Jumlah perantau Lamaholot baru menurun drastis, ketika pemerintah Malaysia mulai memberlakukan Undang-Undang Keimigrasian baru yang mempersepsikan para pekerja ilegal sebagai pendatang haram.Â
Pada bulan Desember seperti sekarang, 30 tahun lalu, saat di mana saya menjalani masa kecil di Witihama. Paling enak melihat suasana kampung bulan begini. Bunyi tape deck dengan kaset pita hampir menderu di setiap rumah. Lagu-lagu penyanyi Malaysia sperti Iklim, Ela, Search, Slam. Hampir semuanya, kami anak-anak seumuran menghafalnya.Â
Umumnya, ketika bertamu ke rumah para perantau, kita akan disambut dengan sajian minuman Milo. Minum Milo kala itu, serasa seperti dapat undian. Bulan Desember, menjelang hari Natal, memang Witihama lebih ramai dari biasanya. Banyak perantau, baik pemeluk Katolik maupun Islam pulang merayakan Natal dan Tahun Baru di kampung. Kampung benar-benar ramai dan meriah.
Gereja Maria Bunda Pembantu Abadi, gereja megah yang dibangun para misionaris hanya berjarak 200 meter dari Mesjid Besar At-Taqwa Witihama. Saya ingat betul, pembangunan mesjid At-Taqwa sejak tahun 80-an memang tersendat-sendat karena kendala pendanaan. Dan, satu di antara banyak donatur tetap itu adalah para perantau Witihama di Malaysia.Â
Mereka, baik Islam maupun Katolik dengan tulus mengirim sumbangan dari tanah rantau untuk membangun sejumlah tempat ibadah di kampung halaman. Tidak hanya itu, mereka juga menyumbang untuk pembangunan fasilitas umum desa seperti bak penampung air umum desa. Ini adalah modal sosial yang tidak ditemui di semua tempat.Â
Ketika hari Natal tiba, siang harinya umat kedua agama saling mengunjungi antar rumah. Pengalaman unik tak terlupakan adalah berbagi penganan antar para tetangga. Saat Natal, para tetangga Katolik akan membagikan penganan-penganan kepada para tetangga beraga Islam.
Ragam penganannya sederhana, seperti pisang goreng, kue bendera (talam), kupe kacang (gorengan berisi kacang hijau), waji beras ketan, tapi tidak main-main, paket kue itu disertai minuman koi atau teh dalam ceret atau termos, siap saji intinya. Saat Natal, kami benar-benar "mabuk" kue.
Karena tetangga sekeliling rumah adalah saudara-saudaraku beragama Katolik. Jadi, akan ada banyak sekali kue di rumah. Ketika Lebaran, karena masih kecil, saya pun bertugas keliling tetangga mengantar "paket" kue demikian. Sangat senang rasanya.
Malam harinya, semua warga desa berkumpul di balai desa. Untuk mempererat tali silaturahmi dan rasa kekeluargaan, umat Islam dan Katolik melaksanakan Halal Bihalal. Acara  ini sangat ramai. Hiburannya, ada paduan suara umat Katolik, ada pula lantunan Kasidah dari ibu-ibu taklim.Â
Puncaknya, acara berjabatan tangan saling memaafkan. Jika perayaan Natal, umat Katolik berdiri dengan formasi tertentu, lalu umat Muslim berjalan berjabat tangan satu persatu. Hal sebaliknya ketika merayakan Lebaran. Sebagai penutup, umat kedua agama gotong royong menyiapkan hidangan alakadarnya sebagai pelengkap kehangatan silaturahmi.Â