Saya dibesarkan di sebuah desa yang perilaku warganya tidak penuh drama. Hari pertama sekolah tak ubahnya hari lain, tak ada yang istimewa. Para ayah tidak merasa wajib menemani anaknya untuk datang ke sekolah, tak juga menganggap kehadirannya akan berkesan dan berpengaruh pada masa depan anaknya. Mereka tidak gemar mendramatisir bahwa kehadiran orang tua di sekolah di hari pertama masuk sekolah adalah dukungan moral yang hebat untuk memberi energi kepada anak anak mereka.
Mereka juga tidak menggunakan istilah-istilah yang lebai seperti “anak SD adalah calon pemimpin bangsa” atau “anak adalah pewaris peradaban yang harus disiapkan untuk bertahta pada saatnya nanti”. Huh, pemimpin bangsa. Pemimpin bangsa apa? Anak anak itu tak lebih dari gerombolan bromocorah yang gemar mencuri rumput Pan Koplar untuk sapi sapi mereka. Sebagian lain tak lebih dari sekumpulan anak nakal yang membuat pohon nangka di belakang rumah Nang Kocong, rusak binasa karena getahnya dipanen tanpa izin. Pewaris peradaban apa!?
Yogyakarta, 26 Juli 2015,
Saya menjadi ayah di zaman yang penuh drama. Hari pertama masuk sekolah tiba-tiba menjadi penuh makna. Bukankah semestinya hari pertama sekolah itu sama saja?! Tidak perlu dirisaukan, tidak usah dirayakan. Seremoni adalah milik mereka yang malas bekerja dan hanya cinta kepada selebritas yang kosong. Biarlah Lita, anak saya, menjalani hari pertama sekolahnya dengan cara biasa, tak ubahnya dengan hari lain. Biarlah dia berangkat dengan ibunya esok hari dan saya tidak akan mengantarnya. Bukan karena tidak mahu tetapi karena saya harus melakukan perjalanan jauh ke negeri seberang utuk sebuah urusan besar. Urusan negara, urusan pendidikan bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Saya akan melakukan pekerjaan penting. Jauh lebih penting dari mengantar seorang anak SD kelas lima berangkat ke sekolah di hari pertamanya. Sayapun sibuk bersiap-siap, memasukkan barang-barang penting ke dalam kopor, menyiapkan presentasi, memastikan kelengkapan berbagai naskah, mendata souvenir untuk para sahabat dari berbagai negara dan kartu nama untuk kepentingan bernetwork secara professional. Semua penting dan layak diutamakan.
Yogyakarta, 27 Juli 2015,
Pagi masih masih cukup belia, ketika saya melihat Twitter dan beranjak mandi. Ada satu hal yang menggelitik. Mas Menteri Anies Baswedan aktif meneruskan kicauan para orang tua yang sibuk berkisah tentang pengalamannya mengantar anaknya di hari pertama sekolah. Ada foto yang dibagi, ada cerita kecil yang disebarkan. Saya terantuk pada mereka cukup lama. Begitu sadar, pagi nyaris habis dan Lita sudah siap berangkat. Tiba-tiba saya dihantam oleh suatu perasaan aneh. Perasaan bersalah. Saya melihat Lita pergi naik motor bersama Asti yang segera lenyap di tikungan. Entah dari mana datangnya, ada perasaan tak menentu berkecamuk dan hadir sebagai dosa. Dosa seorang ayah.
Dengan tiket ke Singapura sudah di tangan dan koper sudah siap dibawa serta, saya memilih untuk tidak menuju Bandara. Dengan kecepatan penuh saya melaju menuju sekolah Lita. Saya mungkin terlambat karena Lita mungkin sudah akan masuk kelas ketika saya tiba di sekolahnya tetapi saya tidak urungkan niat. Tiba-tiba saja saya menginginkan hidup penuh drama. Saya ingin menjadi ayah lebai, yang menggandeng tangan anaknya lalu memeluknya ketika melepasnya di halaman sekolah di hari pertama sekolahnya. Entah siapa yang memberitahu, adalah salah besar jika saya mengganggap pertemuan dengan para pemimpin universitas di Asia Tenggara dan China itu lebih penting dari sebuah pagi bersahaja di sekolah Lita. Entah siapa yang mengingatkan, souvenir mentereng yang akan saya serahkan kepada kolega professional di Gedung National University of Singapore itu tidak lebih penting dari sebuah ciuman dan bisikan “I love you” kepada Lita yang akan memulai statusnya sebagai anak SD kelas lima. Entah apa dasarnya, saya menyalahkan para ayah yang dengan sigap menjawab pesan dari bosnya tetapi tidak cepat menggubris sapaan dari anaknya lewat Line. Entah siapa yang mengizinkan, saya menyalahkan para guru seperti saya yang rela menghabiskan waktu menyiapkan bahan kuliah hingga begadang tetapi mudah marah ketika mengajarkan matematika sederhana kepada anaknya yang masih kelas lima SD.
Saya penuh kesalahan. Bukan ayah yang ideal. Setidaknya hari ini saya ingin menunjukkan kepada diri sendiri bahwa saya penduli pada hal kecil di keseharian hidup saya. Mobil melaju kencang, saya tidak ingin ketinggalan terlalu lama. Sekolah telah sepi dari mobil dan motor orang tua murid ketika saya tiba. Ada perasaan tidak nyaman karena halaman sekolah agak sepi. Meski begitu saya berdebar-debar karena ada sekumpulan anak berseragam putih merah masih bermain-main di halaman. Di beberapa lokasi, setelah saya perhatikan, ada banyak anak sekolah yang berkelakar, bermain atau sekedar ngobrol bersama temannya. Dengan harap-harap cemas, saya melangkah keluar dari mobil dan mencari-cari. Saya layangkan pandangan ke seluruh halaman sekolah, berharap menemukan wajah yang saya kenal di antara puluhan atau ratusan anak yang nampak sama. Di mana Lita, anak saya?
Saya melangkah pelan dengan mata awas. Tidak ada wajah yang saya kenal dan rasa bersalah mulai menyerang lebih hebat. Ada sesal yang hadir menikam perasaan. Ada rasa bersalah karena tidak menjalankan peran seorang ayah untuk memberi energi di hari pertama sekolah anaknya. Tiba-tiba segala yang saya anggap hebat tentang kiprah antarbangsa itu menjadi tak bermakna. Saya telah melewatkan hal paling penting, memastikan bahwa seorang anak usia sepuluh tahun merasa didukung dalam menjalani perjuagannya. Saya diam beberapa saat dan bersiap-siap melangkah pulang, menuju kampus dan lalu bergegas ke bandara.
“Ayaahhh!” saya mendengar teriakan dan terlihat seorang anak perempuan berseragam putih merah berlari ke arah saya. Gadis kecil itu menabrak saya dan memeluk tubuh saya dengan erat seerat-eratnya. Dunia berubah cerah, energi semesta tumpah pada saya dan rasa haru menghantam tanpa ampun. Saya memeluk tubuh kecilnya beberapa lama. Memang lebai. Mungkin beberapa orang tua di sekitar situ memperhatikan dengan penuh pertanyaan. Tapi sudahlah. Tidak penting apa anggapan mereka.
“Lita”, saya membisikinya. “Ya Ayah”, kata Lita menjawab. “I know that I am very busy but I want you to know that you are the most important thing in my life. I travel a lot but I will never forget that my main source of happiness in life is your happiness. I am sorry for leaving you very often.” Saya menatap wajahnya. “That’s okay Ayah. I understand!” katanya sangat dewasa. Maka terjadilah drama itu. Saya menjadi ayah yang lebai selebai–lebainya. Kami bercakap-cakap agak lama sampai akhirnya Lita mengingatkan bahwa waktu sudah hampir habis. “Bring me something from Singapore!” katanya seakan tahu bahwa saya ingin mendengar itu. Lita memang tidak pernah minta oleh-oleh, meskipun saya tanya. “What do you want?” tanya saya. “Anything, Ayah!” katanya sambil berlari lalu lenyap di kerumunan teman-temannya.
Saya melangkah pergi dengan perasaan mantap, tenang dan optimis. dalam perjalanan, saya merenung, mengenang kembali kehidupan di masa kecil. Saya tiba-tiba diingatkan oleh satu suara. Presiden Indonesia tahun 2060 mungkin memang malas bangun pagi hari ini. Menteri Luar Negeri tahun 2062 mugkin memang mandi dengan penuh drama di awal abad 21 ini. Sekjen PBB tahun 2065 mungkin memang sering mengajukan pertanyaan dan permintaan tidak penting dan tidak menarik perhatian hari ini. Rektor UGM tahun 2055 mungkin memang bagian dari gerombolan pendongkel yang sulit menyantap sayur hijau pagi ini. Pemuka Agama yang disegani lintas iman di tahun 2070 mungkin memang sangat sulit memisahkan dirinya dengan game iPad mininya. Pemimpin masa depan mungkin memang hadir sebagai penjahat kecil hari ini. Pewaris peradaban ini mungkin memang berasal dari gerombolan bromocorah yang mengesalkan dan menguji kesabaran di satu pagi di tahun 2015. Mungkin saja memang demikian. Dan untuk semua itu, saya memilih untuk menjadi ayah yang lebai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H