Mohon tunggu...
little fufu
little fufu Mohon Tunggu... Jurnalis - Pembelajar aktif

manusia freedom yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Si Kecil Mulai Kritis: "Bagaimana Jadinya Jika Roda Sepedah Berbentuk Persegi Panjang?"

6 November 2020   04:45 Diperbarui: 6 November 2020   04:55 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via id.quora.com

"Aku mau ganti  ban sepedah ku dengan bentuk persegi panjang biar sepedah ku kueren! "

Sebelumnya, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua anak kecil yang pernah saya temui. Selama bersama mereka, banyak kisah-kisah yang menggelitik yang ter-packaging menggunakan kepolosan mereka yang menghasilkan cute moments. Akhir-akhir ini pun, banyak tulisan saya yang bersumber dari salah satu file yang ada di otak saya dengan nama folder "Bebies Cute Moments".

Oke, kita lanjut lagi.

Kutipan diatas yang mengawali tulisan ini adalah salah satu ucapan yang sengaja saya highlight dari salah satu adik sepupu saya yang bisa dibilang begitu menyukai dengan dunia detektif, eksperimen, seni dan lain sebagainya. Tiba-tiba,  tidak ada angin tidak ada hujan adik sepupu saya ini tiba-tiba menyeletukkan pernyataan di atas. 

Namun ternyata, usut punya usut, saat itu ketika sedang jalan-jalan pagi, dia mendapati ada komunitas dengan sepedah ban depan besar dan ban belakang kecil. 

Ceritanya dia terkagum dengan itu, lalu entah apa yang sedang dipikirkannya saat itu, ketika bertemu dengan saya dia langsung berbicara seperti itu. Tentu saja respon yang saya berikan saat itu sebuah spontanitas berupa ekspresi kebingungan,  langsung saja saya meminta sebuah kejelasan. Ketika saya melontarkan pertanyaan tentang maskud dari pernyataan di atas, dia malah menjawab dengan sebuah pertanyaan.

"Emang nya ban itu harus berbentuk lingkaran, mba?"

Jujur, saat itu saya tidak begitu mood untuk menjawab pertanyaan tersebut karena faktor internal, namun saya ingat akan pesan para dosen saya untuk tidak mematikan rasa ingin tahu anak akan sesuatu. Tidak ada pilihan lain selain saya harus menjawab pertanyaan tersebut. "Ya engga, kamu mau pake ban bentuk segitiga juga gapapa. Tapi, ada resikonya", jawab saya. 

Jawaban saya mendapatkan feedback cepat dengan dilontarkannya pertanyaan baru, "Emang resikonya apa? Aku lo mau ganti ban sepedah ku!". Tanggapan saya terkait pertanyaan tersebut adalah dengan segera mengajak dia untuk mendekati sepedah olahraga yang ada di rumah saya. Bisa dibilang saya akan menjelaskan kenapa ban itu berbentuk lingkaran dan kenapa ada resiko apabila ban berbentuk selain lingkaran dengan penjelasan yang sesuai dengan usianya.

Pertama-tama, saya akan memberikan konsep kenapa ban itu berbentuk lingkaran dengan tambahan beberapa benda pendukung seperti bola karet, uno balok dan penggaris segitiga. Sebelumnya saya sedang mempraktekan sebuah adegan kaki kita ketika sedang mengayuh sepedah dengan menggunakan sepedah olah raga. Rupanya, dia menangkap sinyal dari saya. 

Dia menerangkan bahwa ban bisa berputar ketikan ada yang menggerakkan nya. Oke, melihat respon yang sesuai dengan tujuan saya, saya langsung mengajak dia untuk mempraktekkan sesuatu. Dimana, saya menyuruh dia untuk mencoba benda-benda tambahan yang sudah saya siapkan itu untuk digelindingkan sesuai dengan rotasi pergerakan ban yang tadi dia lihat. 

Saya membebaskan dia untuk memulai dari yang mana. Akhirnya dia membuat keputusan dimana urutan nya adalah uno balok, penggaris segitiga dan bola. Satu persatu mulai di praktekkan dan reaksi yang saya dapat ketika dia sudah mempraktekkan kesemuanya adalah hanya sebatas "o" yang diucapkan dengan durasi selama kurang lebih 5 detik. Saya kepo, apa makna dibalik huruf "O" yang disuarakan tersebut. Sebelum saya meminta penjelasan lebih lanjut, dia sudah lebih dahulu menjelaskan.

"Ternyata gabisa ya mba, bikin ban bentuk pesergi panjang. Soalnya dia enggak bisa susah kalo di gelindingin. Makanya ban itu bentuknya lingkaran, soalnya dia gampang digelindingin kaya bola ini. Bola sama ban kan bentuknya sama, jadi mereka sama-sama bisa gelinding. Ya toh Mba?"

Percayalah, ketika mendengar jawaban tersebut saya sempat bertanya-tanya dengan diri sendiri, apakah anak TK-B yang mampu memecahkan suatu masalah dari hasil eksperimen nya adalah sesuatu yang dianggap wajar atau tidak. Berhubung kejadian ini berlangsung ketika saya berada di tahun kedua di bangku perkuliahan, sehingga saya belum begitu tahu menahu terkait hal tersebut. Setelah mengingat kejadian itu, saya pun beranggapan bahwa tidak semua anak dapat melakukan hal tersebut.

Nah, melihat dari kejadian diatas terdapat beberapa kesimpulan yang bisa diambil, salah satunya adalah jangan capek memberikan stimulus pada anak. Stimulus adalah keyword disini. Bahasa gampangnya, stimulus adalah pancingan. Sebagaimana ketika kita memancing ikan di sungai, ibaratkan sungai adalah ke kepoan anak dan anak adalah ikan, sedangkan kita sebagai si tukang pancing. 

Ketika kita memancing, kita memberikan umpan di pucuk kail pancing untuk memancing ikan agar menangkap pancingan tersebut dan keluar dari sungai. So, anggap saja tindakan saya tadi seperti itu, saya adalah si tukang pancing yang sedang memancing adik sepupu saya agar dia keluar dari sungai yang bernama "Kenapa ban harus berbentuk lingkaran". 

Nah, agar saya dapat membawa keluar adik sepupu saya, saya memasang umpan di kail pancing saya berupa beberapa benda yang yang sudah saya siapkan tadi. Akhirnya, adek sepupu saya menangkap umpan saya, dan saya pun menarik dia keluar dari suangai tersebut dengan reaksi kata "O". Kiranya seperti itu analoginya, semoga analogi ini tepat dan dapat mempermudah pembaca untuk menangkap pesan yang ingin saya sampaikan.

Sejak dini, bimbing anak untuk terbiasa memecahkan masalahnya sendiri, se-simple apapun. Ingat, membimbing. Percayalah, untuk mendapatkan suatu jawaban dari permasalahan pasti dibutuhkan yang namanya effort salah satunya adalah berpikir. Sehingga secara tidak sadar, kita telah mengajarkan anak untuk berpikir kritis dan kreatif dalam berpikir yang tentunya hal tersebut dapat menjadi modal anak untuk menjalani hidup ini yang senantiasa dihiasi oleh huru-hara kehidupan. Bukankah begitu? Kiranya sampai sini, semoga tulisan ini bermanfaat, sampai jumpa!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun