Mohon tunggu...
little fufu
little fufu Mohon Tunggu... Jurnalis - Pembelajar aktif

manusia sanguin melankolis yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Mengganti Frame "It's Okay Not To be Okay"

5 Oktober 2020   11:50 Diperbarui: 5 Oktober 2020   12:26 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Akhir-akhir ini kok kita semakin cengeng ya, dalam menghadapi persoalan hidup. Mudah galau, gampang nangis, dan frustasi. Iya tahu manusiawi, tapi kalau begitu terus kapan masalahnya selesai?"

(Harun Tsaqif)

Kutipan di atas adalah kutipan yang berhasil memberhentikan gerak laju jari jempol saya untuk scrolling salah satu akun sosial media yang saya miliki. Mengapa demikian? Tentu saja karena isi konten yang mampu menarik perhatian. 

Sejak awal, akun tersebut memberikan berbagai macam sudut pandang tentang kehidupan, percintaan, dan lain sebagainya dan saya terlanjur dibuat jatuh hati dengan kata-kata yang dirangkainya. 

Postingan tersebut, lagi-lagi mengantarkan saya untuk berbicara dengan diri sendiri (Self-talk). Seakan-akan menegur diri sendiri yang terlalu mentoleransi masalah dengan embel-embel, "It's okay not to be okay" yang berujung pada keterlenaan.

Postingan tersebut membuat saya tenggelam dalam lamunan, seakan-akan otak memperlihatkan kembali masalah-masalah yang pernah saya lalui sampai detik itu. 

Dari lamunan tersebut, membuat saya sadar bahwa, masalah harus dihadapi. Apabila masalah dianalogikan dengan jalan bebatuan yang berada di tengah jalan aspal, maka untuk menemukan jalan aspal kita harus melewati jalan bebatuan tersebut. 

Lalu, bagaimana jika kita berserah tanpa mengeluarkan effort apapun untuk melaluinya? Tentu saja resiko yang akan kita temui adalah kita akan stuck dalam kondisi tersebut. 

Tidak ada yang namanya perpindahan, tentu saja kita akan tetap di jalan bebatuan tersebut. Dengan hanya meratapi nasib tanpa menghadapinya, seakan-akan kita mengizinkan pada diri sendiri untuk terus berlarut-larut dalam masalah tersebut dan enggan untuk melaju kedepan.

"Kalau kita sedang tidak baik-baik saja, jangan it's okay not to be okay. Segera cari apa akar masalahnya, dimana letak ngga beres yang ada di dalam diri kita. Khawatirnya, kita justru menikmati "not to be okay" dan menjadi orang pesakitan"

(Harun Tsaqif)

Setiap manusia, pasti memiliki problem masing-masing. Baik itu problem tentang keuangan, percintaan, di lingkungan kerja, di kampus, dan lain sebagainya. Setiap dari kita juga memiliki cara yang berbeda-beda dalam menghadapi problem tersebut. 

Jika menilik teori Gestalt tentang memecahkan problem dan mendapatkan pencerahan (Insight), disana dijelaskan yang inti nya adalah Insight didahuli oleh suatu periode mencoba-coba yang relevan. 

Bahasa sederhananya adalah belajar dari masa lalu. Jadi, diperlukan nya masa lalu yang diselimuti dengan keberanian untuk mencoba menghadapi problem yang ditemukan saat itu agar dapat menjadi pelajaran.

Sebelum lanjut, sedikit pengantar terlebih dahulu, ya.  Insight itu apa sih? Menurut Suryabrata dalam Psikologi Pendidikan, insight adalah didapatinya pemecahan masalah, dipahaminya suatu masalah. Inilah yang menjadi keyword. 

Meskipun di dalam buku tersebut melekatkan teori Gestalt dengan konsepsi belajar, kiranya tidak ada bedanya dengan cara kita menghadapi masalah dalam kehidupan. 

Toh juga sama-sama belajar bukan? Tidak percaya? Saya berikan contoh, bayangkan jika kita diberikan soal aljabar oleh guru kita, bukankah soal aljabar tersebut merupakan masalah? Masalah yang harus kita selesaikan. Itulah mengapa, pembahasan kita kali ini melekatkan teori Gestalt tersebut.

Dalam teori ini, dijelaskan bahwa perlu adanya effort untuk menyelesaikan problem, dengan begitu Insight akan datang menghampiri kita. Insight perlu dicari dan dijemput, dia bukanlah sesuatu yang dapat jatuh dari langit dengan sendirinya. 

Telusuri saja lika-liku kehidupan yang kita miliki, jika menemukan batu besar di tengah jalan, singkirkan batu tersebut meskipun berat. Jika membutuhkan bantuan, mintalah bantuan jangan ragu. 

Setidaknya dengan menyingkirkan batu tersebut kita mendapatkan pengalaman menyingkirkan batu di tegah jalan. Sehingga jika kali lain di tengah perjalanan selanjutnya ditemukan kembali batu besar yang menghalangi, kita dapat memindahkan nya dengan rasa percaya diri karena memiliki pengalaman dalam bidang tersebut. 

Itulah mengapa ketika kita mendapati masalah, banyak orang yang memberi saran untuk menghadapi masalah tersebut, bukan menghindar dari masalah. Tidak lain dan tidak bukan hal tersebut bertujuan sebagai pembelajaran dalam hidup.

"Terbentur, terbentur, terbentuk"

Selama kita hidup, tidak mungkin tidak akan mendapati yang namanya masalah atau problem, itu pasti adanya. Jika setiap masalah muncul lalu menghindarinya, maka sama saja proses pembelajaran dalam hidup berada pada posisi yang stuck. Bukanya justru dapat menghilangkan masalah, tetapi malah menumpuk masalah. Bukankah begitu?

Kalau dalam dunia games, pasti akan didapati rintangan-rintangan di setiap levelnya. Semakin tinggi levelnya, maka tingkat kesulitan juga bertambah. Tapi itu semua dimulai dari level 1, level yang paling mudah atau dasar. Bisa disebut sebagai level perkenalan games. 

Sama hal nya dengan masalah kehidupan, tanpa kita sadari masalah yang kita temui itu ber-genre dan dari waktu ke waktu tingkat kesulitan nya pun tentu akan bertambah. 

Contoh genre yang saya maksud seperti genre percintaan, genre keuangan, genre pertemanan, genre keluarga, genre pendidikan, dan lain-lain. Maksudnya bagaimana?

Sebagai contoh, saya akan mengambil genre pendidikan. Untuk bisa menyelesaikan soal aljabar, siswa harus belajar simbol-simbol dalam aljabar terlebih dahulu. Dari sini, insight akan hadir ketika anak telah mempelajari dan mencoba menyelesaikan soal terkait simbol-simbol aljabar. 

Meskipun hasil pengerjaan nya tidak benar, setidaknya anak paham tentang konsep dalam menyelesaikan aljabar tersebut. Keyword nya adalah mengerti. Jadi, jangan takut ketika menghadapi masalah, masalah ada untuk dijadikan pembelajaran. 

Pengalaman dalam menyelesaikan masalah dapat menjadi perantara penemuan insight. Hadapi masalah dengan versi kita, karena setiap dari kita memiliki cara masing-masing untuk menyelesaikanya.

Dari penjabaran diatas, mungkin ini adalah saat yang tepat untuk saya mengkategorikan postingan tersebut sebagai salah satu postingan yang memiliki power. Postingan yang mampu mengantarkan saya berpikir sejauh ini, dan tentunya mendobrak comfort zone diri sendiri. 

Kiranya melalui tulisan ini dapat memberikan insight tentang bagaimana semestinya respon kita ketika mendapati masalah. Haruskah kita menghindarinya? Atau menghadapinya? Itu hak masing-masing, ini pandangan saya. Bagaimana dengan kalian? Mari bertukar pikiran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun