Mohon tunggu...
Made Dike Julianitakasih I
Made Dike Julianitakasih I Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Made Dike Julianitakasih Ilyasa. Pegiat Komunitas Ruang Imajinasi Sastra IMM FAI UMY. Pernah Meraih Juara Penulisan Cerpen Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional (PEKSIMINAS) Kemdikbud

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjelajah Kisah, Menggapai Beasiswa (Part 1)

6 Juni 2023   06:27 Diperbarui: 6 Juni 2023   06:42 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar @made_dikee

Menjelajah Kisah, Menggapai Beasiswa (Part 1)

Made Dike Julianitakasih Ilyasa, S.Pd. Demikian yang tertulis dalam ijazah sarjanaku. Kutaruh kembali lembar tersebut di map, kemudian bersiap mengikuti kuliah jam pertama di hari Senin. Yang kumaksud, tentu, kuliah program magister di semester 2. Sembari menunggu dosen hadir di ruang virtual, pikiranku mengembara jauh ke masa sebelum aku berhasil mendapat beasiswa demi menempuh studi lanjut.

Aku datang ke Kota Gudeg sebagai anak rantau dari Pulau Dewata. Di perkuliahan semester 1 program sarjana, aku sudah memutuskan untuk menikah. Tenang dulu, aku tidak sedang membujuk siapapun untuk melakoni jalan ini. Dan, memilih jalan ini bukan juga karena berpikir bahwa segalanya lantas jadi mudah. 

Kukatakan begini pada calon suamiku saat itu: "Aku menerima beasiswa full study dari kampus. Karena itu, boleh jadi ke depannya aku mesti berbagi waktu, tenaga, dan pikiran dengan organisasi kampus, berbagai perlombaan, bahkan tugas-tugas kuliah. Kuharap kita bisa bekerjasama." Dia mengiyakan.

Seusai akad terucap memang tidak serta-merta kehidupan terasa lebih ringan. Tidak jarang ia bersikeras menemaniku mengikuti macam-macam kegiatan organisasi sampai larut malam. 

Seorang teman menyenggolku, "Kasihan suamimu harus nganterin sampai malam banget." Kasihan? Jika aku di posisinya, kurasa aku juga akan melakukan hal yang sama tanpa merasa keberatan sedikit pun. Karena mencintai, bukan tentang siapa yang merasa paling berkorban. Setidaknya, begitu menurut kami.

Ketika tengah mengakses situs jejaring kampus di laboratorium universitas, tertera pengumuman international conference yang hendak digelar dalam waktu dekat. Membaca biaya yang diperlukan sebagai presenter, kontan aku menghela napas pasrah. Dalam perjalanan pulang ke rumah, kucoba mengubur dalam-dalam keinginan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. "Lupakan saja. 

Masih banyak kebutuhan yang perlu dipenuhi," gumamku, mengingat belum membeli popok untuk bayi perempuan kami yang baru beberapa bulan lahir. Tiba-tiba, muncul notifikasi pesan Whatsapp dari ponsel. Rupanya dosenku. "Hai, Dike. Sibuk? Apakah mau ikut international conference bersama saya?"

Hah! Puji Tuhan. Nyaris ponsel ini terlepas dari genggaman. Bagaimana mungkin? Entahlah. Tuhan selalu punya cara untuk menjawab doa. Tak perlu aku pertanyakan. Sembari menenangkan diri, tanpa pikir panjang kuiyakan tawaran tersebut. Menjelang hari H, aku masih kepalang giat berlatih presentasi meski terkadang sambil menggendong bayi mungilku. 

Cukup tahu diri kefasihan bahasa Inggrisku terbatas pada bagian memperkenalkan diri. Apakah lantas presentasiku lancar dan mampu menjawab pertanyaan dari audiens? Tidak juga. Aku masih gugup, "kena mental" sehabis dibantai reviewer, dan terbata-bata menjawab berbagai gempuran pertanyaan. Tetapi, aku senang. Sesederhana karena inilah hal yang benar-benar ingin kulakukan.

Berbekal pengalaman konferensi pertama itulah aku memberanikan diri mengikuti konferensi-konferensi lainnya: di Malang dan Bandung. Kemudian mengikuti Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) tahun 2020 yang dilangsungkan secara daring, walau sampai lolos pendanaan saja. 

Di masa-masa akhir sebagai mahasiswa program sarjana, kusempatkan mengikuti Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional (PEKSIMINAS) tangkai lomba penulisan cerpen yang digelar oleh Kemendikbud pada tahun yang sama.

PEKSIMINAS sendiri mempunyai beberapa tangkai lomba: seni lukis, fotografi, penulisan puisi, penulisan lakon, penulisan cerpen, komik strip, desain poster, seni tari, vocal group, baca puisi, monolog, menyanyi pop, menyanyi keroncong, menyanyi seriosa, dan menyanyi dangdut.

Setiap universitas di seluruh Indonesia hanya boleh mengirim 1 delegasi untuk setiap tangkai lomba. Tahap pertama adalah seleksi internal kampus di mana terdapat 4 orang termasuk aku yang hendak berpartisipasi lomba cerpen. 

Setelah diadakan latihan dan seleksi lagi, tersaringlah aku sebagai perwakilan. Aku menyukai dunia penulisan fiksi sejak lama, dimulai dari usia balita senang membaca komik jepang (manga), di tingkat SD gemar membaca novel teenlit, kemudian SMP awal mula coba-coba menulis cerita bersambung di buku tulis. 

Pembacanya ialah teman-teman sekelas, ada pula sebagian dari kelas lain dan kakak kelas. Jika di SMP mengidolakan novel-novel Tere Liye, lantas di SMA aku mengultuskan novel ciptaan Dee Lestari; terutama serial Supernova. 

Di jenjang ini, aku masih suka membuat cerita, baik cerita pendek ataupun bersambung yang sambungannya lebih sering tidak dilanjutkan. Mandek di tengah-tengah. Sampai selagi kuliah, aku tidak menulis cerita apa-apa akibat tenggelam dalam tugas-tugas kuliah dan penelitian. Cerita-cerita itu pun tinggal jadi endapan yang belum pernah muncul ke permukaan.

Berbeda dengan PKM yang prosesnya memakan waktu berbulan-bulan, PEKSIMINAS cabang lomba cerpen hanya membutuhkan waktu sehari termasuk technical meeting (TM). Jelas saja, karena tema dan ketentuan khusus cerpen baru diungkap ketika TM. 

Kami diberi durasi 8 jam untuk membuatnya. Kalau dalam kondisi normal (tidak pandemi), durasi hanya 6 jam. Saking gugupnya, sakit perut tak tertahan membuatku harus mengikuti TM virtual di kamar mandi!

Maksud hati membawa bekal banyak jajan agar lebih rileks dalam menyusun cerita. Siapa sangka melahap berbagai makanan manis justru membuat kantuk cepat menyerang. Jadilah aku, yang belum pernah mengikuti lomba penulisan cerpen sebelumnya, tergopoh-gopoh merampungkan cerita. 

Pada malam puncak PEKSIMINAS, penanggungjawab lomba dari kampus mengajak seluruh peserta nonton bareng live streaming pengumuman juara di kantor Student Center. Mengiming-iming bahwa ada salah satu dari kami yang masuk nominasi 10 besar, tanpa menyebutkan tangkai lombanya. 

Pastinya bukan aku, batinku meyakini. Kemungkinannya terlalu kecil. Tapi, apa salahnya mengucapkan selamat untuk sang juara nanti? Lalu aku pun meluncur ke kampus, walau sedang deras-derasnya hujan. 

Siapa sangka yang dimaksud oleh penanggungjawab adalah aku, yang ternyata menduduki posisi Juara 3. Lumayan menyelamatkan nama kampus di kancah nasional. 

Terang semuanya berkat kehendak Tuhan. Selepas itu, aku diminta membina komunitas sastra yang diinisiasi oleh fakultas, serta diundang ke radio untuk bincang-bincang mengenai lomba kemarin.

Sayang sekali timing-nya berdekatan dengan sidang skripsi, sehingga aku tidak punya banyak kesempatan untuk bersukacita. Masa-masa keringat dingin seusai sidang skripsi pun terlewati tanpa hambatan berarti. 

Skripsi kelar, bukannya lega. Aku justru terjebak di simpang 3: mengajar, kuliah S2, atau menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Mengajar demi mengamalkan ilmu selama kuliah sarjana. 

Studi lanjut karena baru saja lulus sehingga masih semangat belajar, terlebih saat itu masih pandemi sehingga agaknya peluang lolos beasiswa lebih besar, sekaligus sebagai investasi masa depan. Atau fokus mendampingi anak karena masa kecilnya tidak akan terulang. Masing-masing ada pertimbangannya, tentu. Sambil meminta petunjuk kepada Tuhan, aku mencoba semua skema: melamar kerja, mendaftar macam-macam beasiswa, dan mengasuh sang buah hati. Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun