Mohon tunggu...
Made Dike Julianitakasih I
Made Dike Julianitakasih I Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Made Dike Julianitakasih Ilyasa. Pegiat Komunitas Ruang Imajinasi Sastra IMM FAI UMY. Pernah Meraih Juara Penulisan Cerpen Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional (PEKSIMINAS) Kemdikbud

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menjelajah Kisah, Menggapai Beasiswa (Part 2)

6 Juni 2023   21:22 Diperbarui: 6 Juni 2023   21:36 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar @umyogya

Menjelajah Kisah, Menggapai Beasiswa (Part 2)

Tiga kali gagal seleksi beasiswa. Baru tiga kali, hiburku. Di luar sana bahkan ada yang baru berhasil pada percobaan kesekian belas atau kesekian puluh. Sembari menunggu pengumuman beasiswa keempat yaitu Beasiswa Prestasi Talenta / BPT (saat ini diubah menjadi Beasiswa Indonesia Maju / BIM), aku mendapat panggilan mengajar dari sekolah di dekat rumah. Kupenuhi panggilan itu.

Lepas sebulan mengajar, suatu keganjilan terjadi. Ayah yang biasanya menyempatkan menelepon setiap hari, tiba-tiba tidak menghubungi sama sekali. Hingga malam datang. Ini tidak wajar. "Coba telepon teman kantornya," kataku kepada Ibu. Ketika itu Ibu sedang tinggal bersamaku, berlainan pulau dengan Ayah. LDR, kata anak zaman sekarang. Ibu pun meminta teman kantor Ayah untuk menengok ke rumah.

Benar saja, situasinya gawat. Teman kantor Ayah menghubungi kami dengan mode panggilan video, memperlihatkan Ayah yang sedang tertawa sendiri, linglung, bicara tidak nyambung, juga tidak jelas. Obat yang seharusnya diminum rutin oleh Ayah sempat terputus selama 2 minggu. Memang Ayah didiagnosis gangguan psikis sejak lama, dan yang kami tidak pernah tahu, begini akibatnya jika putus obat tiba-tiba tanpa petunjuk dokter. Ibu pun langsung menuju tempat Ayah esok hari. Karena sudah larut malam, tidak memungkinkan berangkat saat itu juga.

Situasi puncak pandemi pada pertengahan tahun 2021 semakin membikin rumit keadaan. Tidak banyak orang berani membesuk sebab curiga penyakit Ayah disebabkan virus corona. Bahkan saudara pun enggan mendampingi. "Saya bisa bawa Bapak ke RSJ Bangli, tapi nanti Ibu gak bisa lihat Bapak. Bapak pasti gak boleh keluar sampai dinyatakan sembuh," ujar Kepala Banjar (semacam Kepala Dusun) di seberang telepon ketika kami hubungi. Rumah Sakit Jiwa! Jelas berbeda dengan sakit fisik yang bisa diperkirakan kapan sembuhnya, penyakit jiwa atau psikis tidak sesederhana itu. Untungnya ada beberapa teman sekolahku dulu yang mau menemani Ayah semalam karena perjalanan Ibu ke tempat Ayah memakan waktu seharian.

Malam hari, sementara Ibu masih di bus menuju lokasi, aku tetap terjaga. Temanku bolak-balik mengabarkan kondisi Ayah, tentu aku tidak bisa memejamkan mata. Jam 12 malam. Orang-orang di rumah sudah terlelap. Temanku mengirim pesan suara, "Ke, Ayahmu itu... ternyata," ia terdiam sejenak. Dalam jeda yang singkat itu, kurasakan jantungku berdegup bertalu-talu, "... dia begitu merindukan kalian. Buku skripsimu dan skripsi kakakmu, juga dua boneka di tempat tidurnya, sering dia ajak bicara. Ayahmu menganggap ini sebagai kalian berdua."

Sontak tangisku pecah dalam sunyi. Hancur dikoyak kenyataan. Dalam sekejap merasa menjadi pendosa paling jahanam karena banyak hal. Kiriman beberapa foto dan video berikutnya genap meluluhlantakkan perasaan. Ayahku mengamuk, membanting motor dan barang-barang sekitar, ngotot ingin bertemu Ibu dan kakakku. Sementara kala itu Kakak masih tinggal denganku, tidak ikut Ibu ke tempat Ayah lantaran berbagai pertimbangan. "Kamu istirahat saja, biar aku urus yang di sini," sambung temanku kemudian. Meski terbangun setiap beberapa menit sekali, aku mampu melewati malam-malam penuh sengsara itu. Alhasil, paginya aku pun demam.

Sesampainya Ibu di sana, Ayah mengamuk lagi di malam hari. Akhirnya Ayah dilarikan ke UGD. Unit tersebut sibuk, para nakes hilir-mudik bergantian mengurus yang sakit dan yang memang sudah jadi mayit. Ibu pun jatuh terduduk di lantai, terlampau lelah mempedulikan. Lewat 2 hari Ayah baru dipindah dari UGD ke ruang lain sambil menunggu jatah kamar kosong, agar tidak berbareng dengan pasien COVID-19.

Di bawah kendali obat bius, Ayah bertanya lirih, "Gimana beasiswanya Una...?"

"Una lolos beasiswa," jawab Ibuku pelan.

Ayah pun kembali tak sadarkan diri. Ya, hari itu tepat aku mendapat surat elektronik dari helpdesk beasiswa Kemdikbud mengenai hasil keputusan Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI). Aku dinyatakan lolos. BPT adalah salah satu skema BPI.

Apakah aku bahagia? Aku tidak tahu. To gain something, perhaps we have to sacrifice some things. Tapi, demi mencapai tahap ini saja, begitu banyak yang harus dilalui. Aku merasa tak siap. Seperti ikan yang kehabisan napas di dalam air, aku kalang kabut mencari pertolongan. Barangkali suatu keberuntungan saat itu pembelajaran masih serba daring, baik di sekolah maupun di kampus. Sehingga aku hanya perlu datang ke sekolah sesuai jadwal piket dan mengajar secara online, demikian juga kuliahnya.

Bagaimana kuliahku? Semester pertama terasa kacau. Kejadian malam itu kiranya telah meracuni tubuh dan pikiran. Akibat sesak napas dan ketakutan setiap menjelang tidur di malam hari, juga sakit kepala dan gejala panik jika mendengar notifikasi apapun dari ponsel, aku tidak sanggup berlama-lama menatap layar gawai. 

Sehingga sering mengerjakan tugas sekadarnya, bahkan terkadang terlambat mengumpulkan. Karena keluhan ini sudah pada tahap mengganggu produktivitas, maka aku memutuskan ke psikolog.
Setelah berbincang-bincang dengannya, ia berkesimpulan bahwa yang kurasakan ini bukan merupakan patologi. Hanya karena aku masih baru menjalankan banyak peran di usia muda, terutama sebagai ibu, mahasiswa, dan guru. Burnout, katanya.

"Berapa usia anaknya?"

"Dua tahun."

"Nah, apalagi masih dua tahun." Ia meletakkan kertas di meja. "Dia pasti bisa merasakan jika anda sedang tidak baik-baik saja. Kalau anda sedang kacau, pasti dia rewel. Ya, 'kan?" Aku tergemap. Memang benar.

"Disadari atau tidak, emosi yang kita rasakan berdampak pada perilaku. Misalnya bila gelisah, anda akan cenderung lebih cuek, tidak benar-benar 'berada di sini'. Dan anak secara naluriah bisa merasakan yang seperti itu. Jadi, berusahalah untuk mengendalikan pikiran dan batin."

"Caramu bicara, membawakan diri, dan lainnya... Saya percaya, kamu bisa," tandas Psikolog itu, sedikit membabat batas formal sekaligus menutup sesi konseling dengan pasti. Dari mana ia beroleh keyakinan demikian, ataukah hanya basa-basi untuk sementara melegakan hati, aku tidak tahu. Satu hal semakin jelas di depan mata: aku memang harus pulang. Menemui Ayah dan Ibu. Menuntaskan semua yang belum selesai.

Maka, beberapa bulan kemudian aku betul-betul menyempatkan pulang; menjumpai Ayah dan Ibu. Menangis sejadinya dalam pelukan keduanya. Meminta maaf atas segala salah, yang terucap dan yang tidak. Baru seusai itulah aku merasa lebih dari siap dan sanggup menghadapi apapun yang menanti di depan. 

Sekembalinya ke kota tempat melanjutkan studi, meski gejala-gejala buruk yang kualami tidak langsung menghilang, namun aku merasa berangsur-angsur lebih tenang. Di saat terpuruk begitu, Tuhan pun masih menyelamatkan IPK-ku: di atas 3,5. Aku semakin percaya bahwa, jalan yang kelak kulintasi barangkali tidak selalu mulus. Ada kalanya harus meniti jalanan terjal, berkelok, bahkan curam. Tetapi selama aku melibatkan Tuhan di sana, pasti Dia mampukan.

"Halo, semuanya. Selamat pagi," sapa seorang dosen di ruang virtual memecahkan lamunanku. Aku tersentak. Sapaan itu mengakhiri ingatanku tentang masa lalu, di saat yang bersamaan bersiap memulai lembaran masa depan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun