Mohon tunggu...
Mac Arif Hamdanas
Mac Arif Hamdanas Mohon Tunggu... lainnya -

I am just me. The REAL me. macariflc@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Padamu, Kutitip Ibu [kota] Ku

23 Desember 2017   19:01 Diperbarui: 23 Desember 2017   19:10 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ibu (kota)-ku gampang terbujuk rayu.

Jatuh ia ke tangan lelaki beragama.

Berlebel "pribumi" pula katanya.

Memang tetap beribu aku, namun bagai berayah tiri adanya.

Manis-manis ia beretorika, disediakan modal usaha hingga dicarikan pembelinya, pada akhirnya bancakan juga dia dari uang kita.

Keberpihakan kata kuncinya. Namun pada siapa ia berpihak? Pada tikus dan kecoa senilai 266 juta rupiah? Pada kolam pancur yang memancurkan kehidupan 620 juta? Pada perusahaan susu boss-nya? Pada preman Tanah Abang yang berkuasa?

Transparan katanya. Ruang media dibatasi geraknya. Bahkan jendela balai kota yang jelas hak kita, ditutup tirai agar tak ada yang mengintip ke dalamnya. Rapat-rapat yang dulunya terbuka jadi hilang di dunia maya? Atau... transparan adalah tidak hendak menjelaskan rincian anggaran belanja?

Ibu (kota)-ku hanya ajang uji coba. Pada mereka yang buta hati dan miskin prestasi birokrasi. Dulu, katanya solusi harus dari gubernurnya. Kini solusi ada di kantor kelurahan, wali kota hingga SKPDnya bahkan pada preman pasar Tanah Abang rupanya. "Gubernurnya banyak urusan, jadi mohon jangan bebani lagi."

Tentang banjir bagaimana? Katanya laporannya masih saja masalah, masalah, masalah, dan masalah. Solusi? Nanti -- nanti -- nanti -- dan NANTI.

Sekarang bagusnya kita cari-cari saja siapa kambing hitamnya.

Karena ayah tiri rupanya, segala sesuatu jadi salah kita. Macet jalanan karena pejalan kaki. Karena kita juga. Anggaran bengkak juga salah ayah yang lama.

Bila kita kritisi kinerjanya, katanya kita belum move ondari yang lama. Dengar ya ayah baru Ibu (kota)-ku, kami kritisi karena kami butuh solusi. Bukan nasehat "sabar ya" dan "move on".

Ibu (kota)-ku adalah sentral. Miniature Indonesia yang tergambar. Katanya kau gubernur yang merangkul segala. Tapi ternyata kau hanya wayang politik dan untuk pribumi saja.

Pandai lisanmu mencelah. Apa-apa salah dia. Namun hingga kini kerja nyatamu juga belum ada!

Bila benar kini saatnya pribumi menjadi tuan di rumah sendiri, baiknya dirimu hengkang dan pergi saja ke negeri Onta sana. Bukan di Tanah Nusantara yang dibangun dari bineka.

Bila ada niat baikmu untuk BERBENAH, sungguh bekerja untuk rayat bukan melunasi hutang politik semata, maka kutitip ibu (kota) negeri-ku padamu.  

Sekali lagi, kutitip Ibu (kota) negeri-ku padamu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun