Penolak Bala
Atap saung berderak dikoyak rintik-rintik gerimis, aku mendengarkan pembicaraan di balik kamar bilik bambu tipis-tipis.
"Anwar, sepertinya tidak lama lagi buah hati kita akan lahir. Aku bisa merasakannya," seru wanita di hadapan Anwar bersemangat, tetapi tidak dengan Anwar. Ia menyentuh perut istrinya beberapa kali seolah memastikan sesuatu, namun air mukanya tidak juga cerah.
"Bagaimana kamu bisa seyakin itu denganku, Erma? Sementara sampai saat ini pun aku belum pernah memberikan apa yang kamu mau." Anwar melirik tempat tidur mereka yang beralaskan tikar berlapis karung.
Erma tersenyum simpul. "Karena kamu bukan orang biasa---" kata-kata Erma terjeda oleh batuk yang enggan berhenti. Meski sedang hamil besar, ia tampak kurus dan letih. Erma menengok ke arahku yang sedang membersihkan bulu-bulu sayap dengan paruh. "Meri belum masuk kandang, Anwar?"
Anwar menoleh, berjalan pelan kepadaku. Air di sungai belakang rumah Anwar kotor sekali, selepas berenang di sana aku mesti melakukan ritual bersih diri seperti itu. Dari sorot mata Anwar aku menduga, dia merasakan suatu pertanda yang aku tidak tahu itu apa.
**
Sejak Anwar memungutku yang terdampar di sungai belakang rumahnya sekitar tiga tahun lalu, belum pernah aku melihatnya terlalu senang ataupun terlalu sedih selazimnya banyak orang. Jika senang, ia akan tersenyum sampai deretan gigi-giginya yang rata dan putih bersih terlihat, meski tidak pernah juga aku mendapatinya tertawa terbahak. Kalau sedih, biasanya dia hanya diam, merenung. Tapi kali ini berbeda. Air di kedua pelupuk mata Anwar tumpah ruah. Tadi pagi sekali ketika langit masih gelap dan Anwar hendak menunaikan ibadah, Erma menghembuskan napas terakhirnya. Siang itu jasadnya langsung dikebumikan.
Anwar membelai sayap kemudian pucuk kepalaku. Wajarnya, orang-orang takut dekat denganku karena aku sering menyosor jika merasa tidak aman. Hanya dengan Anwar aku merasa damai dan tenang.
"Orang-orang ramai memperbincangkan wabah COVID-19. Semalam pun Erma sempat mengeluh sesak napas." Anwar menunduk sembari memetik dawai banjo, mendendangkan kidung kabung yang menyayat hati. "Meri, kami ini diciptakan dari tanah dan akan kembali ke tanah. Pemisah antara manusia dan kematian itu serapuh sarang laba-laba dan setipis sayap laron. Tetapi kenapa..." Anwar menghentikan petikannya. "...rasanya ditinggalkan sesakit ini?"
Anwar menengadah, menyaksikan langit jernih bercorak bintang. "Karena kehidupan dan kematian saling menggoda, kurasa. Saking dekatnya, kita bahkan sering tidak bisa membedakan keduanya. Ada yang jasadnya masih hidup tetapi berjalan di muka bumi seperti orang mati, ada pula yang jasadnya sudah mati tetapi dirasakan masih hidup oleh banyak orang karena kebaikan-kebaikannya."
Karena itu, jangan terlalu lama bersedih, Anwar. Sebarkanlah manfaat bahkan sebesar biji sawi sekalipun. Aku mengeluarkan suara-suara. Kupikir dia tidak mengerti, tetapi sesaat kemudian dia tersenyum.
"Kamu benar, Meri. Aku harus hidup selagi masih hidup." Ia melenggang pergi ke dalam rumah. Tidak lama, ia kembali lagi ke teras. Rupanya Anwar membawa gunting, jarum, benang, dan pakaian Erma. "Katanya, busana menandakan kemajuan peradaban dan kemerdekaan. Tetapi untuk apa memperindah busana kalau pikiran masih dijajah dan hati teperdaya?" Anwar fasih memotong kain menjadi bentuk-bentuk yang bisa menutup mulut. Masker, katanya. "Untuk mencegah penularan virus corona," lanjutnya. Itulah cara Anwar mengenang istri dan buah hatinya dengan proses yang sederhana namun indah.
Esok pagi, Anwar berkeliling ke rumah-rumah warga untuk membagikan masker dan mengingatkan mereka agar menjaga jarak. Pertama, ia mendatangi rumah di seberang persis. Jelas sekali orang-orang itu tidak mengindahkan, sekadar mengangguk dan mengiyakan. "Takut itu sama Tuhan, bukan sama corona." Pak Muji, Ketua RT 8, melirikku yang tengah mendekati tangga sungai. "Angsa milikmu itu juga, sebaiknya dijual saja. Setelah kamu menolongnya dari sungai itu, kok, hidupmu seperti ketiban sial terus. Bisnis jatuh, rumah kandas, sekarang anak dan istri pun tak ada."
"Bukankah yang sial itu orang yang menulikan diri dari kebenaran?" tandas Anwar balik. "Sementara ini hentikan dulu aktivitas yang melibatkan banyak orang di satu tempat, Pak. Cukuplah istri saya dan janin di dalamnya yang meninggal karena ini. Rantai virusnya harus diputus."
"Kalau sudah waktunya meninggal, manusia tidak bisa menghindar. Mau pakai masker, cuci tangan, atau apa itu."
"Benar, Pak Muji. Manusia tidak bisa menghindarkan diri dari ajal, tetapi bisa memutuskan untuk apa dia hidup dan bagaimana caranya."
Pak Muji bergeming. Tampaknya ia tidak ingin berdebat lebih jauh.
**
Terhitung dua pekan sejak Anwar membagikan masker kepada warga, gejala batuk, demam, dan sesak napas menyerang hampir seluruh warga dusun. Dalam dua pekan ini pula, sudah digelar dua kali pengajian, dua kali sambatan, dan satu kali resepsi pernikahan. Aku tahu karena beberapa kali Anwar diundang ke acara-acara tersebut, tetapi ia menolak. Sementara pada sore hari yang sejuk mendung ini aku berenang di sepanjang sungai, kulihat segolongan bapak-bapak memancing sembari membicarakan Anwar.
"Dia itu, sejak Bu Erma wafat perilakunya jadi aneh. Tidak mau kumpul-kumpul, menengok barang sebentar saja tidak."
"Bukannya memang aneh dari dulu? Saya pernah ke rumahnya, mau minta tolong dibuatkan meja. Baru sampai teras rumah, dia sudah buka pintu. Nyuruh buang nomor togel di saku saya, padahal saya tidak pernah kasih tahu siapa-siapa soal nomor togel itu. Kayak dukun."
"Kelihatannya juga tidak mau menikah lagi. Padahal ada beberapa yang janda, di RT berapa itu, 9 ya?"
"RT 7 juga ada."
"Nah, itu."
"Katanya Bu Erma meninggal karena corona, bukannya Bu Erma memang punya asma dari dulu?"
"Pokoknya ngomongnya jadi melantur sejak Bu Erma meninggal, enggak usah diladeni."
Pembicaraan tersebut terus berlanjut hingga matahari tenggelam di ufuk barat. Aku pun kembali ke rumah, mendapati Anwar yang baru pulang. Wajahnya tampak lelah. Walau demikian, ia masih sempat menyiapkan sawi putih di mangkuk melamin oranye untukku. Seisi mangkuk tersebut lantas kulahap sampai tuntas. "Kamu kelaparan menungguku?" Â Anwar berjongkok, senyumnya yang teduh menghangatkan udara malam. "Semoga Tuhan memberkatimu."
Terang saja, dia keluar rumah pagi-pagi sekali untuk mendulang uang. Bekerja apa saja---mengamen, memperbaiki genteng bocor, mengarit rumput, kadang-kadang memulung. Dia itu orang yang paling serba-bisa, sekaligus yang paling tidak punya apa-apa. Karena Erma sudah tidak ada, uang hasil ia bekerja dibelikan bahan-bahan masakan. Hampir setiap dini hari aroma legit mengepul dari bilik dapurnya, kemudian makanan yang sudah dibungkus itu ia berikan kepada warga dusun. Anwar sendiri makan seadanya dari tanaman atau pohon di halaman rumah. Kangkung, daun melinjo, bayam, macam-macam.
Anwar sudah memberikan segala yang dia punya kepada warga, kepada dunia. Sepantasnya dia mendapatkan imbalan kebaikan yang berlipat ganda. Aku mengira demikian, tetapi ternyata aku keliru.
**
Dalam kurun waktu triwulan, angka kematian di dusun ini melonjak pesat. Sebagian besar meninggal akibat sesak napas. Hal itu menimbulkan kecemasan, ketakutan, bahkan depresi di kalangan warga. Â Prasangka dan gosip beredar dengan cepat.
"Tidak salah lagi, semuanya berawal dari Bu Erma. Dia orang pertama yang meninggal dengan gejala sesak napas!"
"Jangan-jangan, makanan yang dikasih ke kita juga ada virusnya? Astaga!"
"Kalau begitu, kenapa Pak Anwar masih sehat-sehat saja sampai sekarang? Janggal sekali."
"Sebenarnya ini rahasia, tapi aku pernah lihat Pak Anwar bawa tas mojo ke rumahnya. Ingat kata orang tua kita dulu? Tas mojo bisa dipakai untuk menyembuhkan penyakit."
"Itu! Itu dia! Pasti tas mojo itu kuncinya!
Bak kesetanan, warga ramai berbondong-bondong menuju rumah Anwar. Malam hari yang segalibnya sunyi, justru gaduh dan rusuh. Aku sampai terperanjat dibuatnya.
"Anwar! Keluar kamu!"
"Jangan cuma mau selamat sendiri! Berikan tas mojo itu!"
"Tas mojo!"
"Tas mojo!"
Anwar membuka pintu perlahan, masygul memandang keramaian itu.
"Saya tidak punya yang kalian cari," jawabnya tenang.
"Bagaimana mungkin dia bisa hidup sampai sekarang padahal istrinya sendiri sakit lantas meninggal?"
"Pembohong!"
"Tas mojo!"
Anwar mencari-cari, matanya terpasung pada Pak Muji yang tengah memprovokasi warga. "Bukankah anda sendiri yang mengatakan bahwa manusia tidak bisa menghindar dari kematian jika memang sudah waktunya?"
Pak Muji semakin geram. Ia maju menghantam Anwar, disusul tendangan dan gebukan dari kiri kanannya. "Sumber kematian itu sejak awal adalah orang ini! Cepat cari azimatnya!"
Warga bersorak, berpencar mencari tas mojo atau apapun yang terlihat seperti azimat. Aku memanggil-manggil Anwar, menyosor orang-orang biadab yang mengelilinginya. Sontak mereka menghajarku lebih bengis, dan aku hanya bisa mengamuk sembari mengibaskan sayap. Anwar berusaha melindungiku, amis darah mengucur deras dari kepala ke pelipis. Ia tidak akan sanggup bertahan lebih dari ini.
"Meri, maafkan aku. Mereka bukannya jahat, hanya belum bisa menerima kebenaran," bisik Anwar tersendat. Omong kosong!
Aku merasakan napas Anwar yang tadinya memburu, kini genap berhenti. Bersamaan dengan itu, warga kembali berkumpul dari pencariannya. Mereka saling menatap satu sama lain, dan tidak seorang pun yang membawa tas mojo.
***
MDJI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H