Mohon tunggu...
MN Aba Nuen
MN Aba Nuen Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pengajar pelosok yang jatuh cinta pada quotation "menulisalah, agar engkau dicatat peradaban," Surel:noyatokan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jalan Panjang Ujian Nasional

29 Maret 2019   15:27 Diperbarui: 29 Maret 2019   15:38 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
           Ilustrasi/Foto: makassar.tribunnews.com

Seperti biasa, penutup tahun pelajaran dalam sistem pendidikan Indonesia ditandai dengan kegiatan evaluasi akhir untuk peserta didik kelas XII (SMA/SMK/MA), kelas IX (SMP/sederajat) dan kelas VI untuk siswa SD/MI.  Bentuk evaluasi itu kini populer dengan nama Ujian Nasional (UN). 

Sejak diterapkan pertama kali dalam sistem evaluasi pendidikan di Indonesia pada 1950, untuk kepentingan penyempurnaan dan pematangan, nama dan format UN berubah dari waktu ke waktu. Periode 1950-1964 misalnya, kala itu UN disebut Ujian Penghabisan. Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan membuat soal-soal berbentuk uraian (esai) dan diujikan di setiap satuan pendidikan.

Pada 1965-1971 berubah nama menjadi Ujian Negara. Soal tetap di buat pemerintah pusat, perubahan signifikannya yaitu semua mata pelajaran diujikan. Kemudian antara tahun 1972-1979 namanya menjadi Ujian Sekolah. Formatnya, pemerintah pusat hanya menyusun pedoman ujian, sedangkan pelaksanaannya dilakukan masing-masing sekolah dengan materi uji yang disesuaikan.

 Pada rentang 1980-2002 ujian akhir dinamakan EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) yang merupakan kewenangan pusat. Kelulusan siswa ditentukan oleh nilai Ebtanas dan Ebta (kewenangan daerah). Perubahan nama kembali terjadi pada 2002-2004 dengan sebutan Ujian Nasional (UAN). Kelulusan ditentukan oleh nilai setiap mata pelajaran secara individual. Pada periode ini mulai diterapkan standar kelulusan (passing grade/PG) setiap mata pelajaran. Tahun 2003 misalnya, PG setiap mata pelajaran adalah 3.01 dan meningkat menjadi 4.01 pada 2004. 

UN periode 2004-2010  menjadi momok menakutkan bagi siswa. Pada periode itu, trend peningkatan standar kelulusan mata pelajaran setiap tahun, kemudian ditiadakannya  kesempatan ujian ulang bagi peserta yang gagal,  menuai kritik tajam banyak kalangan. Beberapa diantaranya seperti, siswa seolah-olah bersekolah melulu untuk menghadapi UN. Selain itu, proses pembelajaran selama 3 tahun dengan sejumlah pelajaran, tetapi hasil akhir kelulusan justru ditentukan oleh 6 mata pelajaran yang diujikan secara nasional.    

Kemudian dalam empat tahun terakhir (2015-2018), UN tak lagi menjadi syarat mutlak kelulusan siswa. Nilai UN dipakai terutama untuk sejumlah keperluan, misalnya sebagai tool mapping tentang gambaran kualitas pengembangan pendidikan antar wilayah di Indonesia. 

Merujuk pada jalan panjang pemberlakuan UN sebagai alat evaluasi pembelajaran, maka bisa dipastikan sebagian besar warga Indonesia yang mengenyam pendidikan dasar dan menengah, pernah merasakan sensasi menjadi peserta ujian menjelang kelulusan pada satuan pendidikan tertentu. Pada dekade 1980-1990an, menjadi peserta ujian akhir, itu ibarat prajurit turun di medan pertempuran. Rasa bangga, grogi, dan depresi, semua menyatu dalam tekad menaklukan soal-soal ujian dari pusat. Di situ gengsinya, soal yang disusun bukan di sekolah. Tinggi tekanan psikologisnya, terutama karena itu semua dihadapi dengan keterbatasan dalam segala hal.

Kala itu, belum banyak guru sarjana, apa lagi sekolah-sekolah di pelosok. Berikutnya, hambatan topografi. Secara kuantitas sekolah belum banyak, siswa harus menempuh belasan kilo meter untuk menjangkau sekolah.  Gedung sekolah juga banyak yang berdinding bambu, dengan atap ilalang dan berlantai tanah. Sumber belajar utama itu buku catatan siswa dari penjelasan guru di kelas, dan buku paket pelajaran jika ada. Tetapi ini seperti blessing in dissguised, ada hikmahnya bagi para pembelajar. Apa itu? Motivasi.

Semua keterbatasan itu telah mampu melipatgandakan motivasi dalam diri para peserta didik, untuk meraih sukses. Motivasi itu terinternalisasi dalam kebiasaan-kebiasaan positif (habbit formation) semisal, giat belajar dan  etos kerja. Sehingga secara substansi, dengan atau tanpa ujian akhir (UN) sekalipun, para pembelajar pada masa itu tampak berilmu (well educated) dan berkarakter. 

UN bagi generasi milenial

Sesuai Prosedur Operasional Standar (POS) yang dikeluarkan Badan Standar Nasional Pendidikan, UN jenjang SMA tahun 2019  secara nasional akan dilaksanakan pada 1-8 April mendatang. Peserta UN saat ini adalah para generasi milenial. Frase terakhir sedang populer saat ini, untuk merujuk pada anak-anak yang lahir pada tahun 2000 atau setelahnya. Kelompok anak ini lahir dan tumbuh ditengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang masif. Mereka hidup di zaman di mana teknologi banyak memberi kemudahan dalam belajar.   

Separuh mereka pergi ke sekolah dengan sepeda motor sendiri. Sekolah punya fasilitas memadai, perpustakaan, laboratorium, lapangan olah raga. Tenaga pengajar tersedia untuk setiap mata pelajaran. Gedung sekolah berlantai keramik dan tidak dijangkau berkilo-kilo meter. Bersekolah dengan bea siswa pemerintah. 

Siswa-siswi sekarang bersekolah di tengah melimpahnya sumber-sumber literatur, cetak maupun on line. Penetrasi layanan internet, terutama mobile internet telah menawarkan sejuta kemudahan bagi para peserta didik untuk belajar tanpa batas. Layanan internet telah memperluas makna terminologi belajar, dari situasi kaku dalam kelas,  berhadapan dengan buku, pengajar, menjadi pembelajaran mandiri, setiap waktu dan dimanapun sang pembelajar berada. 

Singkatnya, generasi ini kaya aksesabilitas, dan karenanya dalam konteks evaluasi, mereka mestinya sangat siap (well prepared) untuk menghadapi test, apapun itu bentuk evaluasinya. Perubahan media ujian dari kertas pensil ke komputer juga membuat prosesnya menjadi lebih praktis. 

Akan tetapi, di sisi lain; perubahan media itu juga menjadi tamparan bagi siswa sekolah-sekolah pelosok dan pedalaman yang minim perangkat IT. Sebagian besar siswa justru belum terampil mengoperasikan perangkat komputer. Kasus ini utamanya dialami para pelajar pedalaman dari latar belakang orang tua petani. Ketiadaan perangkat laptop/komputer di rumah membuat mereka tampak kesulitan mengoperasikannya. 

Selain itu, sejak 2017 UN SMA hanya menguji empat  mata pelajaran, yakni Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris dan satu mata pelajaran pilihan sesuai jurusan. Artinya, siswa yang selama ini belajar Biologi, Kimia dan Fisika di jurusan IPA hanya akan memilih salah satu dari tiga mata pelajaran tersebut, sebagai proyeksi kemampuan jurusannya secara nasional.  Pertanyaannya, apakah nilai Biologi misalnya, yang dipilih saat UN, sahih menggambarkan kemampuan anak tersebut sebagai siswa jurusan IPA, sementara dua pelajaran lain tidak diukur secara nasional? 

UN harusnya mengukur kemampuan anak sesuai jurusan secara komprehensif, apalagi itu dijadikan sebagai patokan nasional. Anak juga perlu mengetahui daya saing individualnya secara nasional, setelah ia berproses bertahun-tahun dalam pembelajaran di kelas. Meski sebagai salah satu alat evaluasi tertua dalam sistem pendidikan Indonesia,  UN dari tahun ke tahun masih menggunakan bentuk soal pilihan ganda (multiple choice). Format ini mendirect siswa untuk memilih, bukan menganalisa. Artinya, jenis tes ini membatasi daya nalar dan sikap kritis siswa. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun