Mohon tunggu...
M Abd Rahim
M Abd Rahim Mohon Tunggu... Guru - Guru/Dai
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

GPAI SMK PGRI 1 SURABAYA, Ingin terus belajar dan memberi manfaat orang banyak (Khoirunnas Anfa'uhum Linnas)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cermin Masa Depan

6 Februari 2023   10:00 Diperbarui: 6 Februari 2023   10:39 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cermin Masa Depan

Oleh: M. Abd. Rahim

***

"Lakukanlah kebaikan setiap hari, karena hari ini adalah cermin masa depan" Kata Pak Alif waktu itu dan hari ini aku mulai menyadari bahwa ketika aku melakukan kebaikan atau kejahatan akan kembali pada diriku sendiri.

Belakangan ini, Allah memberi hidayah kepadaku. Kesadaran untuk melakukan kebaikan dan menjauhi segala kejahatan dan kemaksiatan. Maka semua perbuatan ada pertanggungjawabannya di dunia ini dan di hari akhir nanti.

"Sudah kutemukan masalahku, hingga menyebabkan aku dibenci oleh Ibu dan guruku." Hatiku mencoba bicara

Baca juga: Cermin

Setelah kumerenung, kebiasaan-kebiasaan yang aku lakukan adalah merusak jatidiriku, keluargaku dan merusak masa depanku. Aku adalah siswa kelas XII dan aku salah satu siswa yang sering tidak masuk sekolah, apalagi di liburan semester ganjil ini membuatku kemana-kemana. Bagaikan buih di lautan yang mengikuti teman-teman mengarah ke tempat-tempat tanpa ada tujuan.

Waktu itu duduk bersama Rio, Arya, dan Nova menikmati suasana malam. Aku duduk di samping Rio, dia menawariku beberapa cangkir minuman. Atas nama persahabatan kumeminumnya pertama kumeraakan aneh tapi lama-lama kumerasakan kenikmatan.

"Minumlah, hidupmu akan terasa indah. Segala beban hidupmu akan terobati dengan minuman ini!" Temanku mengajakku mengkonsumsi barang haram itu. Beberapa jam kemudian, situasi ramai dan salah satu teman menggandeng tanganku. Namun, kusadari setelah kuterbangun tiba-tiba sudah berada di kantor kepolisian.

"Nak Tejo kau dipenjara selama 4 tahun." Kata ibuku

"Selama 4 tahun itu kamu tak bisa lebaran, makan bersama, canda, tawa bersama keluarga. Itu kesalahanmu karena mencoba mengkonsumsi Narkoba, dan di rotan inilah kesalahanmu yang harus kau tebus."

Aku merasa kasihan pada ibuku, walau dia jarang bertemu denganku karena sibuk kerja. Apalagi ayah, yang kerja di luar pulau yang pulang satu tahun sekali. Ketika aku sekolah ibu kerja dan pulang sekolah ibu masih kerja. Ketika ibu di rumah aku main bersama teman.

Tejo merasa bukan seperti anak keci lagi, yang harus di kekang di rumah. Dia merasa sudah dewasa, apapun keputusan ditangan dia. Ketika ibunya menasihati tak masuk dalam hati, masuk di telinga kanan keluar lewat telinga sebelah kiri.

Namun hari itu, ia berbeda. Ketika ibunya berkunjung kepadanya dan menyuapinya beberapa sendok nasi.

"Semoga umurku panjang, bisa membiayai sekolahmu hingga perguruan tinggi," katanya.

Aku meneteskan air mata, sambil mengunyah makanan yang diberi ibu. Nasi yang begitu lembut terasa kasar seperti batu yang lama kuhancurkan. Makanan kutelan pelan-pelan sambil meresapi nasibku, karena sulit untuk dinasihati.

Pak Alif wali kelasku, juga sering menasihatiku agar aku terus masuk sekolah dan disiplin mengerjakan tugas. Namun ku tidak menghiraukannya, dan melupakan nasihatnya sampai aku pergi berkelana menikmati masa muda. Dan akhirnya kesalahan-kesalahanku menimpaku hingga aku menikmati jeruji besi ini selama 4 tahun.

"Kini hilanglah masa mudaku, masa pendidikakanku terjerat oleh masalahku."

Tejo telah dikeluarkan dari sekolah, Ibunya tak mampu menutupi aib keluarganya. Masa depan Tejo hilang sirna, karena mempunyai catatan hitam di kepolisian. Mau minta SKCK untuk daftar kerja pasti tidak bisa, karena kesalahannya sudah masuk dalam database kepolisian.

"Ibu, maafkan aku, maafkan kesalahanku."

Ibuku menatap wajahku

"Kau sudah melakukan kesalahan-kesalahan yang fatal, terus bagaimana cita-citamu yang ingin sekolah di perguruan tinggi, ijazah saja tidak punya!" Ibuku mulai meneteskan air mata

"Andai saja waktu bisa berputar kembali, aku akan berusaha menghapus kesalahan-kesalahanku dan aku akan berusaha taat pada orang tua dan guru." Hatiku mulai menasihatiku 

Namun cermin masa depan sudah pecah berkeping-keping, tak bisa dikembalikan lagi seperti semula.

***

Mojokerto, 06 Januari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun