PUKUL tujuh pagi. Aku masih bekumbus dalam selimut. Badanku menggigil sejak semalam membuat aku terkapar di tempat tidur. Mataku terbuka sedikit, ketika adikku melemparkan selembar koran pagi.
“Sudah mulai lagi,” kata adikku yang baru kelas dua SMP itu.
“Apanya yang mulai lagi?” tanyaku masih malas-malas.
“Baca sendiri. Aku mau pergi...” sahutnya terus berlalu.
Huruf-huruf besar bercetak tebal memenuhi sebagian halaman muka. Tubuhku makin gemetar ketika membaca nama salah satu tempat hiburan di kota ini. Di situ aku menurunkan penumpangku yang terakhir tadi malam.
Malam Minggu yang dingin. Pukul 23.15, hujan masih turun rintik-rintik. Aku menghentikan taksiku di depan seseorang. Air hujan yang tergenang di pinggir jalan Sudirman membersit ke betisnya. Tidak heran bagiku bila seorang wanita muda pada saat begini memanggilku dari tepi jalan. Ini sebuah kota Provinsi baru. Orang dapat bekerja setiap waktu. Banyak yang sengaja mengambil dinas malam, karena paginya dia bisa kuliah atau melakukan aktivitas lain.
“Antar aku ke...” dia menyebutkan nama tempat yang sangat terkenal di kota ini.
Aku mengangguk sambil tersenyum. Sudah kuduga dari semula. Dia pasti akan ke tempat itu. Orang-orang bekopiah putih menyebutnya ‘tempat maksiat’. Orang-orang dahaga tapi berkantong tebal menyebutnya ‘nirwana’. Aku sendiri menamakannya ‘baby box’, karena setiap ke sana aku diperlakukan seperti ibu memperlakukan adikku sewaktu baru berumur tiga bulan.
Sejak masih di ruang depan, aku disuapi minuman berbusa oleh seorang gadis cantik, seperti ibu menyuapi botol dot pada adikku. Saat mataku mulai mengantuk dan aku ingin kencing, setengah digendong aku diantar ke sebuah kamar yang harum dan melegakan pikiran. Aku tertidur setelah menikmati sebuah dongeng yang melambungkan imajinasiku ke negeri kayangan. Dan menyeberangkan aku ke tengah samudera nan basah. Sampai pada saat aku perlu mandi, aku dimandikan oleh seorang ‘ibu’ muda penuh dedikasi dengan sabun wangi dan sentuhan-sentuhan jemari lembut di sekujur tubuhku. Semua ini mengingatkan aku pada ibuku, pada masa kecilku. Mungkin inilah sebabnya banyak pria yang sudah berusia lima puluhan tahun pun masih suka ke tempat itu. Sekadar untuk mengingat masa kecil barangkali. Bernostalgia!
“Anda biasa ke tempat itu?” tanyanya mengagetkan aku.
“Biasa. Eh, biasa lewat,” jawabku gugup. “Maksudku, aku sering mengantarkan teman-teman Mbak ke sana...”