Tulisan ini sebelumnya telah pernah dipublis di ciputatbergerak.com , namun dipublis kembali dengan data dan opini terbaru.
SEBELUM membahas lebih dalam, penulis hendak memulai dengan kutipan Harold Lasswell, seorang pakar ternama yang menyumbangkan banyak ilmu di bidang komunikasi. Kutipan berikut berkaitan dengan bagaimana suatu nilai ideologi dapat bertahan melalui komunikasi:
Sebagai ancaman paling serius terhadap komunikasi bagi masyarakat secara menyeluruh berhubungan dengan nilai-nilai kekuasaan, kesejahteraan, dan kehormatan. Mungkin contoh yang paling mencolok dari penyimpangan kekuasaan terjadi ketika isi dari komunikasi sengaja diubah agar sesuai dengan ideologi atau lawan ideologi. (James W.Tangkard, 2001)
Kutipan tersebut memperlihatkan pengaruh komunikasi dalam mempertahankan suatu ideologi. Siapa yang menguasai komunikasi, dialah penguasa dunia. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi pernyataan tersebut ialah benar adanya. Mereka yang berkuasa akan komunikasi, mereka jugalah yang akan membentuk informasi itu sendiri. Informasi tersebut akan menjadi suatu ideologi yang mampu menciptakan berbagai macam tatanan dunia.
Secara historisitas, manusia telah melalui beberapa tahapan dalam perkembangan komunikasi. Pertama, komunikasi retorika, yakni komunikasi dilakukan dua arah secara langsung di hadapan publik namun hanya dalam cakupan waktu dan wilayah tertentu.
Kedua, komunikasi pasca revolusi industri, ditandai dengan munculnya berbagai teknologi informasi, berupa koran (komunikasi satu arah berupa teks dan gambar, hanya pada periode tertentu) , radio (komunikasi satu arah, hanya audio tapi bisa menembus ruang dan waktu), dan televisi (komunikasi satu arah, bervisual, audio, menembus ruang dan waktu).
Ketiga, komunikasi virtual atau komunikasi online (komunikasi banyak arah, menembus ruang dan waktu, tidak dibatasi periode, bisa dilakukan oleh siapa saja).
Periode ketiga ialah periode yang sedang dan akan kita lalui. Komunikasi di era ini memiliki ruang tersendiri yang mampu menembus ruang dan waktu tanpa batas, yakni Cyberspace. Menurut Benedikt (1991), mengutip pernyatan William Gibson pada novelnya yang berjudul Neuromancer dalam Werner J.Severin (2001),
“Cyberspace adalah realita yang terhubung secara global, didukung computer, berakses computer, multidimensi, srtifisial, atau virtual. Dalam realita ini, di mana setiap computer adalah sebuah jendela, terlihat atau terdengar objek-objek yang bukan bersifat fisik dan bukan representasi objek-obejek fisik, namun lebih merupakan gaya, karakter, dan aksi pembuatan data, pembuatan informasi murni.”
Telihat adanya dunia baru yang semakin digandrungi di era saat ini. Termasuk Indonesia yang merupakan salah satu negeri yang memiliki pengaruh cukup tinggi dalam perkembangan komunikasi di era virtual.
Menurut hasil hasil riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJI), “Hingga 2014 terdapat 88,1 juta orang yang menggunakan internet, dari 252,4 juta jiwa penduduk Indonesia menghasilkan penetrasi internet sebesar 34,9 %. Dengan penyebaran dari terbesar hingga terkecil Jawa-Bali 52,0 juta pengguna, Sumatera 18,6 juta pengguna, Sulawesi 7,3 juta pengguna, Nusa tenggara-Papua-Maluku 5,9 juta pengguna, dan Kalimantan 4,2 juta pengguna. Dari keseluruhan keseluruhan provinsi Jawa Barat menempati posisi paling atas sebesar 16,4 juta, disusul Jawa Timur 12,1 juta, dan jawa tengah 10,7 juta pengguna”.
Pada tahun 2016 terjadi peningkatan yang cukup tinggi, dari 256,2 juta jiwa penduduk menghasilkan tingkat penetrasi internet sebesar 51, 8 %. Dengan penyebaran Pulau Jawa 65%, Sumatera 15,7 %, Bali & Nusa 4,7 %, Kalimantan 5,8 %, Sulawesi 6.3 %, Maluku dan Papua 2.5 %.
Hal menarik lagi dari perkembangan cyberspace di Indonesia ialah tingginya intensitas penduduk Indonesia yang menggunakan jejaring media sosial, dalam hal ini seperti Facebook dan Twitter. Berikut 10 negara pengguna Facebook tertinggi pada mei 2014 dan pengguna Twitter tertinggi se-Asia Pasifik menurut badan pusat statistik marketing online (Statista):
Indonesia merupakan negara yang mengalami perkembangan grafik yang tinggi dalam penggunaan internet. Tingginya grafik ini mengakibatkan peluang dan ancaman bagi Indonesia, termasuk eksistensi Islam Nusantara yang mampu menghadirkan corak Islam yang moderat dan mampu berakulturasi demi menjaga kekokohan NKRI.
Dari hasil diskusi organisasi PMII cabang Ciputat dalam salah satu rangkaian materi Pelatihan Kader Lanjut di Puspitek, terlihat pemaparan yang mencengangkan dari salah satu pemateri. “Semua kategori informasi SEO (Search Engine Optimization) di Google berkaitan dengan keislaman di langit Indonesia peringkat halaman pertama yakni media yang beraliran Wahabi. Bisa diketik pada mesin google “tau” maka akan keluar tausiyah islam pada peringkat pertama, ketika dibuka maka urutan halaman pertama tidak satupun bercorak Islam Nusantara” (Mas Huday, Pengamat Digital Media NU).
Fakta tersebut memberi tamparan yang luar biasa bagi yang menjagai Aswaja dan Pancasila dalam mempertahankan NKRI. Maka tidak bisa dipungkiri belakangan ini gerakan radikalisme makin marak muncul. Salah satu penyebab yakni kalangan Nahdliyin tidak mampu menyerang balik arus informasi yang begitu pesatnya di era virtual. Maka bisa diprediksi pada tahun 2030, kalangan komunitas virtual akan menguasai laju persebaran informasi, jika kalangan Islam Nusantara yang moderat baik NU dan Muhammadiyah tidak dapat meng-upgrade diri sudah dipastikan kita akan kehilangan jatidiri.
Terlebih Muhammadiyah sebagai ormas Islam berkemajuan harus mampu membendung pemahanam yang memecah belah NKRI, Hoax, dan radikalisme. Jangan hanya terfokus pada memajukan umat dalam bentuk fisik saja. Namun kepunahan ini terjadi jika organisasi Islam moderat yang selalu menjaga NKRI, seperti NU dan Muhammadiyah tidak melakukan pembenahan diri dalam pertempuran di dunia maya.Ormas Islam semacam ini harus mampu mengimbangi masuknya Ideologi transnasional yang mencoba merusak NKRI.
Rabu, 28 Desember 2016 ormas ini mulai merespon dan menabuhkan genderang perang dengan mengadakan Kopdar Netizen NU. Diharapkan dengan pertemuan ini tidak hanya sebagai ajang silaturahim dan ngopi semata. Namun harus mampu menciptakan Roadmap apa saja yang akan dikeluarkan kedepannya. Harus mampu menciptakan domino efek yang luar biasa baik dari bawah maupun atas. karena nyatanya untuk saat ini masih tertinggal jauh, bisa kita lihat dari kekuatan mereka menguasai SEO (search engine optimization) Google, konten share sosial media dan messenger, menciptakan akun viral, dll.
Penulis adalah mahasiswa FISIP UIN Jakarta & Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Ciputat
Catatan:
[1] Werner J.Severin Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, (Jakarta: Kencana, 2014) hal.380
[2] Parlindaungan Marius, Profil Pengguna Internet 2014 (Jakarta:APJI, 2015) hal. 20-21
[3] Dalam penelitian Statista tahun 2014 http://www.statista.com/statistics/268136/top-15-countries-based-on-number-of-facebook-users/ diakses pada 23 November 2015
[4] Werner J.Severin, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, (Jakarta: Kencana, 2014) hal.447
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI