Bertemu di Warung Kelontong
Oleh: M. Abd. Rahim
***
Biarlah sinar mentari selalu membangunkan mimpi, dan biarlah cahaya bulan memberi keteduhan dan kedamaian. Gelapnya malam menyimpan angin yang halus membuatku tidur terlelap. Bisikan lembut membangunkan diriku di sepertiga malam. Â
"Dit, bangun. Antar ibu ke kamar mandi!"
"Injih Bu" Jawabku
Seperti biasa, aku dan ibu melaksanakan salat tahajud, hajat dan salat sunah lainnya. Berusaha ibadah seindah-indahnya, dan menangis atas segala dosa. Setelah salat dan membaca ayat suci ibu tidak seperti biasanya dia diam termenung.Â
"Ibu kenapa?" Tanyaku, ibu masih terdiam
"Apakah ibu bahagia di rumah baru ini?"
"Bahagia Nak!"Â
"Dit apakah kau merasakan kemarahan dari Mas Kris, setelah sepedahnya rusak kamu pakai sekolah kemarin?"
Ketika pulang doa bersama di sekolah Aku kurang hati-hati, atau telah memikirkan persoalan antara hubunganku dengan Irine. Tidak fokus nyetir, ada mobil di depanku berhenti mendadak akhirnya kutabrak juga. Aku sedikit terluka, dadaku sesak karena pantulan motor.
"Njih Bu, Aku sudah minta maaf pada mas Kris. Tapi dia masih belum menerima kesalahanku."
"Aku juga bingung, masalah biaya perbaikan sepeda di tempat servis, hari ini katanya sudah bisa diambil. Aku juga sudah izin Pak Sugi, tidak bekerja sampai ujian akhir semester selesai. Uang dari mana ya bu?"
Bekerja di Pak Sugi, sehari diberi 10.000 dan akhir bulan biasanya Aku menerima uang yang lebih untuk membayar SPP. Bisnis loundry ibuku hasilnya dipegang oleh bapak sambungku. Ibuku biasanya menerima dengan tangan terbuka, tapi kejadian kemarin merubah lembutnya hati bapakku. Ibu ingin meminta untuk biaya sepeda motor, tapi  dia takut dimarahin.Â
"Aku coba hubungi Irine ya bu, siapa tahu bisa membantu!"Â
"Iya silahkan nak"
"Rin nanti bisa jemput Aku di warung Kelontong dekat rumahku?" Aku coba mengubunginya lewat WA
Di sepertiga malam yang sunyi, orang-orang semua berteman bantal dan guling serta selimut yang hangat menutup rapat pada semua tubuh. Aku bangun beribadah dan berdoa, mendoakan semuanya. Mendoakan mas Kris, Bapak, semoga hatinya kembali lembut. Juga sang pujaan hati tak lupa kudoakan. Semoga bisa kembali seperti semula, "Ya Allah Engakaulah yang membolak balikan hati. Semoga Engkau memberi yang terbaik buat kami." Doaku dalam hati.
***
Pagi yang indah, pagi yang cerah sudah memberi senyuman pada dunia. Aku duduk di kursi depan menunggu Irine, terlihat dari jendela bunga-bunga mekar, dan mencium bau bunga-bunga di pekarangan rumah harum mewangi. Terlihat di sana para kumbang terbang ke sana kemari, di susul kupu-kupu yang warna warni menciumi bunga-bunga.
"Mas Radit aku sudah di depan warung kelontong"
"Oke, Aku kesana?"
Sampai di sana, kumelihat Irine memakai jaket hitam pemberianku. Jaket itu kubeli dari hasil jerih payahku saat bekerja di warung pak Sugi. Walaupun tidak terlalu mahal, pantas dan cocok dikenakan olehnya, menambah manis paras wajahnya.
Aku menyambutnya dengan penuh ketenangan, dan mengajaknya mampir di warung kelontong. Walaupun hanya sebentar menikmati gorengan dan minum teh hangat.
"Maaf Rin, ada yang ingin aku omongin!" Kataku sambil mempersilahkan dia duduk
"Ya, ada apa mas, Aku sedang kesulitan. Apa kamu mau membantuku?"
Aku cerita semua yang terjadi padaku dan keluaraku. "Kamu tidak kenapa-kenapa mas?"
"Aku sehat, hanya dadaku sedikit sesak?"Â
"Apakah sudah periksa ke dokter mas?"
"Belum dan tidak perlu" Aku menutupi kekuranganku
"Mas seharusnya kamu periksa, takut terjadi hal-hal yang tidak kuinginkan"
Masalahku yang pertama, aku sepeda masku bisa dipakai seperti semula. Semoga dengan kembalinya sepedahnya mas Kris dia berubah hatinya, dan keluargaku baik sedia kala.
"Ini mas tehnya!" kata Tante Tia
"Rin, mau sarapan apa? ada menu apa saja Te pagi ini?" Tanyaku
"Ada Nasi Goreng, Nasi Geprek, Nasi Krawu mas!"
"Nasi Krawu saja Te!" Kata Irine
"Aku Geprek ya!"
Di warung klontong, banyak sekali yang dijual. Disamping tersedia makanan ringan, juga tersedia bahan-bahan makanan. Ibuku sering belanja disini, karena bahan-bahannya lengkap. Teman-temanku juga sering kesini, tempatnya enak dan bersih. Dan di halamannya cocok untuk nongkrong anak muda.
***
Surabaya, 28 November 2022
Naskah ke-31, tantangan dari dokjay 30 hari menulis di kompasiana
***
Silahkan Baca Juga Naskah Sebelumnya:
Naskah ke-1 : Guruku Adalah Orang Tuaku
Naskah ke-2: Sekolahku Adalah Surgaku
Naskah ke-3: Satu Visi, Satu hati
Naskah ke-4: Tragedi di Warung Pak Sugi
Naskah ke-5: Doa Bersama Untuk Para Guru Indonesia
Naskah ke-6: Ibu dan Guruku Melarangku Pacaran
Naskah ke-7: Madu Guru, Buah Manis Cita-cita Siswa
Naskah ke-8: Teman Kerja Adalah Guruku
Naskah ke-9: Berguru pada Pangeran Diponegoro
Naskah ke-10: Berguru pada Sunan Kalijaga
Naskah ke-11: Si Kebaya Merah
Naskah ke-12: Kangen Masakan Ayah
Naskah ke-13: Guruku Inspirasiku, Karenamu Ada Toko Online
Naskah ke-14: Berkah Digitalisasi Warung Pak Sugi
Naskah ke-15: Cinta Bersmi, Kembali dari Tanah Suci
Naskah ke-16: Cinta Segitiga
Naskah ke-17: Ledakan Itu, Melukai Dua Hati
Naskah ke-18: Hubungan Terlarang
Naskah ke-19: Guruku Adalah Obat Hatiku
Naskah ke-20: Ibuku Awet Muda, Apa Rahasianya?
Naskah ke-21: Di Ujung Waktu; 8 Miliar Manusia
Naskah ke-22: Solusi Bau Badan Menjadi Teladan
Naskah ke-23: Berguru Pada Elon Musk
Naskah ke-24: Hujan Di Akhir Bulan
Naskah ke-25: Detik Perjuanganku Menyambut Hari Guru
Naskah ke-26: Semangat Menyambut Hari guru
Naskah ke-27: Cahaya Itu Ilmu, Obornya adalah Guru
Naskah ke-28: Upacara Hari Guru
Naskah ke-29: Doa Bersama, Persiapan Ujian Akhir Semester
Naskah ke-30: Arti Apresiasi
Naskah ke-31: Bertemu di Warung Kelontong
Naskah ke-32: Lembutnya Hati Telah KembaliÂ
Naskah ke-33: Saat Belajar Bersama
Naskah ke-34: Badai Cinta Melukai Cinta
Naskah ke-35: Salju Berhembus dalam Kalbu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H