Mohon tunggu...
Made Dike Julianitakasih I
Made Dike Julianitakasih I Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Made Dike Julianitakasih Ilyasa. Pegiat Komunitas Ruang Imajinasi Sastra IMM FAI UMY. Pernah Meraih Juara Penulisan Cerpen Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional (PEKSIMINAS) Kemdikbud

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen "Penolak Bala"

31 Mei 2023   05:49 Diperbarui: 31 Mei 2023   05:52 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anwar menengadah, menyaksikan langit jernih bercorak bintang. "Karena kehidupan dan kematian saling menggoda, kurasa. Saking dekatnya, kita bahkan sering tidak bisa membedakan keduanya. Ada yang jasadnya masih hidup tetapi berjalan di muka bumi seperti orang mati, ada pula yang jasadnya sudah mati tetapi dirasakan masih hidup oleh banyak orang karena kebaikan-kebaikannya."

Karena itu, jangan terlalu lama bersedih, Anwar. Sebarkanlah manfaat bahkan sebesar biji sawi sekalipun. Aku mengeluarkan suara-suara. Kupikir dia tidak mengerti, tetapi sesaat kemudian dia tersenyum.

"Kamu benar, Meri. Aku harus hidup selagi masih hidup." Ia melenggang pergi ke dalam rumah. Tidak lama, ia kembali lagi ke teras. Rupanya Anwar membawa gunting, jarum, benang, dan pakaian Erma. "Katanya, busana menandakan kemajuan peradaban dan kemerdekaan. Tetapi untuk apa memperindah busana kalau pikiran masih dijajah dan hati teperdaya?" Anwar fasih memotong kain menjadi bentuk-bentuk yang bisa menutup mulut. Masker, katanya. "Untuk mencegah penularan virus corona," lanjutnya. Itulah cara Anwar mengenang istri dan buah hatinya dengan proses yang sederhana namun indah.

Esok pagi, Anwar berkeliling ke rumah-rumah warga untuk membagikan masker dan mengingatkan mereka agar menjaga jarak. Pertama, ia mendatangi rumah di seberang persis. Jelas sekali orang-orang itu tidak mengindahkan, sekadar mengangguk dan mengiyakan. "Takut itu sama Tuhan, bukan sama corona." Pak Muji, Ketua RT 8, melirikku yang tengah mendekati tangga sungai. "Angsa milikmu itu juga, sebaiknya dijual saja. Setelah kamu menolongnya dari sungai itu, kok, hidupmu seperti ketiban sial terus. Bisnis jatuh, rumah kandas, sekarang anak dan istri pun tak ada."

"Bukankah yang sial itu orang yang menulikan diri dari kebenaran?" tandas Anwar balik. "Sementara ini hentikan dulu aktivitas yang melibatkan banyak orang di satu tempat, Pak. Cukuplah istri saya dan janin di dalamnya yang meninggal karena ini. Rantai virusnya harus diputus."

"Kalau sudah waktunya meninggal, manusia tidak bisa menghindar. Mau pakai masker, cuci tangan, atau apa itu."

"Benar, Pak Muji. Manusia tidak bisa menghindarkan diri dari ajal, tetapi bisa memutuskan untuk apa dia hidup dan bagaimana caranya."

Pak Muji bergeming. Tampaknya ia tidak ingin berdebat lebih jauh.

**

Terhitung dua pekan sejak Anwar membagikan masker kepada warga, gejala batuk, demam, dan sesak napas menyerang hampir seluruh warga dusun. Dalam dua pekan ini pula, sudah digelar dua kali pengajian, dua kali sambatan, dan satu kali resepsi pernikahan. Aku tahu karena beberapa kali Anwar diundang ke acara-acara tersebut, tetapi ia menolak. Sementara pada sore hari yang sejuk mendung ini aku berenang di sepanjang sungai, kulihat segolongan bapak-bapak memancing sembari membicarakan Anwar.

"Dia itu, sejak Bu Erma wafat perilakunya jadi aneh. Tidak mau kumpul-kumpul, menengok barang sebentar saja tidak."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun