Setiap Milad Muhammadiyah teringat Buya Prof Yunahar Ilyas
Oleh: Made Dike Julianitakasih Ilyasa
Hari-hari pertama sebagai mahasiswa baru selalu menjadi hal yang paling dinanti, termasuk aku. Cukup banyak cerita horror tentang dunia kampus yang menggentayangi diri; mulai dari teman yang sulit diajak kerja kelompok, hingga dosen yang kikir nilai. Tentu saja itu semua masih sebatas rumor di ujung lidah. Aku perlu membuktikannya sendiri.
September 2017. Mata Kuliah Aqidah/Akhlak. Gedung F6 ruang 002. Aku masih mengingatnya. Kebiasaan alamiah ketika memasuki kelas baru, aku langsung memperhatikan siapa dosennya. Beliau tampak seperti dosen senior. Garis kerutan di wajah dan putih helai rambut semakin menegaskan usia senjanya. Betul itu Prof Yunahar? Kayaknya bakal killer nih, batinku mengaduh.
"Bagi yang terlambat, silakan masuk tanpa menimbulkan suara. Demikian juga yang ingin keluar. Jangan sampai mengganggu pembelajaran." Begitu kira-kira sabda beliau ketika merencanakan kontrak belajar. Sampai detik itu belum kulihat senyum yang biasa muncul saat bertemu orang baru (dalam hal ini mahasiswa baru), ditambah lagi suara berat beliau yang semakin memberi kesan seram. Genap sudah ketakutanku. Tetapi siapa sangka, seseorang yang dahulu kutakuti, kelak menjadi seseorang yang paling aku hormati sekaligus kagumi di lingkungan kampus.
Aku kerap bertanya-tanya, mengapa beliau yang notabene seorang professor bersedia mengajarkan kami yang masih berstatus sebagai mahasiswa semester satu? Tingkat S1 pula.
"Itu karena, bagi beliau pelajaran Aqidah dan Akhlak adalah hal paling fundamental sekaligus krusial untuk diajarkan pada mahasiswa semester satu," ujar asisten dosen beliau suatu saat. Gambaran tentang dosen senior yang killer pun perlahan memudar.
Tiba juga waktu bagi kami untuk Uji Kompetensi. Hanya pilihan ganda. Kami saling melirik. Soal ini cukup sulit... T_T gumam kami dalam hati seolah bisa mendengar jeritan hati satu sama lain. Menyadari reaksi kami melihat soal-soal tersebut, asisten dosen Prof Yun pun angkat bicara. "Sebenarnya saya sudah membuat soal yang lebih sulit dari ini. Tapi Prof Yun malah bertanya balik, yakin kalian sanggup mengerjakan itu? Akhirnya soal-soal saya buat lebih mudah dari versi awal." Baiklah, mungkin kami memang harus berterima kasih pada Prof Yun atas pengertiannya.
Prof Yun memiliki selera humor yang sangat khas. Dengan ekspresi datar sekalipun, beliau mampu melontarkan celetukan-celetukan lucu sekaligus tidak 'boros'. Pernah suatu ketika, kami diberi tugas merangkum buku Kisah Para Nabi yang ditulis oleh beliau. Otomatis kami perlu membeli buku tersebut. Sebetulnya harganya relatif terjangkau, di bawah harga yang dijual di toko. Meski demikian, ada beberapa mahasiswa yang lebih memilih untuk meminjam.
"Pak, bayar bukunya boleh dicicil tidak?" tandas seorang mahasiswa. Suara dompet di akhir bulan akhirnya berbunyi nyaring.