Mohon tunggu...
MN Aba Nuen
MN Aba Nuen Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pengajar pelosok yang jatuh cinta pada quotation "menulisalah, agar engkau dicatat peradaban," Surel:noyatokan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Overload Tenaga Pendidikan dan Kesehatan di NTT

14 Desember 2018   18:03 Diperbarui: 14 Desember 2018   18:11 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tes CPNS 2018 telah usai. Proses ini menyisakan gambaran di bidang apa saja potensi  SDM di NTT.      Tanpa risetpun, potensi itu bisa dilihat dari sebaran pelamar yang menumpuk pada formasi guru dan tenaga kesehatan. 

Bukti lain juga bisa dilihat di sekolah atau puskesmas, di mana terdapat begitu banyak guru honorer dan tenaga kesehatan di puskesmas yang bekerja dengan status magang. Fenomena overload tenaga pendidikan dan kesehatan ini unik karena terjadi pada dua bidang yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia.  Apa pemicunya?

Boleh jadi, apa yang terjadi saat ini, dipengaruhi oleh cara banyak orang membaca peluang kerja di NTT 10 atau 15 tahun lalu. Selama satu dekade lebih sejak 2000-2011, preferensi sebagian besar orang tua untuk kuliah anak-anak mereka adalah guru, perawat atau bidan. 

Keputusan ini tentu saja tidak lahir di ruang hampa, ada pendasaran yang kuat kala itu. Benar, pada periode itu, rekrutmen calon pegawai negeri sipil oleh pemerintah begitu massif. Guru dan tenaga kesehatan selalu menempati formasi berjumlah besar. Inilah magnet bagi banyak tamatan SMU dan para orang tua. 

Seperti hukum ekonomi, peluang ini dibaca juga oleh kalangan kampus. Maka di Kupang misalnya, Undana merespon dengan membuka Fakultas Kesehatan Masyarakat disusul Fakultas Kedokteran. Selain Politeknik Kesehatan Negeri (Poltekes) Kupang, sekolah kesehatan swasta tumbuh subur bak cendawan musim hujan, semisal stikes CHMK, Nusantara dan Maranata.  

Semua tampak baik adanya, setidaknya sampai tahun 2011. Kebutuhan sumber daya manusia di pasar kerja tinggi (penerimaan CPNS), diimbangi pertumbuhan infrastruktur "manufaktur" (fakultas/sekolah keguruan dan kesehatan) sebagai produsen SDM. Khusus guru, kebijakan sertifikasi pendidik dengan reward satu kali gaji pokok, juga punya daya tarik memikat. 

Tidak hanya di Kupang, anak-anak NTT memenuhi fakultas/kampus keguruan dan sekolah kesehatan di sejumlah kota di Pulau Jawa dan Sulawesi. Data BPS NTT menunjukan jumlah mahasiswa FKIP di Undana selalu mendominasi, pada 2016 sebanyak 10.553 orang dari total 26.758 mahasiswa di semua fakultas. Begitupun di Politeknik Kesehatan Kupang, mahasiswa jurusan keperawatan sebesar 1.104 orang diikuti jurusan kebidanan sebesar 465 mahasiswi.  Angka ini kemungkinan meningkat dalam dua tahun terakhir. 

Kebijakan pemerintah pusat tentang moratorium rekrutmen CPNS sejak 2015 memang mengecualikan guru, tenaga medis, agraria, infrastruktur, dan maritim. Akan tetapi, dua tahun sebelum itu pemerintah propinsi maupun kabupaten/kota di NTT sudah tidak lagi melakukan penerimaan CPNS dalam jumlah besar, termasuk formasi untuk lima bidang itu, kecuali pengangkatan tenaga honorer dalam beberapa katagori. 

Maka gelombang penumpukan lulusan guru dan tenaga kesehatan mulai nyata dan menggunung. Dampak turunan bagi para lulusan benar-benar buruk. Misalnya pertama, kondisi tersebut kemudian mendorong banyak lulusan guru, perawat, bidan bekerja pada sektor lain yang  tidak berkaitan dengan bidang keahlian. Maka jangan heran melihat perawat dan bidan bekerja sebagai staf perbankan, guru menjadi tenaga pendamping program charity pemerintah.

Kedua, kalaupun  bekerja sesuai bidang keahlian, kompetensi mereka tidak dihargai secara layak. Guru-guru honor dengan kualifikasi sarjana yang dipekerjakan dan diupah dari sumber dana komite dibanyak sekolah di NTT sangat menderita. Mereka umumnya digaji dikisaran Rp. 300-500 ribu per bulan dengan sistem pembayaran rapelan 3 bulan sekali. Angka ini jauh di bawah  UMP NTT 2018 sebsesar Rp. 1.660.000.   

Keadaan lulusan kesehatan justru lebih memprihatinkan. Di Kabupaten TTS misalnya, dari 35 puskesmas, sejumlah puskesmas mempekerjakan perawat, bidan dan tenaga kesehatan lain dengan status magang. Kecuali dari sumber lain, dengan status ini, maka hak berupa gaji bulanan sama sekali tidak terpenuhi, pada hal kita tahu betapa mahalnya sekolah kesehatan jaman sekarang.     

Jika kondisi ini terjadi di banyak sekolah dan fasilitas kesehatan di NTT,    maka ini seperti kado pahit disaat usia NTT memasuki 60 tahun pada desember tahun ini. Membiarkan tenaga pendidikan dibayar sangat murah, kemudian menuntut kinerja mereka dengan standar nasional pengelolaan pendidikan di negeri ini, apakah ini fair? Kualitas pendidikan seperti apa yang kita harapkan dengan sistem seperti ini? Begitu pula dengan tenaga medis yang dipekerjakan tanpa ikatan kontrak, ini menyedihkan. 

Saya yakin, para guru honor dan tenaga kesehatan yang tengah bekerja dengan status magang saat ini, juga tidak menginginkan situasi ini. Mereka hanya tidak memiliki posisi tawar yang kuat disaat atmosfir lapangan kerja di NTT yang kurang cerah. Mestinya pemerintah tegas, menggunakan tenaga mereka dengan mekanisme kontrak yang jelas sesuai peraturan perundangan, atau tidak sama sekali. Jika kondisi ini terus berlanjut, kesannya jadi seperti ada pembiaran, sementara disisi lain jelas ini melanggar Undang-Undang ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. 

Ini persoalan rumit. Mengharapkan solusi lapangan kerja dari pemprop/pemda kabupaten/kota untuk menyerap banyak lulusan juga bukan hal gampang. Keterbatasan finansial pemda di NTT merupakan alasan utama. Sejauh ini, program kontrak daerah bagi tenaga guru, rekrutmen tenaga kesehatan desa dengan sumber gaji dari dana desa cukup membantu sebagian lulusan, meski jumlahnya kecil.  

Ubah orientasi 

Fenomena di atas kemungkinan bisa dicegah jika orang tidak hanya menargetkan pegawai negeri sipil sebagai orientasi pekerjaan. Karena orientasi itu kemudian mempengaruhi pilihan jurusan kuliah menjadi cenderung homogen. Dampaknya seperti terlihat sekarang, tenaga guru dan medis melimpah di NTT, tetapi tidak memberi kontribusi pada pembangunan daerah karena tidak terserap lapangan kerja. Selain itu, dengan status jobless, maka kompetensi keahlian mereka tidak menghasilkan benefit ekonomi. 

Belajar dari fenomena ini, maka para lulusan SMA sederajat yang ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi, sebaiknya peka terhadap perkembangan sains dan teknologi dan kemungkinan peluang kerja prospektif dalam belasan tahun ke depan. 

 Salah satu sektor yang menonjol  dan prospektif saat ini adalah teknologi digital. Secara nasional, data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat total dana asing yang disuntikan kepada sejumlah startup Indonesia selama 2017 mencapai 4,8 miliar dollar AS, atau setara dengan Rp. 64,3 trilliun (kurs Rp.13.400 per dollar AS). Nilai investasi e-commerce dan startup ini  separuh dari jumlah investasi di sektor gas dan minyak sebesar 9 miliar dollar AS per tahunnya. 

Kementerian Komunikasi dan Informatika bahkan memproyeksikan pada 2020, ekonomi digital di Indonesia tumbuh hingga 130 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.700 triliun. Angka proyeksi itu mencapai 20 persen dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia. (kompas.com, 15/01/2018)

Di level internasional, bidang keahlian yang diprediksi lulusannya banyak dibutuhkan dunia kerja menurut United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada laman en.unesco.org mencakup sains, teknologi, teknik mesin, dan matematika (STEM). 

Kalkulasi seperti ini bisa menjadi gambaran para lulusan SMA di NTT menentukan pilihan jurusan kuliah dan peluang kerja prospektif di masa depan.  Teknologi digital berpotensi menjadi leading sektor yang mampu menyerap banyak tenaga kerja di Indonesia. Disamping itu, pembangunan infrastruktur secara massif di Indonesia saat ini memang butuh banyak tenaga seperti insinyur di masa mendatang. Khusus NTT, pertumbuhan pesat di sektor pariwisata juga punya prospek bagus bagi para lulusan yang dari LPTK yang relevan dengan layanan kepariwisataan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun