Aku merasa kasihan pada ibuku, walau dia jarang bertemu denganku karena sibuk kerja. Apalagi ayah, yang kerja di luar pulau yang pulang satu tahun sekali. Ketika aku sekolah ibu kerja dan pulang sekolah ibu masih kerja. Ketika ibu di rumah aku main bersama teman.
Tejo merasa bukan seperti anak keci lagi, yang harus di kekang di rumah. Dia merasa sudah dewasa, apapun keputusan ditangan dia. Ketika ibunya menasihati tak masuk dalam hati, masuk di telinga kanan keluar lewat telinga sebelah kiri.
Namun hari itu, ia berbeda. Ketika ibunya berkunjung kepadanya dan menyuapinya beberapa sendok nasi.
"Semoga umurku panjang, bisa membiayai sekolahmu hingga perguruan tinggi," katanya.
Aku meneteskan air mata, sambil mengunyah makanan yang diberi ibu. Nasi yang begitu lembut terasa kasar seperti batu yang lama kuhancurkan. Makanan kutelan pelan-pelan sambil meresapi nasibku, karena sulit untuk dinasihati.
Pak Alif wali kelasku, juga sering menasihatiku agar aku terus masuk sekolah dan disiplin mengerjakan tugas. Namun ku tidak menghiraukannya, dan melupakan nasihatnya sampai aku pergi berkelana menikmati masa muda. Dan akhirnya kesalahan-kesalahanku menimpaku hingga aku menikmati jeruji besi ini selama 4 tahun.
"Kini hilanglah masa mudaku, masa pendidikakanku terjerat oleh masalahku."
Tejo telah dikeluarkan dari sekolah, Ibunya tak mampu menutupi aib keluarganya. Masa depan Tejo hilang sirna, karena mempunyai catatan hitam di kepolisian. Mau minta SKCK untuk daftar kerja pasti tidak bisa, karena kesalahannya sudah masuk dalam database kepolisian.
"Ibu, maafkan aku, maafkan kesalahanku."
Ibuku menatap wajahku
"Kau sudah melakukan kesalahan-kesalahan yang fatal, terus bagaimana cita-citamu yang ingin sekolah di perguruan tinggi, ijazah saja tidak punya!" Ibuku mulai meneteskan air mata