Mohon tunggu...
Made Dike Julianitakasih I
Made Dike Julianitakasih I Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Made Dike Julianitakasih Ilyasa. Pegiat Komunitas Ruang Imajinasi Sastra IMM FAI UMY. Pernah Meraih Juara Penulisan Cerpen Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional (PEKSIMINAS) Kemdikbud

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerpen "Spasi"

10 Mei 2023   06:52 Diperbarui: 16 Mei 2023   19:12 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber Pribadi

Kedua mataku menanap, gelegak jantung menderap sigap menyeleksi terjemahan impuls-impuls abstrak. Theo tidak ada. "Jembatan..." Kusingkap jas hitam yang menyelimuti diri, berlari memintas gerbang utama. Arwahku nyaris melesat ke kahyangan kala seorang pria serba hitam mengenakan helm full face, jaket kulit, celana jeans, serta desert boots menghadang dengan motor ninja. Diakah Anubis versi abad 21 sesungguhnya?

Kepalanya menoleh sekilas, cukup mendeskripsi keharusanku duduk di jok belakang. Motor seketika melaju di atas kecepatan rata-rata. "Mau ke mana, Mas?" Bodoh memang baru bertanya sekarang. Anubis tidak berkenan menyahut.

Sekitar lima ratus meter dari sini adalah sisi utara jembatan Suramadu. Ia meminimalisir laju kendaraan hingga benar-benar berhenti. Diamnya, lagi-lagi, cukup menjelaskan keharusanku turun dari jok motor. Belum sempat aku bertanya mengapa diturunkan di sini, Anubis putar balik dengan kecepatan tidak waras. Begitu saja. Sialan kuadrat! rutukku bertalu-talu. Pria mana yang tega menelantarkan wanita baru setengah sadar dari tidur cantiknya di jembatan sepi begini? Lewat tengah malam pula!

Aku berjalan tak tentu tujuan. Lurus saja. Lantas, siluet manusia membayang panorama jembatan layang. Satu, dua, tiga. Jarak kami tinggal empat hasta. Wajah purnama menyirat kuasa.

"Lukisan istana dicuri,"sekonyong-konyong ia berkata, pelan dan tegas. "Mafioso tersebut sedang menuju Berlin, berdasarkan telegram yang saya terima."

Tidak, tunggu, aku sangat mengenali suara ini.

"Aku harus pergi."

Wujud remang itu kian menunjukkan jati dirinya, memeranjat diriku dalam kegelapan. Ini kali pertama ia memakai sebutan aku bukannya saya, dan boleh jadi pula ini kali terakhirnya.

"Nggak, Theo. Aku---," aku tidak sanggup berkata-kata sekasual mungkin. "Kita bahkan belum merencanakan strategi bisnis ke depan..."

"Soal proyek parfum," Theo memotong, "siap dipasarkan skala internasional. Relasiku di salah satu perusahaan Perancis bersedia membantu. Aku sudah canangkan proyek bisnis lainnya, kamu nggak usah khawatir."

Ya, aku tahu. Tapi bukan itu yang kucemaskan...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun