Mohon tunggu...
Made Nopen Supriadi
Made Nopen Supriadi Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti dan Penulis

Lahir di Sebelat, 09 November 1989. Saat ini melayani di Sekolah Tinggi Teologi Arastamar Bengkulu (STTAB). Menyelesaikan studi S-1 Teologi (S.Th) di STT Ebenhaezer, Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Saat ini sedang menempuh studi Magister Teologi (M.Th) konsentrasi Biblical Reformed Theology di STT SETIA Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Terserah: Sebuah Perenungan Filosofis (3)

20 Mei 2020   20:36 Diperbarui: 20 Mei 2020   21:08 1580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Dibuat Oleh: Made Nopen Supriadi

Anak tersebut berubah oleh teguran sang ayah. Namun seminggu kemudian sang anak tersebut kembali tidak taat pada sang ayah, sang ayah mulai marah kepada sang anak dan akhirnya berkata kepada sang anak "sekarang terserah kamu?." 

Tiada lagi terguran dari Sang Ayah dan anak tersebut semakin tidak taat, dan pada akhirnya anak tersebut mengalami insiden, ia meninggal karena obat-obatan terlarang.

Peristiwa tersebut menimbulkan hati sang Ayah justru penuh kesedihan, apalagi hati sang ibu. Peristiwa tersebut menunjukkan kata 'terserah' bukan membuat orang tua tersebut nyaman hatinya, justru menimbulkan rasa sakit yang dalam.

Saya akan menutup tulisan ini dengan sebuah perenungan spiritualitas dalam iman Kristen. Begitulah kita ketika kita pernah berkata 'terserah' pada kehidupan kerohanian kita. 

Kita mengatakan 'terserah' karena kita tidak peduli pada teguran Tuhan melalui Alkitab Firman Allah, kita berkata 'terserah' karena kita marah pada Tuhan yang tidak menjawab doa kita. Kita berkata 'terserah' pada Tuhan karena kita ingin melepaskan hidup ini dari yang nama-Nya Tuhan. Tetapi justru ungkapan 'terserah' tersebut menimbulkan kesakitan dan penderitaan yang lebih dalam dirasakan oleh batin. J

ohn Calvin seorang Teolog abad ke XVI mengatakan bahwa manusia memiliki 'sensus Divinitas' (perasaan beragama). Sehingga ketika manusia mulai ingin meluapkan kata 'terserah' dalam arti untuk meluapkan hal yang negatif kepada Allah. 

Itu hanya akan merugikan dirinya dan mengikat dirinya pada kemalangan sejati. Jadi mari 'hidup lebih peduli' baik kepada Tuhan dan Sesama. Kehidupan kita akan dibangun dengan indah dan damai sejahterah jika kita saling peduli, meskipun kita harus peduli dengan manusia yang suka 'terserah'. Kualitas kepedulian kita akan diuji dengan kata 'terserah'. Deust est ergo sum.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun