Rasanya seluruh umat dan bangsa mengetahui dan mengenal salah satu unsur dari aparat penegak hukum ini. Namun, di Indonesia rasanya tidak semua elemen masyarakat yang pernah mencari arti dari suatu keadilan di Pengadilan, mengetahui, mengenal atau merasakan hakikat dari jabatan hakim. Mengingat dalam banyak penyelesaian kasus, keadilan adalah suatu hal yang sangat berharga nan jauh dari aspek pencapaiannya.Â
Ada beberapa kasus yang pernah terjadi dan bisa dikategorikan penyelesaiannya abai dari keadilan sebagai tujuan utama dari hukum itu sendiri. Sebut saja misalnya kasus nenek minah yang divonis penjara karena didakwa mencuri 3 (tiga) buah kakao, kemudian ada juga kasus Baiq Nuril Maknun korban pelecehan seksual yang justru dipidana penjara [1].Â
Tidak terlalu berlebihan rasanya jika berasumsi bahwa masih banyak lagi adanya kemungkinan terjadi model penyelesaian kasus seperti di atas di banyak daerah di Indonesia yang tidak terekam oleh media. Selain dari itu terdapat pula oknum Hakim yang ditangkap dan divonis karena terbukti menerima suap dalam kasus tindak pidana korupsi. Sebut saja misalnya kasus oknum Hakim Lasito pada Pengadilan Negeri Semarang yang menerima  suap dari Bupati Jepara Ahmad Marzuqi[2], kasus  oknum Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, R. Iswahyu Widodo dan Irwan yang juga divonis penjara karena menerima suap [3].Â
Dalam hal ini, praktik penegakan hukum oleh Hakim dapat dikategorikan belum sesuai dengan tujuan utama dari hukum sekaligus kontraproduktif dengan hakikat jabatan Hakim. Ada baiknya kemudian bagi para Hakim agar merenungkan kembali hakikat jabatan yang telah dan sedang diamanahkan kepadanya.Â
Lalu, apa sesungguhnya hakikat jabatan hakim itu ?
Hakim "Abal-Abal"
Dalam bagian ini jauh adanya dari maksud untuk meniadakan keabsahan seorang hakim dari perspektif administratifnya. Abal-abal dalam uraian ini memberikan makna terhadap oknum hakim yang sah menjalankan jabatannya, namun tindakan dan kelakuannya belum memahami benar substansi dan hakikat jabatan yang sedang diembannya. Paling tidak, dari uraian awal tulisan ini terdapat dua persoalan besar dan mendasar tentang kepalsuan yang telah menjadi rahasia umum terkait jabatan ini. Permasalahan tersebut adalah pertama, oknum hakim yang sangat legalistik dan kedua, oknum hakim yang korup, berkolusi dan jauh mengangkangi nilai-nilai independensi sebagai seorang hakim. Permasalahan yang kedua ini sering juga dimasukkan ke dalam terminologi judicial corruption. Sikap legalistik dalam menyelesaikan suatu perkara hukum memang menjadi permasalahan akut yang dipraktikkan dalam dunia peradilan Indonesia. Sikap tersebut seolah-olah telah menjadi hukumnya dalam praktik penyelesaian suatu perkara, yang apabila dilanggar akan ada sanksi hukum yang siap ditimpakan kepada pelanggarnya.Â
Sikap legalistik ini sesungguhnya adalah turunan dari legisme, suatu paham yang menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai satu-satunya hukum dalam suatu sistem masyarakat. Semuanya itu berpangkal dari filsafat positivisme hukum yang menempatkan hukum positif sebagai satu-satunya objek kajian dari ilmu hukum. Inilah paham penegakan hukum konvensional yang begitu kuat mengakar dalam ruang-ruang penegakan hukum di Indonesia. Bisa jadi hal tersebut dipengaruhi oleh proses pewarisan tradisi dan paham pada era kolonialisme oleh bangsa eropa khususnya Belanda. Paham ini sangat bersandar pada prosedur-prosedur hukum yang telah ditetapkan dalam hukum positif. Aspek non hukum terlebih prilaku sosial masyarakat yang telah terlegitimasi dalam kebiasaannya sehari-hari hampir tidak menjadi pertimbangan dalam memutus suatu perkara. Arah dari penegakan hukum yang dipraktikkan pun lebih cenderung menyasar pada arah kepastian hukum semata sebagai aksiologisnya. Hal itu dilakukan agar sesuai dengan peraturan dan logika hukum yang ada. Para hakim yang menjadikan paham ini sebagai sesuatu yang "sakral" tentu akan selalu bertindak sebagai corong undang-undang (la bouche de la loi). Membunyikan berbagai ketentuan yang terkait dengan kasus yang sedang dihadapi. Kondisi tersebut akan berdampak pada ketiadaan kreatifitas hakim dalam melakukan terobosan hukum guna mewujudkan keadilan bagi para pencari keadilan. Satjipto Rahardjo memberikan padangannya berbagai pertimbangan masyarakat berkenan berperkara ke institusi Pengadilan, yaitu : "pertama, kepercayaan, bahwa di tempat itu mereka akan memperoleh keadilan seperti mereka kehendaki, kedua, kepercayaan, bahwa pengadilan merupakan lembaga yang mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak korup dan nilai-nilai utama lainnya lagi, ketiga, bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia, keempat, bahwa pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk benar-benar memperoleh perlindungan hukum"[4]. Ini artinya ada pengharapan yang besar dari masyarakat untuk mendapatkan keadilan dalam penyelesaian kasusnya di pengadilan. Ada semacam tanggung jawab moral yang seharusnya diperlihatkan dan diberikan oleh Pengadilan beserta segenap aparaturnya dalam rangka merealisasikan harapan masyarakat pencari keadilan.
Persoalan judicial corruption sejak era sebelumnya memang telah menjadi "virus" yang dapat mematikan nilai-nilai keadilan, kejujuran, kemandirian  dari aparatur penegak hukum termasuk hakim dalam penuntasan perkara di Pengadilan. Persoalan ini pun mencuat menjadi salah satu bagian dari agenda reformasi dunia peradilan Indonesia. Mahfud MD menjelaskan bahwa judicial corruption "menggambarkan penyalahgunaan jabatan dan profesi di lembaga peradilan untuk mengambil keuntungan pribadi secara tidak wajar dengan mengorbankan hukum dan keadilan"[5]. Dalam konteks ini, hukum dan keadilan menjadi komoditi yang dapat diperjualbelikan oleh para oknum profesi hukum dalam penyelesaian suatu kasus tertentu. Tentu saja kenyataan tersebut sudah barang tentu akan menimbulkan ketidakpercayaan bahkan keengganan masyarakat untuk datang mencari keadilan di Institusi Pengadilan. Merujuk pada kondisi itulah kemudian keinginan untuk melakukan pembenahan terhadap dunia peradilan mengemuka di dalam agenda reformasi. Mahfud MD, menjelaskan terdapat logika sederhana mengapa pembenahan itu penting dilakukan, Indonesia terjerumus ke dalam krisis karena Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) marak terjadi, hal tersebut terjadi karena penegakan hukum tidak bisa berjalan dengan baik yang diakibatkan karena korupnya dunia peradilan (judicial corruption) di Indonesia[6]. Salah satu upaya yang dilakukan dalam proses membenahi dunia peradilan adalah dengan menyatuatapkan pembinaan hakim di bawah Mahkamah Agung. Namun, apakah upaya tersebut telah membuahkan hasil ?. Dapat dijawab dengan mudah bahwa upaya tersebut belum membuahkan hasil. Mengingat masih banyaknya oknum hakim yang justru memanfaatkan upaya tersebut untuk melakukan KKN, seperti beberapa oknum hakim yang disebutkan pada bagian awal tulisan ini.
Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa terdapat oknum-oknum hakim yang abal-abal dari aspek prilaku hakim yang menyimpang dari apa yang seharusnya. Bahkan jauh mengangkangi sumpah jabatan hakim dan amanat konstitusi. Oleh karena itulah sangat dibutuhkan kembali renungan kita bersama untuk mengingat kembali bagaimana sosok hakim itu seharusnya. Â
Hakim Yang Hakiki
Bertolak dari uraian di atas, maka pada bagian ini akan diberikan deskripsi mengenai bagaimana hakim yang sebenarnya (sesungguhnya) harus menjalankan jabatannya. Dalam uraian ini akan disebut memaknai hakikat hakim untuk menjadi hakim yang hakiki. Mengawali penjelasan dalam uraian ini, ada baiknya terlebih dahulu diketengahkan apa yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman itu. Merujuk pada Pasal 1 angka 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dijelaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah "kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia". Ketentuan pasal ini selaras dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Memahami apa yang dimaksud dari kekuasaan kehakiman di atas, dapat ditemukan beberapa prinsip dimana oleh hakim harus menjadi prinsip dasar dalam melaksanakan jabatannya.
Pertama, kekuasaan Negara yang merdeka. Ini menjadi penanda bahwa seorang hakim dalam menjalankan jabatannya wajib untuk bebas dari pengaruh maupun tekanan dari pihak luar. Atau dengan perkataan lain, seorang hakim wajib independen dalam mengemban jabatannya. Merdeka dalam menjalankan kekuasaannya, maka seorang hakim sangat penting dituntun pula oleh kepribadian yang berintegritas, jujur, adil, tidak tercela serta mampu tetap menjaga profesionalitasnya. Ketika hakim mampu menjalankan prinsip kemerdekaan itu, maka disnilah pintu masuk untuk meruntuhkan apa yang disebut dengan judicial corruption. Berikut pula akan diikuti dengan keberanian bagi seorang hakim untuk berani melakukan dan membuat terobosan hukum dalam membongkar hukum positif yang kiranya jauh dari keadilan sebagai tujuan utama dari hukum.
Kedua, menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ini menjadi ruh sekaligus tujuan utama dari hukum. Apa yang dimaksudkan dalam prinsip ini sesungguhnya telah diuraikan lebih lanjut di dalam ketentuan yang lain, begitu pula dijelaskan dalam konstitusi. Menegakkan hukum dan keadilan yang dimaksudkan adalah menegakkan hukum dan keadilan yang tidak hanya bersumber pada hukum positif. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa hakim mempunyai kewajiban untuk menggali dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini semakin menegaskan bahwa hukum dan keadilan dimaksudkan disini tidak hanya hukum positif yang telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, melainkan hukum tidak tertulis yang telah menjadi kebiasaan dan terlegitimasi dalam kehidupan sosial masyarakat. Lebih lanjut, dalam memberikan ruang terhadap nilai-nilai dan hukum tidak tertulis, ketentuan Pasal 50 ayat (1) menegaskan bahwa hukum tidak tertulis juga merupakan dasar hukum dalam mengadili suatu perkara. Hal tersebut penting untuk dilakukan dalam rangka mewujudkan Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh Barda Nawawi Arief disebutkan bahwa dalam sistem hukum nasional seharusnya mengedepankan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yaitu : nilai- nilai Ketuhanan (bermoral religius), nilai-nilai kemanusiaan (humanistik) dan nilai-nilai kemasyarakatan (nasionalistik, demokratik dan berkeadilan sosial).[7] Oleh karenanya, ikhwal penegakan hukum dan keadilan, hakim mempunyai kewajiban menegakkannya dengan mengambil sumber dari hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis yang melembaga dalam kehidupan sosial masyarakat. Inilah menjadi kunci menciptakan penegakan hukum yang berkeadilan di tengah kemajemukan bangsa.
Ketiga, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Penegakan hukum dan keadilan di Indonesia merupakan sebagai suatu bentuk ikhtiar dalam mewujudkan Negara hukum yang seharusnya. Jika merujuk pada kenyataannya, penegakan hukum yang dipraktikkan masih bernuansa penegakan hukum dalam Negara hukum rechstaat. Mahfud MD, memberikan penjelasan bahwa sebelum di amandemennya UUD 1945, memang benar di dalam penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa Indonesia ialah Negara berdasar atas hukum (rechstaat). Namun, pasca diamandemen bunyi penjelasan tersebut dimasukkan ke dalam batang tubuh UUD 1945 yaitu Pasal 1 ayat (3) dengan menghilangkan kata rechstaat. Menjadilah bunyi ketentuan tersebut "Negara Indonesia adalah Negara hukum. Hal tersebut memberikan makna bahwa Negara hukum yang diinginkan adalah Negara hukum Indonesia yang menyerap hal-hal positif dari Negara hukum rechstaat dan the rule of law.[8] Maka Negara Hukum yang tepat dibangun di bumi Indonesia adalah Negara hukum Pancasila. Negara hukum yang menjadikan Pancasila sebagai cita hukum dalam pembentukan sistem hukumnya. Pengoperasionalannya ditunjang oleh asas-asas hukum nasional. Asas-asas hukum nasional antara lain asas-asas hukum yang berlaku universal, asas-asas yang didistilasi dari hukum adat, asas-asas yang diderivasi langsung dari Pancasila dan asas-asas hukum teknis yang bersifat sektoral.[9] Â
Dengan demikian, diterapkannya prinsip-prinsip tersebut di atas sebagai rambu-rambu dalam proses penegakan hukum oleh hakim, akan mampu melahirkan hakim-hakim yang hakiki dan memberikan jawaban dari apa sesungguhnya hakikat hakim. Hakikat dari jabatan hakim tidak lain adalah jabatan yang mempunyai tugas pokok dalam upaya penegakan hukum dan keadilan. Penegakan hukum tidak dapat diartikan hanya sebatas penegakan hukum positif, melainkan penegakan hukum yang juga dapat bersumber dari nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tentu disini seorang hakim diberikan kewajiban untuk menemukan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan masyarakat. Pada akhirnya, jika hal itu benar-benar diwujudkan maka keadilan sebagai suksma dari hukum niscaya akan terwujud. Keadilan yang dimaksud bukanlah keadilan formil melainkan keadilan materiil. Bahkan jika hakim benar-benar mengamalkan konsep Negara hukum Pancasila dengan nilai-nilai keluhurannya, keadilan yang lebih bersifat substantif[10] sekalipun akan dapat terwujud. Hal tersebut juga sekaligus akan mampu menyelesaikan persoalan putusan hakim yang sangat bersifat legalistik dan judicial corruption dalam penegakan hukum yang selama ini dipraktikkan oleh oknum-oknum hakim yang tidak memahami hakikat jabatan hakim yang sedang diembannya.
DAFTAR RUJUKAN
[1] Mbok Minah dan Catatan Hitam Peradilan di Hari Kehakiman, https://www.liputan6.com/news/read/3901107/mbok-minah-dan-catatan-hitam-peradilan-di-hari-kehakiman, diakses 22 April 2020.
[2] Dinyatakan Terima Suap, Hakim Lasito Divonis 4 Tahun Penjara, https://nasional.tempo.co/read/1243226/dinyatakan-terima-suap-hakim-lasito-divonis-4-tahun-penjara/full&view=ok, diakses 22 April 2020.
[3] Dua Hakim PN Jaksel Divonis 4 Tahun 6 Bulan Penjara https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190711173501-12-411363/dua-hakim-pn-jaksel-divonis-4-tahun-6-bulan-penjara, diakses 22 April 2020.
[4] Satjipto Rahardjo, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Bandung : Alumni, hlm. 116-117.
[5] Moh. Mahfud MD., 2013, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : Rajawali Pers, hlm. 113.
[6] Ibid., hlm. 115.
[7] Barda Nawawi Arief, 2012, Pembangunan Sistem Hukum Nasional (Indonesia), Semarang : Pustaka Magister, hlm. 17.
[8] Moh. Mahfud MD, Op.Cit, hlm. 52.
[9] Bernard Arief Sidharta, 2009, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung : Mandar Maju, hlm. 81.
[10] Keadilan substantif dijelaskan oleh Suteki sebagai keadilan yang sebenarnya. Keadilan bukan lagi dipandang dari aspek formal (state law) dan materiil hukum (living law), melainkan memadukan dua aspek tersebut dengan aspek hakikat hukum, yang melibatkan pertimbangan moral, ethic dan religion. Keadilan ini diadopsi oleh Suteki dari Werner Menski dalam Comparative Law in Global Context (2006) yang menyebut keadilan substantive sebagai "perfect justice" dengan pendekatan legal pluralism. Lihat Suteki, 2013, Desain Hukum di Ruang Sosial, Thafa Media dan Satjipto Rahardjo Institute, hlm. 217.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H