Mohon tunggu...
Made Nopen Supriadi
Made Nopen Supriadi Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti dan Penulis

Lahir di Sebelat, 09 November 1989. Saat ini melayani di Sekolah Tinggi Teologi Arastamar Bengkulu (STTAB). Menyelesaikan studi S-1 Teologi (S.Th) di STT Ebenhaezer, Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Saat ini sedang menempuh studi Magister Teologi (M.Th) konsentrasi Biblical Reformed Theology di STT SETIA Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Terserah: Sebuah Perenungan Filosofis (3)

20 Mei 2020   20:36 Diperbarui: 20 Mei 2020   21:08 1580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Dibuat Oleh: Made Nopen Supriadi

'Terserah!'... kita mungkin sering mendengar ungkapan ini. Ungkapan ini jika kita katakan menunjukkan sebuah ekspresi hati kita yang sedang bergejolak. Gejolak tersebut bersifat relatif, ada gejolak karena hati yang sedang marah atau gejolak karena hati yang sedang lemah atau gejolak karena hati sudah tidak merasakan lagi. 

Oleh karena itu dalam seri filsafat 3 ini saya akan mengantarkan kita bersama untuk menyelami ungkapan 'terserah!.'. Dan saya juga tidak menuntut anda mengikuti perenungan ini, jadi terserah anda.....! 

Beberapa waktu ini kita melihat sebuah ekspresi, dimana banyak para perawat dan tim medis di Indonesia menulis status 'Indonesia terserah!.' Menurut anda ketika kata itu diucapkan perasaan apa yang sedang diwakili?

Pasti ada yang menjawab itu adalah perasaan 'kecewa'. Kekecewaan seringkali tidak terungkapkan, namun bagi manusia yang bisa mengungkapkan pasti akan memiliki perbedaharaan yang khusus mewakili dirinya untuk mengungkapkan kekecewaan. Bisa saja kata 'terserah' dipakai untuk mewakili isi hatinya yang kecewa. 

Namun tidak semua orang kecewa mampu menggunakan kata 'terserah.' Oleh karena itu ketika kita mencoba memahami manusia dari perkataan yang keluar, kita sedang melakukan penafsiran terhadap hati manusia?

Karena ada prinsip 'apa yang keluar dari mulut berasal dari hati.' Jadi secara filosofis kita dapat melihat bahwa kata 'terserah' tidak hanya menjadi ekspresi manusia yang kecewa, tetapi menjadi salah satu alat ukur bagi pendengarnya untuk mengerti isi hatinya.

Kata terserah juga pernah kita ucapkan ketika kita juga 'marah.' Rasa kecewa banyak diringi oleh kemarahan. Oleh karena itu kata 'terserah' bisa memiliki penekanan khusus ketika kita sedang marah. 

Bagi yang marah, kata 'terserah' bisa saja mewakili puncak kemarahannya, sehingga ia bisa tertolong tekanan batinnya ketika sudah mengucapkan kata terserah. Namun bagi manusia yang mendengar kata 'terserah' yang diucapkan dengan tekanan tinggi, pasti akan berpikir secara subyektif. 

Apakah saya salah?. Apakah saya mengecewakan?. Apakah saya..... Hal tersebut bisa menimbulkan rasa bersalah bagi yang mendengarkan?. Waow menarik sekali bukan!

Pada level ini ungkapan 'terserah' justru menjadi sebuah hal yang absurd karena kita sekarang ada dikawasan pemikiran tidak bisa membedakan manakah sebenarnya sedang 'terluka hatinya.'

Lalu kata 'terserah' juga tidak serta merta ada dikawasan yang negatif bagi subyek (penguncap) dan obyek (mendengar). Kata terserah juga bisa menghadirkan 'suasana bahagia.' Kenapa ya?

Untuk lebih mudah menceran bagian ini saya akan berikan contoh: seorang istri dihari ulang tahunya mendapatkan hadiah dari suami, lalu istri diberi pilihan oleh suami: "mau liburan ke Eropa atau ke Amerika?".

Lalu istri menjawab "terserah!". Maka apakah ketika kata 'terserah' diucapkan sedang terjadi konflik?. Tidak!. Ternyata sampai disini kita diajak berpikir bahwa kata 'terserah' tidak selalu menjadi perwakilan hati yang kecewa, marah. Justru kata 'terserah' bisa mewakili hati yang bahagia.

Kata 'terserah' juga bisa mewakili kehidupan manusia yang terikat dan bebas?. Apa maksudnya?. Saya akan memberikan sebuah contoh untuk menjelaskannya. 

Ada seorang pasien positif Covid-19 dia melarikan diri dari Rumah Sakit, ia berhasil membohongi petugas kesehatan dan petugas keamanan RS, lalu pasien tersebut berhasil bebas dari Rumah Sakit. Lalu kata perawat dan tim medis serta tim keamanan:"terserah dialah mau dirawat atau tidak?" 

Namun seminggu kemudian pasien tersebut meninggal karena Covid-19 ditempat persembunyianya. Kata terserah tersebut bisa dipahami sebuah kebebasan, yaitu pasien yang masa bodoh pada tim medis sehingga bebas dari RS dan Tim Medis serta Tim Keamanan yang bebas dari satu beban dalam merawat pasien Covid-19. 

Namun ternyata tindakan terserah itu juga memiliki 'ikatan.' Apa maksudnya?. Artinya pasien positif Covid-19 tersebut tetap terikat oleh si Covid-19 dan akhirnya ikatan tersebut membuatnya dimatikan oleh si Covid-19. 

Apakah ikatannya hanya tertuju kepadasi pasien yang sudah meninggal?. Tentu tidak! Pastilah para warga atau keluarga memiliki rasa takut untuk menguburkan atau memandikan jenazahnya, sehingga kembali lagi dipanggil petugas kesehatan yang lengkap dengan Alat Pelindung Diri (APD), ya.... pada akhirnya kata 'terserah' kembali mengingat kedua belah pihak. Sampai disini kita memiliki pemikiran filosofis bahwa kata 'terserah' memiliki unsur mengikat bukan membebaskan.

Jadi bagaimanakah seharusnya kita menggunakan kata 'terserah'. Maka saya juga mengatakan untuk selanjutnya 'terserah anda!'. Kata 'terserah' juga menunjukkan sebuah pembiaran, kita pernah ingin membiarkan sesuatu dan mengabaikannya dengan diwakili oleh kata 'terserah.' 

Tetapi dalam konteks tertentu perlu kita pahami secara filosofis bahwa ketika kita membiarkan dan mengabaikan justru itu akan semakin mengikat dan menyakiti hati kita, jika obyek yang akan kita biarkan dan abaikan adalah bagian yang tak terpisahkan dari kita. Untuk lebih mudah saya akan berikan contoh: 

Seorang ayah memiliki seorang anak yang tidak taat, anak tersebut suka keluar malam dan pulang sampai pagi tanpa memberi kabar kepada sang ayah, lalu ia memangil anak tersebut, ia menegur dengan baik. Lalu anak tersebut berubah, namun seminggu kemudian anak tersebut kembali tidak taat, sang ayah kembali menegur. 

Anak tersebut berubah oleh teguran sang ayah. Namun seminggu kemudian sang anak tersebut kembali tidak taat pada sang ayah, sang ayah mulai marah kepada sang anak dan akhirnya berkata kepada sang anak "sekarang terserah kamu?." 

Tiada lagi terguran dari Sang Ayah dan anak tersebut semakin tidak taat, dan pada akhirnya anak tersebut mengalami insiden, ia meninggal karena obat-obatan terlarang.

Peristiwa tersebut menimbulkan hati sang Ayah justru penuh kesedihan, apalagi hati sang ibu. Peristiwa tersebut menunjukkan kata 'terserah' bukan membuat orang tua tersebut nyaman hatinya, justru menimbulkan rasa sakit yang dalam.

Saya akan menutup tulisan ini dengan sebuah perenungan spiritualitas dalam iman Kristen. Begitulah kita ketika kita pernah berkata 'terserah' pada kehidupan kerohanian kita. 

Kita mengatakan 'terserah' karena kita tidak peduli pada teguran Tuhan melalui Alkitab Firman Allah, kita berkata 'terserah' karena kita marah pada Tuhan yang tidak menjawab doa kita. Kita berkata 'terserah' pada Tuhan karena kita ingin melepaskan hidup ini dari yang nama-Nya Tuhan. Tetapi justru ungkapan 'terserah' tersebut menimbulkan kesakitan dan penderitaan yang lebih dalam dirasakan oleh batin. J

ohn Calvin seorang Teolog abad ke XVI mengatakan bahwa manusia memiliki 'sensus Divinitas' (perasaan beragama). Sehingga ketika manusia mulai ingin meluapkan kata 'terserah' dalam arti untuk meluapkan hal yang negatif kepada Allah. 

Itu hanya akan merugikan dirinya dan mengikat dirinya pada kemalangan sejati. Jadi mari 'hidup lebih peduli' baik kepada Tuhan dan Sesama. Kehidupan kita akan dibangun dengan indah dan damai sejahterah jika kita saling peduli, meskipun kita harus peduli dengan manusia yang suka 'terserah'. Kualitas kepedulian kita akan diuji dengan kata 'terserah'. Deust est ergo sum.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun