Mohon tunggu...
MN Aba Nuen
MN Aba Nuen Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pengajar pelosok yang jatuh cinta pada quotation "menulisalah, agar engkau dicatat peradaban," Surel:noyatokan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membangun Pendidikan NTT Secara Partisipatif

12 Desember 2018   14:55 Diperbarui: 12 Desember 2018   15:04 1831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 Secara historis, sektor pendidikan di Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki catatan cemerlang di masa lalu. Sebagai institusi, masyarakat NTT di sejumlah pulau telah mengenal sekolah pada abad ke 19 di bawah pengaruh penyebaran dua agama besar di NTT yakni, Katolik dan Kristen Protestan. Di Rote, Kupang, Sumba dan Flores tercatat telah memiliki sekolah pada tahun 1800an. Di Larantuka Kabupaten Flores Timur, para misionaris Katolik telah merintis sebuah sekolah  dengan siswa berjumlah 70 orang. 

Pada tahun 1900 jumlah sekolah Katolik di Flores bertambah menjadi 5 unit dengan jumlah siswa mencapai 600an orang. Di Pulau Timor didirikan dua sekolah misi. Sedangkan di Sumba, beberapa sekolah berdiri tahun 1877 di Kambaniru dan Melolo. Di pulau Rote pada tahun 1857, telah berdiri 18 sekolah.  Kebutuhan guru kala itu didatangkan dari Ambon, Provinsi Maluku. Banyak orang Rote kemudian dikirim bersekolah ke Ambon untuk menjadi guru, sehingga pada tahun 1884 telah terdapat guru-guru asli Rote. 

Fakta sejarah di atas diungkap dalam The Harvest of The Palm, catatan penelitian antropolog terkenal James. J. Fox seperti dikutip dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Nusa Tenggara Timur (1978;18-19). Pada tahun 1962, Fox, etnolog dari Australian National University tidak hanya mengkaji pentingnya pohon Lontar bagi kehidupan masyarakat pulau Rote dan Sabu, tetapi juga mengungkapkan banyak fakta menarik, temasuk dibidang pendidikan.

Sementara dikesempatan lain ketika sosoknya diprofilkan harian Kompas, Fox bahkan mengemukakan pada tahun 1775, atau 170 tahun sebelum Indonesia merdeka, sekolah pertama dalam bahasa Melayu bahkan telah didirikan di Pulau Rote, (Kompas; 2006). Catatan ini membuat NTT termasuk satu diantara wilayah di Indonesia  dengan sejarah pengembangan pendidikan tertua.

 Dalam perkembangannya, pendidikan di NTT, selain peran negara melalui sekolah negeri,  gereja ( Katolik dan Protestan) beserta entitasnya berperan besar dalam misi pengembangan pendidikan.   Pada 1947, dua tahun setelah kemerdekaan, Majelis Sinode Gereja Masehi Injil di Timor (GMIT) terbentuk, kemudian mendirikan Yayasan Usaha Pendidikan Kristen (Yupenkris) pada 1967 khusus untuk mengelola banyak sekolah yang ditinggalkan pemerintahan kolonial Belanda. 

Sementara di Flores, para misionaris dan rohaniwan Katolik merintis banyak seminari yang bertebaran dari Larantuka sampai Manggarai. Begitupun peran Yayasan Swastisari (Yaswari) yang menaungi sekolah-sekolah Katolik diberbagai jenjang.   Hal yang sama dilakukan oleh para da'i Islam dengan membuka banyak MI, MTs dan MA, misalnya di Ende, Flores Timur dan Alor. Tidak ketinggalan, inisiasi murni masyarakat juga telah menginspirasi lahirnya banyak sekolah swasta di berbagai tempat di NTT.

Bukti sejarah di atas mempertegas gambaran, bagaimana pendidikan di NTT dirintis dan dikelola dengan keterlibatan yang cukup masif dari, oleh, dan untuk masyarakat. Seiring perkembangan zaman, kontribusi masyarakat dalam memajukan sektor pendidikan di NTT, juga semakin beragam bentuknya. 

Sayangnya, disaat bersamaan kualitas pendidikan NTT juga merosot, misalnya dengan indikator rendahnya nilai UN secara nasional, minimnya fasilitas belajar dan masalah kualifikasi pendidik. Akan tetapi, ada sejumlah praktek positif (best practice) yang dijalankan  keluarga dan masyarakat  dalam mendukung pendidikan anak-anak di beberapa tempat di NTT. Tulisan ini ingin meneropong praktek demikian, yang luput dari perhatian publik dan publikasi media.     

Pertama, terobosan seorang kepala desa di pelosok Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, yang menjadikan anggaran dana desa (ADD) sebagai entry point investasi sumber daya manusia dibidang pendidikan. Caranya, di desa Riangduli, sejak tahun 2016, atas kesepakatan musyawarah desa, dibentuk kelompok belajar untuk para pelajar disemua jenjang dari SD , SMP dan SMA. Aktivitas belajar anak-anak dikelompok mereka berlangsung di bawah kontrol para orangtua/wali. 

Outcome yang disasar dari aktivitas belajar itu adalah, siswa berprestasi sepuluh besar di sekolah masing-masing akan diberikan dana stimulan dari ADD sebesar masing-masing Rp. 350.000/siswa setiap semester. Ama Lego,   Kepala Desa Riangduli, seorang Katolik, Desember 2017 lalu hadir langsung pada pembagian laporan hasil pendidikan semester ganjil di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs N) Witihama untuk memantau dan menyerahkan reward itu kepada pelajar berprestasi asal desanya. 

Selama tiga tahun program ini berjalan, jumlah siswa asal Riangduli di MTs N Witihama meningkat signifikan. Pada hal, jarak Desa Riangduli dengan Madrasah di pusat kecamatan mencapai 8km, dan para pelajar harus menempuhnya setiap hari dengan berjalan kaki serta menggunakan jasa ojek. 

Kedua, ADD juga menginspirasi terciptanya kerjasama di sektor pendidikan antara masyarakat Noebana di Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan sebuah SMP di desa itu . Kerjasama itu dalam bentuk intervensi program, yang mana pemerintah desa bertindak sebagai donatur bagi kegiatan lomba cerdas cermat siswa di SMPN Noebana. Staf guru sebagai organizer  kegiatan, sedangkan seluruh pembiayaan kegiatan dan hadiah menggunakan anggaran dana desa. Kegiatan ini akhirnya menjadi agenda rutin sekolah pada setiap akhir semester. 

Ketiga, sebagai anggota ekosistem pendidikan, orangtua/wali siswa juga  berpartisipasi mendukung pendidikan anak-anak, secara akademik maupun non akademik. Di Desa Kuanfatu, Kabupaten Timor Tengah Selatan, orang tua/wali menunjukan cara mereka mendukung anak-anak saat menghadapi Ujian Nasional di sebuah SMA setempat. 

Atas kesepakatan bersama, para orang tua dengan ikhlas menyumbang  pisang dan ubi kayu dari kebun mereka untuk dimasak dan disantap bersama siswa dan guru-guru selepas waktu ujian. Pada bagian ini, bukan soal apa yang diberikan para orang tua, tetapi  kekuatan nilai kearifan lokal sebagai perekat relasi antara mereka dengan sekolah. 

Kontribusi keluarga dan masyarakat dalam pengembangan pendidikan seperti ini merupakan berkah luar biasa, mengingat NTT sebagai sebuah komunitas, terbentuk di atas simpul perbedaan dan keragaman secara kultur, geografi, religi, etnis dan bahasa. Pendidikan oleh orang NTT mesti dijadikan sebagai exit point  dari kondisi kemiskinan berat yang dihadapi akibat kurangnya potensi sumber daya alam. Secara ekonomi, wilayah NTT memang tidak menguntungkan. Klaim ini bahkan telah disematkan para pedagang VOC pada abad ke 17. Bagi mereka, selain Cendana, alam NTT tidak menyediakan sumber daya yang prospektif.     

Maka kemudian munculah stigma, NTT merupakan daerah minus.   Tetapi, alam NTT yang berbukit, kering dan rawan bencana telah mendorong kecintaan masyarakatnya pada pendidikan.  "Jika memang ada ciri budaya yang umum di sebagian besar wilayah NTT,  pastilah ciri budaya itu adalah penghargaan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan kemauan untuk menggapainya di manapun berada," demikian James Fox menulis dibagian penutup artikelnya, Perspektif Pembangunan di NTT (Perspectives on Development in NTT). 

Menurutnya, NTT membutuhkan investasi besar di semua sektor ekonominya, dan investasi yang akan membuahkan hasil terbesar adalah komitmen semua pihak untuk meningkatkan pendidikan diberbagai jenjang (Laporan SMERU, 32;2009). Sang etnolog bahkan menganjurkan kepada warga NTT yang berada di NTT maupun dalam diaspora untuk mendorong pengembangan sumber daya manusia dengan mengembalikan budaya pendidikan. "Tidak bisa lain harus melalui pendidikan," ujarnya, (Kompas;2006).

Selain itu, satu pekerjaan rumah besar yang urgent saat ini bagi keluarga dan masyarakat NTT secara umum adalah, berpartisipasi aktif untuk melawan praktek perdagangan anak (child  trafficking) yang melibatkan banyak korban anak NTT usia sekolah. Data Migrant Care menunjukan pada tahun 2016 ada 49 kasus kematian TKW asal NTT di Malaysia, 2017 terdapat 63 kasus dan 2018 sudah ada 11 kasus. Sebagian besar korban justru diduga merupakan anak-anak yang dikirim dengan manipulasi dokumen identitas  kependudukan.     

Misalnya kasus terakhir pada Februari 2018 dengan korban atas nama Adelina Sau, 21 tahun asal Kabupaten Timor Tengah Selatan. Opini Wahyu Susilo dari Migrant Care di Koran Tempo 2 maret 2018 mengutip  Kementrian Ketenagakerjaan bahwa korban keluar masuk Malaysia sejak 2014, artinya Adelina masih di bawah umur saat pertama kali bekerja sebagai buruh.  Pada konteks ini, relasi antara pemerintah, sekolah, keluarga dan masyarakat harus diperkuat untuk memastikan anak-anak NTT usia sekolah tetap berada di bangku sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun