Tatanan dunia mengalami banyak perubahan dan pergeseran politik dan ekonomi. Hal ini ditunjukkan oleh upaya negara-negara besar untuk menggoyahkan aspek unipolaritas Amerika dengan menggunakan beberapa alat, salah satunya ekonomi. Negara dengan ekonomi yang kuat mampu menegaskan kedaulatannya dan memiliki kekuatan untuk memaksakan hegemoni dan pengaruhnya.
Persaingan antara negara-negara besar melebihi ambang persaingan total WTO. Hal Ini terlihat dalam perang dagang antara China dan AS dan sanksi Barat terhadap invasi Rusia ke Ukraina. Sanksi ini dimaksudkan untuk merugikan ekonomi Rusia dan menghentikan Vladimir Putin menjadikan Rusia sebagai kekuatan global. Di antara kompetisi ini, perang mata uang menjadi menonjol sebagai bagian penting dan penting dari kompetisi tersebut.
Perang mata uang adalah ketika dua atau lebih negara mencoba untuk mendorong ekonomi mereka dengan cara mendevaluasi mata uang. Di pasar valuta asing, harga mata uang berubah sepanjang waktu. Tetapi perang mata uang adalah ketika sejumlah negara pada saat yang sama membuat keputusan kebijakan yang dimaksudkan untuk membuat mata uang mereka sendiri menjadi kurang berharga.
Istilah "perang mata uang" pertama kali digunakan oleh Guido Mantega, menteri keuangan Brasil, pada tahun 2010. Dia menggambarkan perang antara China, Jepang, dan AS yang bersaing untuk mendapatkan nilai mata uang terendah.
Dalam era nilai tukar mengambang, nilai mata uang sebagian besar ditentukan oleh pasar. Akan tetapi, bank sentral suatu negara dapat merekayasa suatu mata uang kehilangan nilainya dengan cara membuat kebijakan ekonomi yang berdampak pada depresiasi mata uang.
Bank sentral memiliki banyak cara untuk meningkatkan jumlah uang yang beredar dengan memberikan pinjaman. Hal ini dilakukan dengan menurunkan suku bunga pinjaman antar bank, yang dapat mempengaruhi pinjaman konsumen. Bank sentral juga dapat menambah pinjaman ke cadangan bank nasional.
Menurunkan suku bunga adalah salah satu taktik. Hal lain yang dapat dilakukan adalah pelonggaran kuantitatif (quantitative easing), yang mana bank sentral membeli obligasi atau aset lain dalam jumlah besar di pasar. Tindakan ini tidak sejelas devaluasi mata uang tetapi memiliki efek yang mungkin sama.
Devaluasi mata uang dapat merusak produktivitas dalam jangka panjang karena akan membuat bisnis lokal menjadi terlalu mahal dalam membeli peralatan modal dan mesin dari negara lain. Jika depresiasi mata uang tidak disertai dengan reformasi struktural, produktivitas domestik pada akhirnya akan menurun.
Negara-negara terlibat dalam perang mata uang untuk mendapatkan keunggulan dalam perdagangan internasional. Ketika suatu negara menurunkan nilai mata uangnya, hal ini membuat barang yang dijual di luar negeri menjadi lebih murah. Ekspor akan meningkat, semakin menguntungkan, dan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan. Karena itu, ekonomi negara tumbuh lebih cepat. Perang mata uang juga membuat orang lebih cenderung memasukkan uang ke aset negara. Investor asing dapat membeli saham di pasar saham dengan harga lebih murah. Investasi langsung asing naik karena berbisnis dengan pemerintah rata-rata menjadi lebih murah. Perusahaan dari luar negeri juga dapat membeli sumber daya alam.
Pada saat yang sama, devaluasi membuat impor lebih mahal bagi konsumen negara itu sendiri. Hal ini memaksa konsumen dalam negeri untuk memilih produk substitusi yang ada di dalam negeri. Namun, jika negara lain juga mendevaluasi mata uangnya, efek pada ekspor dan impor yang diinginkan mungkin tidak akan terjadi. Sebaliknya, negara itu mungkin kembali ke titik awal atau berakhir dalam situasi perdagangan yang bahkan lebih tidak menguntungkan.
Jika suatu negara berhasil dalam perang mata uang, ekspornya akan lebih murah, dan impornya akan diminimalkan. Hal Ini akan meningkatkan neraca perdagangan. Jika suku bunga diturunkan untuk mendevaluasi mata uangnya, hal itu mungkin memiliki efek untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Jika suatu negara kalah dalam perang mata uang, ekspornya akan menjadi lebih mahal, dan impornya akan menjadi lebih murah. Hal ini dapat mempengaruhi neraca perdagangan dan industri dalam negeri.
Beberapa Contoh Perang Mata Uang
Perang Mata Uang China
Pada 11 Agustus 2015, pasar valuta asing dikejutkan oleh bank sentral China yang membiarkan yuan anjlok menjadi 6,3845 yuan per dolar. Pada 6 Januari 2016, Sebagai bagian dari upaya berkelanjutan untuk memodernisasi ekonominya, China  terus melonggarkan nilai tukar yuan. Akbatnya, biaya ekspor China telah meningkat lebih mahal daripada ekspor negara-negara yang mata uangnya tidak dipatok terhadap dolar.
Perang Mata Uang Jepang
Pada bulan September 2010, Jepang turut serta terlibat dalam perang mata uang. Saat itu, pemerintah Jepang menjual kepemilikan yen untuk pertama kalinya dalam enam tahun terkahir. Hal ini menandai awal keterlibatan Jepang dalam konflik tersebut. Nilai tukar yen mencapai titik tertinggi sejak 1995. Hal ini membuat perekonomian Jepang terancam karena sangat bergantung pada ekspor.
Akumulasi mata uang yang relatif aman oleh negara lain telah menyebabkan peningkatan nilai tukar yen. Jika dibandingkan dengan pasar tradisional, perdagangan valas memiliki dampak yang jauh lebih besar terhadap nilai mata uang utama seperti yen, dolar, dan euro. Dengan adanya keuntungan ini, Jepang mungkin akan mendevaluasi yen agar dapat terus  membanjiri pasar dengan yen.
Uni Eropa
Pada 2013, Uni Eropa terlibat dalam perang mata uang. Uni Eropa ingin melawan deflasi dengan meningkatkan ekspornya. Pada 7 November 2013, Bank Sentral Eropa menurunkan suku bunga utamanya menjadi 0,25% dari level sebelumnya 0,50%. Karena tindakan ini, nilai satu euro dalam dolar naik menjadi $1,3366. Pada tahun 2015, satu euro hanya dapat ditukar dengan $1,05. Hal ini membuat kekhawatiran para investor akan masa depan euro sebagai mata uang.
Pada tahun 2016, penurunan nilai euro dikaitkan dengan Brexit, yang merupakan keputusan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa. Sebaliknya, kekuatan euro meningkat pada 2017 karena dolar melemah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI