Ilhan mengerjap. Tadinya memang berniat sekadar dalam ucap, namun tangkas ia menyadari maksud Lingga. "Kalau ada yang kamu mau, bilang aja." Lebih cepat lebih baik, pikirnya. Lagipula, Ilhan bukannya suka bergantung atau berutang budi pada orang lain.
Lingga tampak menimbang-nimbang. "Apa aku boleh tinggal denganmu?"
Ilhan terbengong.
"Tentu saja kalau kamu berkenan." Buru-buru Lingga menimpali.
Ilhan sudah biasa bertemu berbagai orang yang memanfatkan kekayaannya, atau mungkin lebih tepat diasumsikan harta orang tuanya, dan ia tidak keberatan dengan hal itu. Tetapi baru kali ini ada orang, terlebih baru dikenal, yang meminta tinggal bersamanya.
"Saya enggak keberatan sih."
Boleh jadi akal sehatnya kurang berfungsi sebab kantuk menjangkiti, namun pada akhirnya kalimat itu juga yang keluar. Sontak Lingga girang menepuk kepala Ilhan. "Makasih banget, bro!"
Ilhan terdiam. Baru kali ini ia merasa tidak risih bersinggungan dengan orang lain. Dan baru kali ini pula, ia merasakan firasat ganjil menyerbu sudut-sudut sembilu kalbu.
**
Seminggu berlalu sejak Ilhan menyetujui permintaan Lingga untuk tinggal dengannya. Pertama kali sepatu buluk Lingga---yang dalam sebulan belakangan sudah lima kali solnya dilem---menapak di indekos eksklusif itu, ia merasa seolah berada di dunia lain. Dunia yang selama ini ia pikir tak terjangkau, kini berada di depan matanya sendiri. Daftar menu sarapan-makan siang-makan malam dirangkum dalam bahasa asing. Pernah suatu saat Lingga menyebut 'yoghurt' dengan aksen medok yang kentara, berujung pada para waitress saling berpandangan sembari tersenyum tanggung. Momen itu sukses membuat Ilhan berurai air mata saking menahan tawa. Satu minggu, dan Lingga berhasil meluruhkan sekat gunung es dalam diri Ilhan.
Satu yang tak pernah Ilhan tahu adalah motif Lingga untuk menginap berhari-hari di indekosnya. Sekalinya ditanya pun Lingga hanya mengernyih sembari bertanya balik, "Kamu betulan pengin tahu?" Lantas berpaling ke kalender di samping kamar Ilhan. "Sebentar lagi juga bakal tahu." Sepintas sendu mengemas roman lembut Lingga. Yang lebih aneh, Lingga sedikitpun tidak bergantung pada Ilhan kecuali sekadar tempat untuk tidur.
Ilhan mengoles filbert brush di palet berbentuk kepik, membubuhkan warna phthalo green pada kanvas di berbagai sisi. Lihai menitik-nitik spektrum cat minyak dengan kelingkingnya sesekali. Lukisannya sudah setengah jadi.