Mohon tunggu...
MN Aba Nuen
MN Aba Nuen Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pengajar pelosok yang jatuh cinta pada quotation "menulisalah, agar engkau dicatat peradaban," Surel:noyatokan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Merawat Bahasa Daerah sebagai Warisan Peradaban

21 Februari 2020   12:36 Diperbarui: 21 Februari 2020   14:31 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto:kompasiana-Okti Nur Risanti

Siapa yang menduga, waktu senggang seorang wakil  presiden di rumah diisi dengan mengajarkan para cucu bahasa daerah? Tinggal digemerlap ibu kota negara, Jusuf Kalla (JK) tidak ingin anak cucunya lupa asal-usul mereka, dan karenanya Ia ingin mereka bisa berkomunikasi dalam bahasa Bugis. 

Ketika diwawancara satu televisi swasta nasional menjelang akhir masa bakti keduanya sebagai wakil presiden, pria asal Watampone Sulawesi  Selatan ini tampak bahagia, melihat salah seorang cucu menjawab pertanyaanya dalam Bahasa Bugis. 

Kecintaan pada kampung halaman dan para leluhur dijewantahkan pada rasa cinta untuk berkomunikasi menggunakan bahasa ibu sebagai warisan peradaban, sekaligus simbol identitas.

Jauh dari Jakarta  puluhan tahun lalu, upaya seperti  yang dilakukan JK juga ditempuh rakyat Bangladesh untuk mendapat pengakuan terhadap bahasa Bangla. Perjuangan itu secara simbolis dirayakan rakyat Bangladesh pada setiap tanggal 21 Februari. 

Upaya ini kemudian menjadi inspirasi bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO)  untuk menetapkan tanggal 21 Februari sebagai  sebagai  International Mother Language Day atau hari Bahasa Ibu Internasional. Penetapan itu diumumkan UNESCO pada 17 November 1999, kemudian diikuti pengakuan resmi Majelis Umum PBB pada 2008.

Ikhtiar JK dan rakyat Bangladesh merupakan sebuah upaya merawat kekayaan warisan budaya dan intelektualitas para leluhur. Secara global, kondisi bahasa-bahasa ibu berada pada fase mencemaskan.

Catatan UNESCO pada 2018 menunjukan 40% penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap pendidikan dalam bahasa yang mereka ucapkan atau pahami (en.unesco.org.) 

Di Indonesia, hingga 2019,  terdata sebanyak 718 bahasa daerah oleh Badan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Di tengah hegemoni globalisasi dan modernisasi, kekayaan linguistik ini rentan pada disrupsi kepunahan.

Sebagai contoh, 11 bahasa daerah dengan status punah dan 4 lainnya dinyatakan kritis sebagaimana data Badan Bahasa Jakarta adalah ancaman nyatanya.

Data bahasa daerah yang punah itu antara lain, Kayeli, Piru, Moksela, Palumata, Ternateno, Hukumina, Hoti, Serua, dan Nila, semuanya berasal dari Maluku, dan dua lainnya dari Papua, yakni Tandias dan Mawes. Sementara  4 bahasa daerah yang kritis masing-masing, Reta dari NTT, Saponi dari Maluku, serta Ibo dan Meher dari Papua (kompas.com, 10/02/2018). 

Atas kondisi tersebut, upaya melestarikan bahasa daerah yang eksis di negeri ini wajib terus dilakukan. Slogan "Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah dan Kuasai Bahasa Asing" bisa menjadi pijakan penting.  

Di jalur formal, memasukan bahasa daerah dalam kurikulum muatan lokal yang telah diterapkan selama ini perlu diperluas cakupannya. Untuk merangsang minat dan motivasi siswa, pendekatan kreatifitas seperti pentas seni dan karya sastra dalam bahasa daerah dengan melibatkan siswa dalam lanskap penutur  bahasa tertentu merupakan alternatif yang menarik. Langkah ini akan mendukung prinsip pendidikan multibahasa berbasis bahasa ibu, terutama bagi siswa SD.

Di level perguruan tinggi, kegiatan penelitian diranah linguistik dengan sampel bahasa daerah mesti terus digalakan oleh para civitas akademika, termasuk  misalnya menyusun kamus bahasa daerah. 

Meski bukan kalangan akademik, ada pelajaran berharga dari komunitas Sengker Kuwung Blambangan di Banyuwangi Jawa Timur. Untuk melestarikan bahasa Using di Banyuwangi, komunitas ini telah menerbitkan 18 buku fiksi dan nonfiksi dalam bahasa daerah Using, termasuk memfasilitasi pelatihan penyusunan kamus bahasa Using.

Upaya seperti menyusun kamus bahasa daerah urgen dilakukan, mengingat bahasa daerah juga berkontribusi  untuk memperkuat dan memperkaya khasanah linguistik Bahasa Indonesia. Kosa kata Bahasa Inggris seperti download dan upload adalah contoh, dimana padanan artinya justru diambil dari bahasa Jawa, unduh dan unggah.

Berikut, sebagai instrumen budaya, bahasa daerah mendapat tempat istimewa di tengah  komunitas penuturnya. Hal ini bisa dilihat pada perhelatan ritual budaya. Masyarakat Dawan di Timor Barat tidak bisa membayangkan jika  Natoni, tutur lisan khas dalam menyambut tamu dan acara adat diganti dengan tutur bahasa Indonesia. Kedalaman makna dan terutama value Natoni sebagai perekat relasi sosial hanya bisa terpenuhi, jika ia ditutur dalam bahasa Dawan. 

Hal yang sama ditemui dalam tradisi Sole oha di komunitas Lamaholot. Sole oha merupakan semacam seni bercerita hikayat masa lalu dalam tradisi masyarakat penutur bahasa Lamaholot di Kabupaten Flores Timur dan Lembata- NTT, melalui tarian massal. 

Dan sekali lagi, kisah dalam sole oha  itu akan kedengaran ritmis, syahdu dan menggugah para penari dan penonton hanya jika ia dilantunkan dalam bahasa Lamaholot. Ini artinya, fungsionalitas bahasa daerah dalam konteks  Natoni dan Sole oha merupakan piranti utama budaya yang inherent pada komunitasnya.     

Sangat mustahil  jika relasi sosial masyarakat di pulau Adonara, Solor dan Larantuka di Flores Timur, lalu Lembata dan sebagian wilayah kabupaten Alor, hidup tanpa bahasa Lamaholot. Itu tidak mungkin. 

Ini satu lagi bukti, daya ikat sebuah bahasa daerah yang menyatukan komunitas di tiga kabupaten, terpisah berpulau-pulau tetapi senantiasa bersahabat dalam satu falsafah, persaudaraan warga Lamaholot. Bahasa daerah akhirnya tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga perangkat sosial kehidupan masyarakat penuturnya.

Selain sebagai piranti komunikasi dan sosial budaya, bahasa daerah juga merupakan bukti sahih, kekayaan imajinasi dan kejayaan literasi nenek moyang kita yang sulit dijelaskan, di jaman secanggih saat ini sekalipun. Tugas berat kita saat ini adalah memastikan bahasa daerah tetap eksis, dipelajari, dan digunakan oleh generasi di masa depan.

Ciri khas masyarakat kita yang multibahasa dan multikultural membutuhkan perangkat perekat, untuk melestarikan pengetahuan, budaya dan terutama persatuan baik ditingkat komunitas, maupun dalam konteks kesatuan sebagai bangsa. 

Dengan demikian, tantangan globalisasi dan modernisasi harus menjadi cambuk bagi kita untuk merawat dan menjaga bahasa daerah dari kepunahan. (Versi cetak artikel ini telah dimuat di Harian Pagi Timor Express, 21 Februari 2020).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun