Masa kanak-kanak, bulan Desember dan kampung halaman; ketiganya jika dikenang, akan membuat saya homesick sekaligus ingin kembali jauh ke suatu tempat, Witihama. Letaknya di bagian Timur pulau Adonara. Adonara, Flores dan Solor ibarat pilar segitiga yang membentuk Kabupaten Flores Timur, NTT. Â
Secara geografis, Laut Flores ada di utara batas kecamatan Witihama, di selatan berbatasan dengan Gunung Boleng, Timur dengan Selat Boleng dan Kecamatan Kelubagolit di ujung Barat. Kontur wilayahnya mirip cekungan kuali dengan belahan membujur di sisi barat menembus sisi Timur.Â
Di pinggir cekungan itu, pada sisi selatan, berdiri menjulang gunung Boleng. Di Selatan dipagari bebukitan yang memanjang dari Barat Laut hingga Timur Laut, mengarah ke Kabupaten Lembata. Luas wilayahnya mencapai 77,97km2, dengan jumlah penduduk sekitar 14.562 jiwa. Ada 16 desa di sini. Pusat administrasi kecamatan ada di wilayah desa Oringbele. Â
Kabupaten Flores Timur sebagian besar didiami etnis Lamaholot. Etnis ini juga menghuni Kabupaten Lembata dan beberapa tempat di Kabupaten Alor. Secara kultur, etnis Lamaholot terkenal dengan kebiasaan merantau, terutama ke Sabah, Malaysia Timur.Â
Konon, kebiasaan tradisi merantau ke Malaysia sudah dilakukan orangtua dulu ketika di Malaysia masih mengenal zaman British. Hal ini dibuktikan dengan istilah "teken British" (merantau di zaman British). Term ini populer di era 80an untuk merujuk generasi tua Lamaholot yang merantau berpuluh tahun sebelumnya dan sebagian besar sudah menjadi warga negara Malaysia hingga kini. Â
Puncak kejayaan atau masa emas sejarah pekerja migran asal Lamaholot di Malaysia sangat terasa pada periode 1980 sampai awal 1990an. Pada periode itu, di Witihama, orang berbondong-bondong berangkat ke Sabah, setiap dua minggu sesuai jadwal kapal Pelni yang melayani rute Larantuka-Nunukan.Â
Rata-rata, 9 dari 10 keluarga mengirim salah satu anggota keluarga merantau ke Sabah Malaysia. Manfaat secara ekonomi benar-benar dirasakan kala itu.Â
Ekonomi keluarga membaik. Rumah warga yang dulunya beratap alang-alang, berdinding bambu diganti. Banyak perantau membangun rumah permanen nan megah. Kelimpahan puing-puing Ringgit juga mendorong banyak orang tua mulai berpikir tentang investasi pendidikan anak-anak untuk masa depan. Maka lahirlah skema pembiayaan pendidikan yang unik.Â
Jadi, di Witihama, dalam satu keluarga, satu atau dua anggota keluarga menjadi fundraiser, dengan bekerja di Malaysia. Hasil upah disisihkan dan dikirim ke kampung untuk membiayai anggota keluarga lain yang didorong untuk bersekolah hingga perguruan tinggi.Â
Semua dilakukan dengan ikhlas, semata-mata untuk memutus mata rantai kemiskinan melalui pendidikan, juga untuk mengangkat harkat martabat lingkaran keluarga secara sosial. Hasilnya memang dahsyat.Â
Banyak dokter, pejabat, pegawai, polisi/tentara, wirausahawan yang saat ini sukses dengan hasil keringat para anggota keluarga yang merantau.Â
Jumlah perantau Lamaholot baru menurun drastis, ketika pemerintah Malaysia mulai memberlakukan Undang-Undang Keimigrasian baru yang mempersepsikan para pekerja ilegal sebagai pendatang haram.Â
Pada bulan Desember seperti sekarang, 30 tahun lalu, saat di mana saya menjalani masa kecil di Witihama. Paling enak melihat suasana kampung bulan begini. Bunyi tape deck dengan kaset pita hampir menderu di setiap rumah. Lagu-lagu penyanyi Malaysia sperti Iklim, Ela, Search, Slam. Hampir semuanya, kami anak-anak seumuran menghafalnya.Â
Umumnya, ketika bertamu ke rumah para perantau, kita akan disambut dengan sajian minuman Milo. Minum Milo kala itu, serasa seperti dapat undian. Bulan Desember, menjelang hari Natal, memang Witihama lebih ramai dari biasanya. Banyak perantau, baik pemeluk Katolik maupun Islam pulang merayakan Natal dan Tahun Baru di kampung. Kampung benar-benar ramai dan meriah.
Gereja Maria Bunda Pembantu Abadi, gereja megah yang dibangun para misionaris hanya berjarak 200 meter dari Mesjid Besar At-Taqwa Witihama. Saya ingat betul, pembangunan mesjid At-Taqwa sejak tahun 80-an memang tersendat-sendat karena kendala pendanaan. Dan, satu di antara banyak donatur tetap itu adalah para perantau Witihama di Malaysia.Â
Mereka, baik Islam maupun Katolik dengan tulus mengirim sumbangan dari tanah rantau untuk membangun sejumlah tempat ibadah di kampung halaman. Tidak hanya itu, mereka juga menyumbang untuk pembangunan fasilitas umum desa seperti bak penampung air umum desa. Ini adalah modal sosial yang tidak ditemui di semua tempat.Â
Ketika hari Natal tiba, siang harinya umat kedua agama saling mengunjungi antar rumah. Pengalaman unik tak terlupakan adalah berbagi penganan antar para tetangga. Saat Natal, para tetangga Katolik akan membagikan penganan-penganan kepada para tetangga beraga Islam.
Ragam penganannya sederhana, seperti pisang goreng, kue bendera (talam), kupe kacang (gorengan berisi kacang hijau), waji beras ketan, tapi tidak main-main, paket kue itu disertai minuman koi atau teh dalam ceret atau termos, siap saji intinya. Saat Natal, kami benar-benar "mabuk" kue.
Karena tetangga sekeliling rumah adalah saudara-saudaraku beragama Katolik. Jadi, akan ada banyak sekali kue di rumah. Ketika Lebaran, karena masih kecil, saya pun bertugas keliling tetangga mengantar "paket" kue demikian. Sangat senang rasanya.
Malam harinya, semua warga desa berkumpul di balai desa. Untuk mempererat tali silaturahmi dan rasa kekeluargaan, umat Islam dan Katolik melaksanakan Halal Bihalal. Acara  ini sangat ramai. Hiburannya, ada paduan suara umat Katolik, ada pula lantunan Kasidah dari ibu-ibu taklim.Â
Puncaknya, acara berjabatan tangan saling memaafkan. Jika perayaan Natal, umat Katolik berdiri dengan formasi tertentu, lalu umat Muslim berjalan berjabat tangan satu persatu. Hal sebaliknya ketika merayakan Lebaran. Sebagai penutup, umat kedua agama gotong royong menyiapkan hidangan alakadarnya sebagai pelengkap kehangatan silaturahmi.Â
Di status facebooknya pada 12 Desember 2018 lalu, Pendeta Mery Kolimon, Ketua Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) mengekspresikan rasa harunya ketika berkunjung ke salah satu gereja GMIT di Waiwerang, Pulau Adonara.
Ia menulis begini "terimakasih umat dan pemimpin lintas agama di Waiwerang, Pulau Adonara, Kab. Flores Timur, yang tidak hanya hadir dan terlibat aktif dalam penahbisan gedung kebaktian GMIT Imanuel Waiwerang. Para Imam Mesjid, Pastor Paroki, Suster, kelompok pemuda dan perempuan gereja Katolik dan Mesjid-Mesjid sekitar membaur dalam suka cita bersama jemaat GMIT.Â
Sungguh terharu dan bangga mengalami Indonesia sebagai rumah bersama di Adonara. Doa kami bagi persekutuan dan kesaksian jemaat-jemaat GMIT di Adonara dalam konteks masyarakat majemuk."
Melalui masa kecil di sini seperti bonus masa lalu, ia memberi pelajaran dan perspektif berharga tentang toleransi kehidupan umat beragama, yang layak diceritakan hari ini. Di tengah meningkatnya perilaku intoleransi di mana-mana, best practice seperti ini penting untuk dirawat. Dengan demikian, kita turut merawat kebhinekaan Indonesia tercinta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H