Mohon tunggu...
MN Aba Nuen
MN Aba Nuen Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pengajar pelosok yang jatuh cinta pada quotation "menulisalah, agar engkau dicatat peradaban," Surel:noyatokan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Merawat Kecanduan Menulis di Kompasiana Pada 2019

1 Januari 2019   11:10 Diperbarui: 2 Januari 2019   01:10 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: soulofjakarta.com

Sebagai sebuah komunitas, Kompasianer Kupang pada bulan Oktober 2018  menggelar workshop kepenulisan untuk para anggotanya.   Kegiatan itu saya tahu setelah dishare di media sosial oleh beberapa anggota kenalanku. Saya penasaran, dan mulai tanya sana-sini. Akhirnya penjelasan tata cara menulis di Kompasiana saya dapat dari seorang Kompasianer. 

Perjuangan menjadi Kompasianer ternyata tidak mudah. Macam-macamlah kendalanya. Gagal daftar, error login, koneksi internet buruk, semuanya bercampur aduk. Dua bulan lamanya bergelut dengan itu semua, terhitung sejak Oktober 2018. Hingga akhirnya pada 4 Desember 2018, pagi sekali, saya mencoba daftar dengan email ke-3, alhamdulillah sukses.  

Sebelumnya, saya mendaftar dengan 2 akun email berbeda, tetapi selalu gagal. Hari itu juga, mumpung masih hangat-hangatnya berita seputar tes CPNS, saya kebut satu artikel tentang itu. Finally, artikel pertamaku tayang di Kompasiana dengan judul "Test CPNS dan Pentingnya Adaptasi di Era Disrupsi". Melihat statistik tulisan, sulit melukis perasaan gembiraku, ternyata ada ratusan pembacanya. 

Sejak saat itu, artikel demi artiikel menghiasi akunku. Sebagian besar tentang isu-isu  pendidikan di NTT. Hari ini genap 28 hari, saya menjadi Kompasianer dan ini adalah artikel ke-21. Artikel pertama di tahun 2019, ditulis selepas subuh, setelah melewati malam panjang dengan sahut-sahutan bunyi kembang api di langit cerah kota Soe.

Artikel ini tidak hanya seperti sebuah kaleidoskop singkat, perjalanan menulis di Kompasiana yang baru seumur jagung,  tetapi juga lukisan awal, bagaimana saya saat ini begitu jatuh cinta untuk menulis di platform ini. Apakah saya sedang kecanduan menulis di Kompasiana? Maybe yes!

Kecintaan itu bukan pada hasil tulisan, tetapi proses dibalik artikel-artikel itu ditulis dan ditayangkan. Sebagai platform online, internet adalah jembatan agar terhubung ke Kompasiana. Inilah salah satu masalah, ketika artikel sudah rampung dan siap tayang. 

Jaringan internet di tempat tinggal  saya mengajar berkode E, bukan H, 3G apa lagi 4G.    Dengan kualitas koneksi seperti itu, untuk login ke akun Kompasiana saja, butuh waktu berjam-jam selain ancaman gagal login. Belum lagi saat akan upload visual foto pendukung tulisan, oh my god, lelet.

Ini hanya kendala eksternal, gampang diatasi. Ketika artikel sudah ready, saya hanya perlu pergi ke kecamatan tetangga, 14 km dari tempat saya. Di sana sinyal internetnya H, lumayan cepat, dan artikelnya bisa ditayangkan. Betul juga kata seorang Kompasianer, Ahmad Humaidy, saat mengomentari artikelku "Saya, Koran, dan Kompasiana". 

Menurutnya, para penulis dari timur Indonesia memang harus merambah ke digital karena banyak cerita dari sana yang bisa dibagikan kepada dunia. Saya setuju dengan Mas Ahmad  soal ini. 

Sumber foto: thewriterlife.com
Sumber foto: thewriterlife.com
Selain itu, menulis itu hasil proses kontemplasi, included di dalamnya proses belajar. Dan karenanya, penulis juga tidak boleh berhenti belajar. Saya pegang falsafah ini. Mau belajar kepada siapa? Jika serius menulis di Kompasiana, timbalah ilmu dan pengalaman dari para penulisnya. Demikian suara hati saya.  Maka, ketika mengetahui Kompasianers Kupang berencana menggelar diskusi pada 23 Desember 2018, saya langsung menyatakan siap bergabung. 

Itulah kesempatan bertemu Kompasianer NTT, berturut-turut spesialis politik dan bola, Tilaria Padika dan Arnold Adoe, serta beberapa kompasianer produktif seperti Ardy Milik dan Sayyidati Hajar. Agendanya menarik, ada bedah tulisan headline wisata, sharing pengalaman menulis dan tindak lanjut dalam bentuk artikel wisata oleh masing-masing Kompasianer. 

Kompasianer yang terlibat dalam diskusi itu, semuanya berdomisili di Kota Kupang, ibu kota Provinsi NTT. Saya satu-satunya yang datang dari kabupaten, menempuh perjalanan darat 110 km ke  Kupang, persisnya dari kota Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Bagi saya, diskusi seperti ini adalah sekolah sesungguhnya bagi penulis. Konsep berbagi ilmu dilakukan dengan interactive, supportive dan practice.

Selepas diskusi itu, saya semakin paham seluk beluk menulis di Kompasiana. Tekad saya, semoga tidak hanya tambah produktif tetapi kontennya juga meningkat secara kualitatif. Hal-hal lain bisa dipelajari sambil menulis, learning by doing termasuk menyangkut gaya menulis di blog. 

Bagi saya, ada perbedaan besar menulis di koran dan blog. Di koran, konten artikel lebih kaku, analitis bahkan ilmiah. Di blog sebaliknya, isi artikel bisa lebih rileks, dengan gaya khas bercerita (story telling).  Gaya inilah yang sedang saya gandrungi akhir-akhir ini. Jadi semacam pelampiasan, lepas dari kekakuan menulis di koran selama ini. Entahlah, tetapi sepertinya inilah magnet terbesar yang membuat passion menulis di Kompasiana begitu besar.

Jauh sebelum itu, menulis dengan gaya bercerita mengingtkan saya pada John Hersey-penulis pemenang Pulitzer Prize, dalam bukunya Hiroshima. Gaya demikian membuat para pembacanya seperti berada di setiap detik peristiwa, bersama enam korban selamat dari dampak ledakan bom atom di negeri sakura itu.  

Di Indonesia, gaya ini telah lama dianut para penulis aktivis seperti Linda Christanty, Andreas Harsono, Coen Husein Pontoh dkk, seperti bisa dilihat dalam antologi in-depth-reporting mereka "Jurnalisme Sastrawi".  

Tulisan dengan gaya bercerita biasanya mudah memainkan perasaan para pembaca, menggugah mereka, dan akhirnya larut dalam keseluruhan isi tulisan. Inilah chemistry yang paling diinginkan seorang penulis dari para pembacanya. Karena itu, memiliki kesempatan menulis dengan gaya demikian, bagi saya seperti dream comes true, apalagi menulis di Kompasiana dengan segmen pembaca jutaan orang di Indonesia. 

Pengalaman baru ini harus dirawat  di tahun 2019, dengan menulis lebih banyak artikel. Sebagaimana Pram bilang, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun