Mohon tunggu...
Made Oka Cahyadi Wiguna
Made Oka Cahyadi Wiguna Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Hukum Universitas Pendidikan Nasional (UNDIKNAS) Denpasar

.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hakikat Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia

29 April 2020   12:01 Diperbarui: 29 April 2020   12:02 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bertolak dari uraian di atas, maka pada bagian ini akan diberikan deskripsi mengenai bagaimana hakim yang sebenarnya (sesungguhnya) harus menjalankan jabatannya. Dalam uraian ini akan disebut memaknai hakikat hakim untuk menjadi hakim yang hakiki. Mengawali penjelasan dalam uraian ini, ada baiknya terlebih dahulu diketengahkan apa yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman itu. Merujuk pada Pasal 1 angka 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dijelaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah "kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia". Ketentuan pasal ini selaras dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Memahami apa yang dimaksud dari kekuasaan kehakiman di atas, dapat ditemukan beberapa prinsip dimana oleh hakim harus menjadi prinsip dasar dalam melaksanakan jabatannya.

Pertama, kekuasaan Negara yang merdeka. Ini menjadi penanda bahwa seorang hakim dalam menjalankan jabatannya wajib untuk bebas dari pengaruh maupun tekanan dari pihak luar. Atau dengan perkataan lain, seorang hakim wajib independen dalam mengemban jabatannya. Merdeka dalam menjalankan kekuasaannya, maka seorang hakim sangat penting dituntun pula oleh kepribadian yang berintegritas, jujur, adil, tidak tercela serta mampu tetap menjaga profesionalitasnya. Ketika hakim mampu menjalankan prinsip kemerdekaan itu, maka disnilah pintu masuk untuk meruntuhkan apa yang disebut dengan judicial corruption. Berikut pula akan diikuti dengan keberanian bagi seorang hakim untuk berani melakukan dan membuat terobosan hukum dalam membongkar hukum positif yang kiranya jauh dari keadilan sebagai tujuan utama dari hukum.

Kedua, menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ini menjadi ruh sekaligus tujuan utama dari hukum. Apa yang dimaksudkan dalam prinsip ini sesungguhnya telah diuraikan lebih lanjut di dalam ketentuan yang lain, begitu pula dijelaskan dalam konstitusi. Menegakkan hukum dan keadilan yang dimaksudkan adalah menegakkan hukum dan keadilan yang tidak hanya bersumber pada hukum positif. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa hakim mempunyai kewajiban untuk menggali dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini semakin menegaskan bahwa hukum dan keadilan dimaksudkan disini tidak hanya hukum positif yang telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, melainkan hukum tidak tertulis yang telah menjadi kebiasaan dan terlegitimasi dalam kehidupan sosial masyarakat. Lebih lanjut, dalam memberikan ruang terhadap nilai-nilai dan hukum tidak tertulis, ketentuan Pasal 50 ayat (1) menegaskan bahwa hukum tidak tertulis juga merupakan dasar hukum dalam mengadili suatu perkara. Hal tersebut penting untuk dilakukan dalam rangka mewujudkan Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh Barda Nawawi Arief disebutkan bahwa dalam sistem hukum nasional seharusnya mengedepankan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yaitu : nilai- nilai Ketuhanan (bermoral religius), nilai-nilai kemanusiaan (humanistik) dan nilai-nilai kemasyarakatan (nasionalistik, demokratik dan berkeadilan sosial).[7] Oleh karenanya, ikhwal penegakan hukum dan keadilan, hakim mempunyai kewajiban menegakkannya dengan mengambil sumber dari hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis yang melembaga dalam kehidupan sosial masyarakat. Inilah menjadi kunci menciptakan penegakan hukum yang berkeadilan di tengah kemajemukan bangsa.

Ketiga, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Penegakan hukum dan keadilan di Indonesia merupakan sebagai suatu bentuk ikhtiar dalam mewujudkan Negara hukum yang seharusnya. Jika merujuk pada kenyataannya, penegakan hukum yang dipraktikkan masih bernuansa penegakan hukum dalam Negara hukum rechstaat. Mahfud MD, memberikan penjelasan bahwa sebelum di amandemennya UUD 1945, memang benar di dalam penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa Indonesia ialah Negara berdasar atas hukum (rechstaat). Namun, pasca diamandemen bunyi penjelasan tersebut dimasukkan ke dalam batang tubuh UUD 1945 yaitu Pasal 1 ayat (3) dengan menghilangkan kata rechstaat. Menjadilah bunyi ketentuan tersebut "Negara Indonesia adalah Negara hukum. Hal tersebut memberikan makna bahwa Negara hukum yang diinginkan adalah Negara hukum Indonesia yang menyerap hal-hal positif dari Negara hukum rechstaat dan the rule of law.[8] Maka Negara Hukum yang tepat dibangun di bumi Indonesia adalah Negara hukum Pancasila. Negara hukum yang menjadikan Pancasila sebagai cita hukum dalam pembentukan sistem hukumnya. Pengoperasionalannya ditunjang oleh asas-asas hukum nasional. Asas-asas hukum nasional antara lain asas-asas hukum yang berlaku universal, asas-asas yang didistilasi dari hukum adat, asas-asas yang diderivasi langsung dari Pancasila dan asas-asas hukum teknis yang bersifat sektoral.[9]  

Dengan demikian, diterapkannya prinsip-prinsip tersebut di atas sebagai rambu-rambu dalam proses penegakan hukum oleh hakim, akan mampu melahirkan hakim-hakim yang hakiki dan memberikan jawaban dari apa sesungguhnya hakikat hakim. Hakikat dari jabatan hakim tidak lain adalah jabatan yang mempunyai tugas pokok dalam upaya penegakan hukum dan keadilan. Penegakan hukum tidak dapat diartikan hanya sebatas penegakan hukum positif, melainkan penegakan hukum yang juga dapat bersumber dari nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tentu disini seorang hakim diberikan kewajiban untuk menemukan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan masyarakat. Pada akhirnya, jika hal itu benar-benar diwujudkan maka keadilan sebagai suksma dari hukum niscaya akan terwujud. Keadilan yang dimaksud bukanlah keadilan formil melainkan keadilan materiil. Bahkan jika hakim benar-benar mengamalkan konsep Negara hukum Pancasila dengan nilai-nilai keluhurannya, keadilan yang lebih bersifat substantif[10] sekalipun akan dapat terwujud. Hal tersebut juga sekaligus akan mampu menyelesaikan persoalan putusan hakim yang sangat bersifat legalistik dan judicial corruption dalam penegakan hukum yang selama ini dipraktikkan oleh oknum-oknum hakim yang tidak memahami hakikat jabatan hakim yang sedang diembannya.

DAFTAR RUJUKAN

[1] Mbok Minah dan Catatan Hitam Peradilan di Hari Kehakiman, https://www.liputan6.com/news/read/3901107/mbok-minah-dan-catatan-hitam-peradilan-di-hari-kehakiman, diakses 22 April 2020.

[2] Dinyatakan Terima Suap, Hakim Lasito Divonis 4 Tahun Penjara, https://nasional.tempo.co/read/1243226/dinyatakan-terima-suap-hakim-lasito-divonis-4-tahun-penjara/full&view=ok, diakses 22 April 2020.

[3] Dua Hakim PN Jaksel Divonis 4 Tahun 6 Bulan Penjara https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190711173501-12-411363/dua-hakim-pn-jaksel-divonis-4-tahun-6-bulan-penjara, diakses 22 April 2020.

[4] Satjipto Rahardjo, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Bandung : Alumni, hlm. 116-117.

[5] Moh. Mahfud MD., 2013, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : Rajawali Pers, hlm. 113.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun