Membaca wacana Electronic Sports (esports) masuk dalam kurikulum sekolah, kembali membuat saya terbayang dengan kondisi yang saat ini tengah dihadapi sejumlah SMA di pelosok Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi NTT.Â
Pada Ujian Nasional (UN) tahun 2019 April mendatang, semua SMA diwajibkan menggunakan sistem berbasis komputer (UNBK). Syarat ini berlaku tanpa kecuali, termasuk SMA yang belum memiliki jaringan internet dan perangkat hardware komputer/laptop.Â
Bagaimana bisa sekolah tanpa koneksi dan perangkat bisa UNBK? Keputusan telah dibuat pihak Dinas Pendidikan NTT dan para kepala sekolah, bahwa sekolah yang belum punya perangkat akan menumpang ujian pada sekolah lain yang memiliki perangkat Informasi Teknologi/IT. Sekolah tempat saya mengajar salah satu yang harus meminjam perangkat di sekolah lain.
Konsekuensinya ternyata berat. Sekolah saya berjarak 81 km dari  Soe, kota di mana sekolah yang menjadi tempat anak-anak mengikuti UNBK berada. Dengan jarak sejauh ini, maka mulai dari sekarang kami harus berpikir tentang bagaimana menyertakan peserta UNBK kami dalam simulasi UNBK.
Simulasi ini urgent, karena hampir semua peserta UN kami tidak familiar dengan operasional komputer dan laptop. Dengan latar belakang orang tua petani, perangkat seperti ini tidak dimiliki di rumah. Sekolah menjadi harapan siswa untuk memiliki keterampilan IT, juga belum memiliki perangkatnya secara memadai.Â
Untuk kepentingan itu, maka sekolah wajib mengurus hal-hal seperti transportasi, konsumsi dan akomodasi anak-anak selama di Soe. Semua urusan itu tentu saja berdampak pada pembiayaan. Bersyukur jika secara prosedur, item kegiatan seperti ini  bisa dicover dari sumber dana BOS.  Ini baru tahapan simulasi, belum UN utama pada April nanti.Â
Uraian di atas ingin memberikan gambaran bagaiamana isu-isu di bidang IT masih menjadi kendala besar bagi banyak sekolah pelosok. Kondisi keterbatasan pada akses perangkat IT seperti menempatkan siswa menjadi kelompok yang rentan atas sebuah sistem.
Kerentanan itu terletak pada kemungkinan menanggung konsekuensi biaya, hak kenyamanan sebagai peserta ujian, dan dalam konteks luas, itu berkaitan dengan hak mendapatkan layanan pendidikan yang layak.
Kaitan dengan teknologi IT, wacana untuk memasukan esports dalam muatan kurikulum pendidikan seperti dilontarkan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, berpeluang menambah derita siswa dan sekolah-sekolah pelosok.
Menpora Imam Nahrawi menyatakan keseriusannya mendorong esports masuk dalam kurikulum, caranya dengan meminta rekomendasi para kepala sekolah untuk hal ini.
Menurut Imam, esports prospektif untuk industri dan prestasi olahraga. Di dalamnya terkandung nilai sportivitas, kerjasama, saling menghargai dan semangat bekerja sama. Menurut Menpora, tahun 2019 akan ada event Youth National esport Championship yang melibatkan tim dari 600 SMP dan SMA di 22 kota di pulau Jawa dan Sumatra untuk memperebutkan Piala Menpora.Â
Ada juga Piala Presiden esports 2019 yang mempertandingkan pemain Mobile Legends. Event itu terlebih dahulu akan diselenggarakan di 8 kota besar, Bekasi, Solo, Surabaya, Palembang, Manado, Pontianak, Makasar, Denpasar.Â
Menurut saya, wacana Menpora ini sekali lagi menunjukan kecendrungan para pembuat kebijakan yang menggunakan paramater pendidikan Jakarta (Jawa) maupun kota besar lain untuk menghasilkan kebijakan baru yang berlaku secara nasional. Ini jelas tidak fair.Â
Pemerataan akses dan fasilitas memang sedang giat dilakukan Kemdikbud dari tahun ke tahun. Namun demikian, mengupayakan esports menjadi muatan kurikulum dengan titik berat pada pemanfaatan teknologi IT, bisa jadi hanya akan memperpanjang  disparitas kualitas antara sekolah di Indonesia bagian Barat dan Timur secara umum, dan khususnya sekolah-sekolah di kota dan di pedalaman.Â
Benar bahwa secara eksibisi, esports resmi dipertandingkan pada Asian Games 2018 di Jakarta 2018 lalu. Akan tetapi, ikhtiar menjadikannya pelajaran di sekolah bukan hal yang urgent, tidak perlu terburu-buru. Â
Dari perspektif opportunity and demand, sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi ketika membuka Pasanggirinas dan kejuaraan silat ASAD 2017 di Jakarta, sebetulnya tidak hanya esports, Jokowi juga mengagas bidang lain seperti Megatronika, Logistik, Retail dan Animasi berpeluang masuk dalam kurikulum pendidikan.Â
Hemat saya, esports belum perlu dijadikan mata pelajaran untuk dipelajari di sekolah dari jenjang SD-SMA sederajat, terutama untuk sekolah-sekolah di pelosok negeri. Ia cukup dijadikan salah satu pilihan extra kurikuler, sehingga setiap sekolah punya opsi memilihnya atau tidak, tergantung kebutuhan, fasilitas pendukung dan minat para peserta didik.Â
Kita tidak boleh meniru dengan sembarangan, apa yang terjadi di luar negeri. Biar pemprov, pemkot dan para guru mengenal terlebih dahulu apa itu e sport" demikian tanggapan Hayono Isman, Ketua Umum Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI).Â
Tilaria Padika dalam prolog tulisannya tentang isu ini di Kompasiana menulis "Bangsa kita mungkin akan selamanya bermental latah tukang mengekor. Ke mana angin bertiup, ke sana pula kita tergesa-gesa menuju. Bangsa kita mungkin selamanya follower, bukan pelopor. Bangsa kita boleh jadi abadi user, bukan pencipta. Nasib kita berakhir tukang klik layar fronted, bukan pengembangnya". Â
Dari kalangan praktisi pendidikan, kritik datang dari Doni Koesoema. Â "Game online, sebagus apapun, hanya akan menjauhkan anak dari interaksi sosial anak-anak. Esports hanya fokus pada kegiatan non fisik, atau hanya melibatkan olah pikir dan keterampilan" katanya.Â
Selebihnya, sebagai guru pelosok, saya berharap pemerintah bijak menyikapi wacana ini. Implementasi kurikulum 2013 yang keteteran cukup jadi pelajaran penting, bahwa akselerasi kebijakan tidak bisa disejajarkan antar sekolah dari Sabang sampai Merauke, dari Rote hingga Sangihe Talaud. Â Â
Sumber;
"Jokowi Ingin Ada Pendidikan Jurusan eSport di Indonesia" www.tekno.tempo.co.id
 "Alasan Menpora Dorong Esport Masuk Kurikulum Sekolah" www.tirto.idÂ
"Signifikansi e-Sport Masuk Kurikulum Sekolah yang Menuai Kritik www.tirto.idÂ
"Masuknya Esport ke dalam Kurikulum Pendidikan Perlu Proses" www.liputan6.com    Â
"Menpora itu Representasi PKB atau Pengembang Game Daring?" www.kompasiana.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H