Mohon tunggu...
Ganda M Sihite
Ganda M Sihite Mohon Tunggu... Lainnya - Ingat lah pencipta mu dimasa mudamu

Research Human Right, Peace and Conflict Resolution, National Security

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

May Day, Omnibus Law di Tengah Huru-hara Pandemi Covid-19

10 Mei 2020   09:49 Diperbarui: 10 Mei 2020   09:51 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia sedang mengalami masa masa sulit dan kritis akibat Wabah Covid19 yang sudah berlangsung lebih dari 2 bulan. Negara negara didunia pun menerapkan berbagai kebijakan untuk memutus rantai penularan covid19. Seperti halnya vietnam yang melakukan kebijakan lockdwon dan hasilnya tidak ada satupun warganya yang terjangkit. 

Disisi lain kebijakan yang sama yaitu lockdwon diterapkan di India, yang ada malah sebaliknya angka kematian meningkat bukan karena positif covid19, melainkan terjadinya kelaparan dimana dimana. Kejadian di India tersebut disebabkan karena pemerintahan nya tidak memperhatikan kebutuhan pangan masyarakatya.

Tak ada bedanya dengan negara Indonesia, yang juga keteteran oleh dampak Covid19. Bisa dikata pencegahan yang terkesan lambat dan diawal terlalu menyombongkan diri, akibatnya menjadi keblinger dan kebingungan mencari solusi. Himbauan untuk Social Distancing dan Pyschal Distancing diberlakukan tapi belum semua masyarakat menuruti. 

Kemudian karena melihat angka kematian dan positif semakin bertambah, kebijakan karantina kesehatan,karantina wilayah, darurat sipil hingga adanya wacana lockdwon menjadi polemik diruang ruang publik. 

Hingga akhirnya pemberlakuan kebijakan PSBB sebagai langkah untuk mencegah dan memutus rantai penularan Covid 19. Melihat dampak yang terjadi, semua aspek berimbas baik itu sosial, budaya, ekonomi,politik,pendidikan dan lain sebagainya. 

Terlebih sangat berdampak pada kondisi ekonomi masyarakat menengah kebawah berupa kebutuhan pangan dan kebutuhan sehari hari masyarakat Indonesia. Apalagi yang mata pencahariannya memang tak bisa dirumah seperti petani,buruh pabrik,buruh tani, kuli bangunan, tukang becak, dan pekerja informal lainnya yang setiap harinya berada diluar.

Di sisi lain ditengah pandemi ini,masih adanya perusahaan perusahaan yang mempekerjakan buruh, apalagi didaerah yang sudah memberlakukan kebijakan PSBB.

Berbicara akan persoalan buruh tidak akan ada habis habisnya,selalu saja ada ketidakadilan dan pemenuhan hak hak yang belum terealisasi oleh perusahaan maupun pemerintah. Mengingat akan persoalan yang belum usai tersebut maka setiap tanggal 1 mei ditetapkan sebagai hari Buruh Internasional atay May Day yang dimana sebagai momentum hari kebebasan para buruh didunia untuk menyuarakan segala persoalan akan hak haknya.

Menurut sejarahnya, saat itu pada 1 Mei 1886, ada sekitar 350 ribu buruh mogok massal di beberapa wilayah di Amerika Serikat (AS). Mereka diorganisir oleh Federasi Buruh Amerika. Kaum pekerja menuntut perbaikan kesejahteraan dan jam kerja 8 jam sehari. 

Pada saat itu, buruh dipaksa bekerja hingga 15 jam sehari. Pada 3 Mei 1886, pemerintah mengirim sejumlah polisi untuk meredam mogok kerja di pabrik McCormick. Polisi menembaki para buruh yang melakukan aksi mogok. 

Empat orang tewas, puluhan luka-luka. Kalangan buruh pun marah dan mereka melakukan aksi pada 4 Mei di lapangan Haymart. Aksi yang diikuti puluhan ribu buruh ini awalnya berjalan damai. Namun tiba-tiba sebuah bom meledak. Tidak diketahui siapa yang meledakkan bom. Seorang polisi tewas dan belasan terluka. Polisi membalas dengan menembaki para buruh.

Karena kejadian ini, pimpinan buruh dijatuhi hukuman gantung. Masyarakat marah atas hasil hasil pengadilan. Mereka mendesak pemerintah untuk membebaskan para aktivis buruh yang ditahan. Aktivis buruh pun dibebaskan. Sejak saat itulah diperingati sebagai Hari Buruh.(sumber)

Di Indonesia setiap tanggal 1 mei atau May Day biasanya selalu dirayakan oleh buruh di berbagai kota di Indonesia dengan aksi Unjuk Rasa. Dengan berbagai tuntutan akan hak hak buruh yang harus dipenuhi dan kesejahteraan buruh. 

Setiap May Day tuntutan yang disuarakan selalu terkait dengan penghapusan Outsorching, Upah dan Kesejahteraan Buruh melalui hak hak nya tersebut. Dan disisi lain Undang Undang Ketenagakerjaan pun belum sepenuhnya menjawab akan persoalan buruh tersebut.

Hal itu karena beberapa pasal masih diatur terkait dnegan pemberlakuan outsorching. Dan realita nya hak hak buruh yang ada pada UU tersebut masih jauh dari yang diharapkan, dan terkesan buruh sampai saat ini masih tertindas.

Belum selesai persoalan buruh akan kesejahteraannya sebagaimana diatur dalam UU ketenagakerjaan, kini buruh kembali dihadapkan pada realita regulasi/aturan yang dibuat oleh pemerintah yaitu Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Regulasi yang dihadirkan dengan Dalih untuk meningkatkan perekonomian bangsa dengan kemudahan investasi, tapi pemerintah malah menabrak aturan yang diatasnya dan sendi sendi kehidupan masyarakat.

Mengutip pernyataan dari Prof Hariadi, Kartodihardjo,Pakar Kehutanan IPB mengatakan bahwa " Dalam RUU Cipta Kerja, kemudahan investasi diasumsikan sebagai Solusi sambil melanggengkan asbak tetap sebagai asbak. 

Solusi yang tidak berhubungan dengan masalah yang dihadapi masyarakat". disisi lain Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) lebih mengedepankan kepentingan investor. Ini akan membuat petani menjadi buruh di industri yang dikembangkan perusahaan besar.

Selain itu dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja pasal pasal yang mengatur terkait ketenagakerjaan malah semakin menyiksa hak hak para buruh dan lebih buruk aturannya daripada UU ketenagakerjaan. 

Dan berbagai pegiat atau aktivis yang menyangkut dalam omnibus law ini getol menolak dan meminta pemerintah untuk tidak melanjutkan nya. Karena dirasa dampak buruk yang lebih besar diprediksi akan terjadi setelah bencana kemanusian ini

Ditengah huru hara pandemi covid19 ini, bukan nya fokus mengatasi bencana kemanusiaan, DPR RI malah melanjutkan pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja. Dengan sikap arogansi DPR RI ditengah pandemi ini membuat berbagai pihak geram terutama para buruh dan masyarakat menengah lainnya yang nantinya akan terkena imbas nya.

Malangnya ditengah pandemi ini keberpihakan pemerintah terhadap nasib kaum buruh semakin jauh dari yang diharapkan. Keberpihakannya lebih kepada para pengusaha atau kepada kapitalis yang akan membuka kran investasi sebesar besarya dengan mengorbankan nasib buruh dan rakyat.

Momentum may day ditengah pandemi ini pun menjadi kekwatiran bagi para buruh, disebabkan karena hari kebebasan untuk menyuarakan persoalan akan hak hak dan kesejahteraannya terhambat. 

Namun jika diperhatikan ditengah huru hara pandemi covid 19 ini masih ada nya keinginan para buruh untuk melaksanakan unjuk rasa pada may day ini, Seperti halnya pada Kelompok buruh di Kota Tangerang . 

Hal itu dijelaskan oleh Koordinator Wilayah Banten Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Maman Nuriman yang mengatakan, bahwa aksi tersebut tetap terselenggara di tengah pandemi Covid-19 dan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Namun dalam aksi yang mereka lakukan tidak dalam aksi unjuk rasa dalam bentuk kerumunan tetapi massa hanya di parbik-pabrik yang ada dan akan membuat barisan menjaga jarak semeter sampai dua meter, kemudian peserta aksi juga diwajibkan menggunakan masker dan jas hujan sebagai bentuk perlindungan diri dan rencananya akan berlangsung singkat.

Disisi lain, dalam momentum may day ditengah pandemi ini dirayakan dengan bakti sosial, seperti yang dilakukan oleh Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) yang terdiri dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) itu akan memperingati May Day dalam bentuk bhakti sosial dengan memberikan baju Alat Pelindung Diri (APD) tenaga medis lengkap ke rumah sakit dan klinik.(sumber)

Mengingat Huru hara pandemi ini belum juga berakhir, apabila pada momentum may day ini para buruh tetap melaksanakan aksi unjuk rasa, dikwatirkan akan menambah sederetan angka terinfeksi positif Covid19.

Hal ini tentu menjadi dilema bagi para buruh, disamping persoalan buruh yang belum juga usai, kini omnibus law hadir seakan menghunuskan persoalan baru terhadap

para buruh. Dan kini ditengah pandemi ini, juga berdampak pada persoalan buruh seperti adanya PHK, upah yang tidak dibayar akibat menurunnya produksi perusahaan, jaminan dan perlindungan buruh oleh perusahaan yang masih beraktivitas walaupun berada di daerah yang melaksanakan Kebijakan PSBB.

Maka untuk itu perusahaan dan pemerintah harus peka akan persoalan nasib buruh ditengah pandemi covid19 ini.

Berbagai himbauan yang dilontarkan oleh pemerintah untuk memutus rantai penularan covid19 tentunya harus dibarengi dengan kebijakan yang berpihak kepada nasib buruh dan rakyat yang terimbas oleh covid19. 

Jika keberpihakan itu masih jauh dari nasib buruh dan rakyat, niscaya wabah covid19 masih akan menghantui Republik Indonesia dari berbagai aspek dan jalan panjang pandemi akan semakin panjang. 

Selain itu akan menimbulkan adanya gejolak sosial yang lebih besar dan berdampak buruk terhadap semua kalangan tanpa trkecuali jika pemerintah masih sibuk mengurusi kepentingan pribadi dan kelompoknya yang haus ditengah bencana kemanusiaan ini. Perlu kerjasama yang baik agar huru hara pandemo covid19 berakhir dalam waktu yang dekat, dan kembali normal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun