Mohon tunggu...
I Made Andi Arsana
I Made Andi Arsana Mohon Tunggu... Dosen UGM -

Dosen UGM | Blogger | Kepala Kantor Urusan Internasional UGM | Alumni UNSW | Alumni University of Wollongong | Ayah | Suami | Penulis Buku | Pembicara Publik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Anak Indonesia Memukau di Gedung PBB New York

9 Juni 2017   21:01 Diperbarui: 9 Juni 2017   21:45 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menulis ini dari sebuah ruangan konferensi di Gedung PBB di New York, tepatnya Conference Room 11 pada tanggal 7 Juni 2017. Di depan saya, ada dua anak perempuan manis dan cantik. Mereka lahir dan besar di Bali. Mereka orang Indonesia. Melati (16) adalah kakaknya, adiknya bernama Isabel (14). Mereka saudara kandung, mereka sedang berbicara tentaNg apa yang mereka lakukan selama beberapa tahun ini.

Di ruangan itu duduk dengan takzim para petinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), para ilmuwan internasional, pemimpin perguruan tinggi dunia, dan peneliti papan atas planet bumi yang sedang menyimak. Tidak saja menyimak, mereka terkesima. Di antara kumpulan orang-orang itu, ada juga lelaki dan perempuan dari berbagai negara sejumlah lebih dari 70 orang yang dipilih dari negaranya dan ada di ruangan itu karena kecakapannya diakui. Tak berbeda dengan yang lain, mereka pun terpesona. Terngaga.

Dua orang anak Indonesia itu sedang menceritakan proyek mereka "Bye Bye Plastic Bags". Mereka punya ambisi menyelamatkan lingkungan di Bali dengan mengkampanyekan pelarangan tas plastik di Pulau Dewata itu. Mereka memulai ketika berumur 12 dan 10 tahun, sangat muda untuk sebuah ide besar yang cemerlang. Tapi mungkin itu anggapan saya sebagai orang yang terlanjut berkarat pemikirannya tentang perubahan, tentang gebrakan besar yang bisa mengubah dunia.

Melati dan Isabel ternyata tidak terlalu kecil untuk memulai sesuatu yang besar. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, mereka telah menjadi perhatian dunia. TED Talks, sebuah konferensi paling bergengsi di planet Bumi, telah tersentuh oleh gerakan mereka dan keduanya pernah diminta berbicara di sana. Tidak banyak, kalaupun ada, orang Idonesia yang telah berbicara di panggung bergengsi itu. Tidak saja mereka hadir dengan gagasan cemerlang, mereka juga datang dengan pembawaan yang memikat.

"Om Suastyastu", demikian sapa Melati ketika memulai pembicaraan hari ini. Tak lupa, dengan fasih dia jelaskan apa maknanya. Bahasa Inggrisnya yang sangat fasih dan terdengar natif dan artikulasi yang ciamik menjadi kendaraan sempurna sebuah gagasan besar yang lahir dari generasi muda yang menjanjikan. Saya perhatikan sekeliling, tak satupun orang dewasa di sekitar itu yang lepas perhatiannya. Ada yang mulai mengangguk, ada yang tersenyum dan ada yang berdecak kagum. Melati dan Isabel, dengan fasih menceritakan betapa inginnya mereka membuat Bali terbebas dari sampah plastik dan mereka ingin menjadi bagian dari semua itu.

Saya paham, Melati dan Isabel telah melatih presentasi mereka dengan baik. Yang paling mengagumkan adalah cara mereka membawakannya dengan alami, layaknya orang yang menceritakan sesuatu yang memang digandrungi, dicintai penuh seluruh. Pembagian tugas bicara di antara keduanya sempurna, interaksi keduanya dalam proses transisi yang sangat mulus dan bahasa tubuh mereka yang penuh kasih sayang pada satu sama lain menjadikan presentasi mereka itu tidak saja informatif tetapi juga inspiratif. Sebagai seorang ayah dari seorang anak remaja, hal pertama yang muncul di benak saya adalah mengenalkan mereka pada anak saya. Tentu bukan untuk mengubah anak saya menjadi mereka tetapi untuk menularkan semangat positif dan kerja keras mereka.

Memang sebaiknya kita tidak merasa bangga pada sesuatu atau seseorang hanya karena kesamaan kesukuan atau kebangsaan atau hal-hal primordial lainnya tapi saya tidak bisa menahan diri akan rasa bangga ketika Melati dan Isabel ada di sana mewakili generasi muda bangsa saya, Indonesia. Hal ini terlihat lebih kuat ketika ada beberapa orang anak muda dari negara berbeda yang juga berbuat sesuatu. Saya tidak meragukan apa yang mereka lakukan tetapi dari cara mereka menceritakannya, terlihat jelas Melati dan Isabel sangat layak mendapat perhatian dan apresiasi lebih. Di situlah, dua remaja dari Bali dengan sangat jelas dan tegas nampak superior dibandingkan anak muda lain dari New York, Amerika Serikat atau juga Belanda. Panggung itu memang bukan untuk kompetisi tetapi saya tidak kuasa menahan diri dari rasa bangga sambil berbisik dalam hati "kita bisa, masih bisa, tetap bisa!"

Presentasi Melati dan Isabel adalah juga pelajaran tetang pendidikan. Mereka adalah anak-anak dari Green School di Bali yang penuh kebebasan. Saya tahu, diskusi kita tidak akan pernah konklusif jika berbicara soal sistem pendidikan yang baik dan terbaik. Orang tua bisa menghabiskan waktu bertahun-tahun di ruang seminar untuk mencari sistem yang terbaik. Pertarungan antara mereka yang percaya dengan satu sistem kurikulum dan mereka yang percaya sistem kurikulum lainnya tidak akan mudah dipertemukan. Saya paham itu. Meski begitu, Melati dan Isabel telah menjadi testimoni positif akan pendidikan yang membebaskan imajinasi. Dengan analogis dan filosofis, Melati menceritakan sekolahnya di hutan tanpa tembok tanpa ruang kelas, dan tanpa ujian. Dia merasa mendapat kebebasan, terutama bagi jiwa dan imajinasinya untuk memikirkan hal-hal mendasar dan besar untuk kehidupan. "We learn real things in life", katanya bersemangat.

Melati menceritakan pengalamannya layaknya seseorang yang paham betul apa yang terjadi dan dialaminya. Hal ini bisa dilihat terutama ketika mereka harus menjawab pertanyaan spontan. Seorang petinggi di PBB mengatakan bahwa kualitas presentasi mereka sama dengan kualitas jawaban mereka terhadap pertanyaan spontan. Itu artinya, mereka benar-benar menjiwai apa yang mereka lakukan. Mereka ada di sana dengan isi hati dan kepala yang bermutu, tidak hanya menghafalan deretan kalimat indah untuk menghipnotis hadirin. Saya bisa merasakan kenapa pejabat PBB ini begitu yakin dengan kata-katanya. Dengan menyaksikan Melati dan Isabel, saya menyetujui pejabat ini tanpa syarat.

Sistem pendidikan dan model kurikulum mungkin bisa apa saja dan tetap akan menjadi perdebatan tetapi saya makin yakin bahwa pendidikan harus membebaskan. Senada dengan anjuran Malcolm Forbes, bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mengganti kepala yang kosong dengan kepala yang terbuka. Tujuan pendidikan adalah keterbukaan untuk menemukan kebebasan mencari dan tetap mencari.

Hari ini saya menyaksikan dua hal. Pertama, niat dan tujuan baik yang diusahakan dengan sungguh-sungguh dan dikomunikasikan dengan cara yang tepat bisa menjadi sebuah gerakan besar dan diakui dunia. Semua itu telah membawa Melati dan Isabel akan hadir esok hari di World Ocean Stage, berbicara di panggung yang sama dengan ilmuan tingkat dunia dan aktivitis internasional. Pesannya, esok hari akan didengarkan oleh Duta Besar, Menteri, Diplomat, Ilmuwan, Pengusaha dan generasi muda yang antusias di seluruh dunia. Jutaan orang akan menyimak mereka langsung atau tidak. Ibu Menteri Susi Pudjiastuti juga akan menyaksikan presentasi mereka esok hari.

Kedua, saya telah menyaksikan mimpi besar Indonesia yang bisa menjadi nyata. Melihat anak remaja dari Bali yang presentasinya seakan-akan membuat anak remaja dari New York dan dari Belanda tidak lebih baik dari mereka tentu saja memberi semangat positif. Saya selalu bicara di depan anak-anak muda Indonesia, bahwa jika dunia bisa dan pernah dikendalikan dari sebuah gedung di Wall Street di New York, dia tentu juga bisa diwarnai dari sebuah bale-bale sederhana di Tabanan. Menyaksikan teknologi informasi dan komunikasi yang sedemikian pesat berkembang, dan terutama menyaksikan Melati dan Isabel di Gedung PBB, saya yakin apa yang saya ceritakan itu kian mendekati kebenarannya.

Tugas saya dan generasi saya adalah berbuat terus sesuai dengan peran dan kapasitas kami. Selanjutnya, tugas berikutnya adalah mendukung anak-anak muda di sekitar kita untuk mengenal peran dan kemampuannya lalu terbang tinggi sambil tetap menjejak bumi. Saya setuju dengan apa yang disampaikan Melati dan Isabel di penutupan presentasinya. Anak remaja seperti mereka mungkin mewakili hanya 25 persen penduduk dunia tetapi yang pasti, mereka adalah 100% dari masa depan. Terima kasih Melati dan Isabel.

I Made Andi Arsana, Ph.D

Dosen Teknik Geodesi UGM

Alumni UN-Nippon Foundation Fellowship 2007-2008

New York, 7 Juni 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun