut tapi berbalik arah dan menyebabkan banjir di wilayah sekitarnya. Lalu ada reklamasi untuk perpanjangan landasan pacu bandara Ngurah Rai yang menjorok ke laut, akibatnya wilayah di sebelah utara Bandara, di sekitar Pantai Jerman mengalami abrasi karena pembelokan arus air laut.
Kenapa reklamasi selalu berkonotasi negatif, terutama di negeri kita? Jawabannya adalah karena reklamasi yang dilakukan kurang atau tidak memperhatikan wilayah di sekitarnya. Lalu, tidak adakah contoh yang baik dari reklamasi? Banyak! Puluhan negara di dunia sudah pernah, dan sebagian malah sering, melakukan reklamasi. Hasilnya, tidak ada persoalan lingkungan seperti yang selalu dituduhkan atau dikhawatirkan. Ini terjadi karena reklamasinya dilakukan dengan memperhatikan banyak aspek, bukan hanya aspek nilai tambah dari penambahan wilayah saja.
Dalam bahasa Inggris, reklamasi (reclamation) dikenal juga dengan land fill, yakni proses pembuatan lahan baru dari laut, palung sungai, atau palung danau. Istilah ini dibedakan dengan landfill (timbun) yakni mengisi lahan yang sudah ada dengan material lain, misalnya saja diisi dengan sampah atau buangan material lain. Dalam beberapa hal, reklamasi atau land fill (dipisah penulisannya) tidak selalu bertujuan untuk menambah lahan saja, tetapi juga dengan tujuan rehabilitasi, seperti halnya yang dilakukan di wilayah-wilayah negara-negara kecil di Oceania yang pantai-pantainya menghadap ke laut lepas dengan arus besar untuk mengurangi abrasi.
Kembali ke negara-negara yang pernah melakukan reklamasi, dan beberapa masih terus berencana melakukannya, kita bisa menyebut beberapa contoh. Di antaranya adalah Belanda (sebagian besar wilayah daratnya merupakan hasil reklamasi), kemudian ada Singapura, Korea (utara dan selatan) Qatar, AS, Australia, Hongkong, dan masih banyak lagi yang lainnya. Reklamasi di Singapura misalnya dilakukan di wilayah Jurong dan Pulau Jurong, yang berhasil menambah sekitar 32 km2 lahan baru untuk kepentingan bisnis minyak dunia. Ironisnya, reklamasi ini menggunakan pasir dari pulau-pulau di Indonesia dan bermasalah dengan urusan batas laut, tetapi kita tidak terlalu ribut dan cuek saja.
Di Hongkong, reklamasi bukan hanya urusan manusia jaman internet. Hongkong sudah melakukannya sejak zaman Dinasti Han berabad-abad lampau untuk kepentingan industri garam. Sementara reklamasi modern sudah dilakukan sejak pertengahan abad ke-19 ketika Hongkong masih disewa Inggris. Proyek reklamasi pertama di Hongkong dikenal dengan Praya Reclamation Scheme yang sekitar tahun 1890 yang menghasilkan 240 ribu m2 lahan baru. Kini, kota-kota baru di Hongkong, seperti Tai Po, Sha Tin, Tuen Mun, Ma On Shan, Kwun Tong, Tseung Kwan O, dan West Kowloon dibangun di atas tanah hasil reklamasi. Belum lagi ditambah dengan Hongkong Disneyland Resort, Bandara Internasional Hongkong, dan bandara sebelumnya Kai Tak Airport, juga didirikan di tanah hasil reklamasi.
Menariknya, reklamasi di Hongkong dilakukan untuk memusatkan aktivitas perkotaan dan ekonomi di wilayah pantai, sehingga wilayah daratan mereka tidak banyak terganggu. Hasilnya, Hongkong yang sebetulnya tidak memiliki wilayah yang luas itu (hanya sekitar 1.100 km2), masih bisa memiliki 440 km2 lahan yang diperuntukan untuk taman, hutan lindung, dan area hijau lainnya. Wilayah hijau ini tersebar di pulau-pulau utama mereka seperti Hongkong, Kowloon, New Teritorities (paling luas wilayah hijaunya), dan Lantau Island. Area ini bukan hanya memberi ‘nafas’ buat Hongkong yang padat, menjaga flora dan fauna mereka yang sebetulnya tak seberapa banyak, tapi juga memberi nilai tambah untuk pariwisata mereka.
Intinya, reklamasi yang dilakukan di Hongkong tidak melulu soal perluasan lahan. Di dalamnya terdapat desain besar yang menyeimbangkan antara kepentingan bisnis yang terus meroket, sekaligus dengan upaya perlindungan kekayaan alam mereka yang sebetulnya terbatas. Ekses negatif dari reklamasi seperti yang banyak dituduhkan (di negeri kita), seperti banjir dan abrasi (padahal Hongkong menghadap ke laut lepas), tidak terjadi. Hal ini karena perencanaan yang matang dengan memperhatikan prinsip reklamasi yang disesuaikan dengan kondisi alam mereka.
Perhatikan gambar peta Hongkong di atas, abu-abu adalah hasil reklamasi:
[caption caption="Reklamasi di Hongkong | https://zh.wikipedia.org/wiki/%E9%A2%86%E5%9C%9F"][/caption]
Dari gambar di atas terlihat bahwa, prinsip reklamasi di Hongkong sangat memperhatikan arus laut dan aliran sungai, sehingga abrasi dan banjir bisa dihindari. Prinsip sederhana reklamasi Hongkong bisa dilihat dalam skema berikut:
[caption caption="Skema Reklamasi di Hongkong"]
Bandingkan dengan skema reklamasi berikut:
[caption caption="Skema Reklamasi yang tidak tepat"]
Reklamasi di atas, salah satunya terjadi saat pengembangan landasan pacu Bandara Ngurah Rai, sehingga ada keluhan abrasi di pantai bagian utara bandara, karena ada pergeseran arus laut.
Lalu bagaimana dengan skema reklamasi dalam rencana revitalisasi di Teluk Benoa? Sebagai gambaran, Teluk Benoa saat ini mengalami pendangkalan yang parah, salah satunya akibat sampah yang terbawa dari sungai-sungai yang bermuara di sana. Selain itu, perputaran arus di dalam teluk juga terhambat aktivitas di ‘mulut’ Teluk Benoa yang sudah terjadi sebelum rencana ini muncul, yakni adanya pelabuhan Benoa, reklamasi Pulau Serangan, dan pembangunan jalan tol yang melintas di tengah teluk.
Skema reklamasi dalam proyek revitalisasi Teluk Benoa bukanlah landfill, yakni menguruk seluruh endapan di teluk, tetapi gabungan dari land fill dan rehabilitasi. Dalam skema itu memang ada land fill yang berbentuk pulau-pulau, bukan menutup seluruh permukaan teluk. Land fill ini juga sekaligus menjadi penunjang rehabilitasi. Apa yang direhabilitasinya? Jelas, arus laut dan pertemuannya dengan arus air dari sungai-sungai yang bermuara di Teluk Benoa. Lihat skema berikut:
[caption caption="Skema reklamasi Teluk Benoa"]
Dari skema di atas terlihat bahwa, kekhawatiran akan terjadinya abrasi dan banjir tidak akan terjadi, karena perputaran arus berjalan dengan baik. Tidak seperti sekarang saat sungai mendorong material ke teluk dan air laut terhalang aktivitas dan dangkalan, sehingga pengendapan semakin parah. Kondisi inilah yang justru memungkinkan terjadinya banjir karena arus air dari sungai bisa berbalik. Sementara dalam skema di atas, perputaran arus air menjadi lancar.
Sementara itu, lahan-lahan hasil reklamasi bisa dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, seperti halnya yang dilakukan di Hongkong. Ini juga sebetulnya memberikan sumbangan agar pembangunan wisata Bali tidak makin menggerogoti wilayah daratan hingga ke pedalaman-pedalaman Bali. Konsep ini juga membantu pemulihan Tahura Ngurah Rai yang ada di sepanjang pesisir Teluk Benoa. Bandingkanlah dengan konsep Hongkong, konsep ini jelas sejalan.
So? Mengkritisi rencana reklamasi di manapun bukanlah hal yang dilarang. Menentangnya jika tanpa konsep yang jelas juga boleh. Tapi belajar dari reklamasi di Hongkong, apa yang direncanakan di Teluk Benoa jelas akan membawa banyak dampak positif. Kekhawatiran akan banjir dan abrasi justru akan terjadi jika Teluk Benoa dibiarkan tetap begitu, dalam kondisi seperti sekarang ini!
Â
Nak Bali nawang melah agen Baline!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H