Mohon tunggu...
MN Aba Nuen
MN Aba Nuen Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pengajar pelosok yang jatuh cinta pada quotation "menulisalah, agar engkau dicatat peradaban," Surel:noyatokan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membangun Pendidikan NTT Secara Partisipatif

12 Desember 2018   14:55 Diperbarui: 12 Desember 2018   15:04 1831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama tiga tahun program ini berjalan, jumlah siswa asal Riangduli di MTs N Witihama meningkat signifikan. Pada hal, jarak Desa Riangduli dengan Madrasah di pusat kecamatan mencapai 8km, dan para pelajar harus menempuhnya setiap hari dengan berjalan kaki serta menggunakan jasa ojek. 

Kedua, ADD juga menginspirasi terciptanya kerjasama di sektor pendidikan antara masyarakat Noebana di Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan sebuah SMP di desa itu . Kerjasama itu dalam bentuk intervensi program, yang mana pemerintah desa bertindak sebagai donatur bagi kegiatan lomba cerdas cermat siswa di SMPN Noebana. Staf guru sebagai organizer  kegiatan, sedangkan seluruh pembiayaan kegiatan dan hadiah menggunakan anggaran dana desa. Kegiatan ini akhirnya menjadi agenda rutin sekolah pada setiap akhir semester. 

Ketiga, sebagai anggota ekosistem pendidikan, orangtua/wali siswa juga  berpartisipasi mendukung pendidikan anak-anak, secara akademik maupun non akademik. Di Desa Kuanfatu, Kabupaten Timor Tengah Selatan, orang tua/wali menunjukan cara mereka mendukung anak-anak saat menghadapi Ujian Nasional di sebuah SMA setempat. 

Atas kesepakatan bersama, para orang tua dengan ikhlas menyumbang  pisang dan ubi kayu dari kebun mereka untuk dimasak dan disantap bersama siswa dan guru-guru selepas waktu ujian. Pada bagian ini, bukan soal apa yang diberikan para orang tua, tetapi  kekuatan nilai kearifan lokal sebagai perekat relasi antara mereka dengan sekolah. 

Kontribusi keluarga dan masyarakat dalam pengembangan pendidikan seperti ini merupakan berkah luar biasa, mengingat NTT sebagai sebuah komunitas, terbentuk di atas simpul perbedaan dan keragaman secara kultur, geografi, religi, etnis dan bahasa. Pendidikan oleh orang NTT mesti dijadikan sebagai exit point  dari kondisi kemiskinan berat yang dihadapi akibat kurangnya potensi sumber daya alam. Secara ekonomi, wilayah NTT memang tidak menguntungkan. Klaim ini bahkan telah disematkan para pedagang VOC pada abad ke 17. Bagi mereka, selain Cendana, alam NTT tidak menyediakan sumber daya yang prospektif.     

Maka kemudian munculah stigma, NTT merupakan daerah minus.   Tetapi, alam NTT yang berbukit, kering dan rawan bencana telah mendorong kecintaan masyarakatnya pada pendidikan.  "Jika memang ada ciri budaya yang umum di sebagian besar wilayah NTT,  pastilah ciri budaya itu adalah penghargaan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan kemauan untuk menggapainya di manapun berada," demikian James Fox menulis dibagian penutup artikelnya, Perspektif Pembangunan di NTT (Perspectives on Development in NTT). 

Menurutnya, NTT membutuhkan investasi besar di semua sektor ekonominya, dan investasi yang akan membuahkan hasil terbesar adalah komitmen semua pihak untuk meningkatkan pendidikan diberbagai jenjang (Laporan SMERU, 32;2009). Sang etnolog bahkan menganjurkan kepada warga NTT yang berada di NTT maupun dalam diaspora untuk mendorong pengembangan sumber daya manusia dengan mengembalikan budaya pendidikan. "Tidak bisa lain harus melalui pendidikan," ujarnya, (Kompas;2006).

Selain itu, satu pekerjaan rumah besar yang urgent saat ini bagi keluarga dan masyarakat NTT secara umum adalah, berpartisipasi aktif untuk melawan praktek perdagangan anak (child  trafficking) yang melibatkan banyak korban anak NTT usia sekolah. Data Migrant Care menunjukan pada tahun 2016 ada 49 kasus kematian TKW asal NTT di Malaysia, 2017 terdapat 63 kasus dan 2018 sudah ada 11 kasus. Sebagian besar korban justru diduga merupakan anak-anak yang dikirim dengan manipulasi dokumen identitas  kependudukan.     

Misalnya kasus terakhir pada Februari 2018 dengan korban atas nama Adelina Sau, 21 tahun asal Kabupaten Timor Tengah Selatan. Opini Wahyu Susilo dari Migrant Care di Koran Tempo 2 maret 2018 mengutip  Kementrian Ketenagakerjaan bahwa korban keluar masuk Malaysia sejak 2014, artinya Adelina masih di bawah umur saat pertama kali bekerja sebagai buruh.  Pada konteks ini, relasi antara pemerintah, sekolah, keluarga dan masyarakat harus diperkuat untuk memastikan anak-anak NTT usia sekolah tetap berada di bangku sekolah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun