Cahaya Itu Ilmu, Obornya Adalah Guru
Oleh: M. Abd. Rahim
***
Hujan sore itu, membuatku harus berdiam di sekolah. Mengikuti ekstra BTQ yang dilaksanakan satu kali dalam seminggu. Walau hujan membelah malam, aku tetap berusaha untuk datang mencari ilmu.Â
Ilmu adalah cahaya yang menerangi masa depanku, ilmu adalah cahaya yang menyinari hati dan fikiranku. Agar hidup ini tidak gelap, segelap malam. Masa depanku perlu adanya penerang, petunjuk untuk menjadi manusia yang berguna. Aku takkan bisa berjalan indah tanpa cahaya kebenaran, aku butuh guru yang memberi sumber cahaya itu.
***
"Dit, ayo dimulai ngajinya!" Kata Bu Yayuk
"Baik Bu!"
Walaupun beberapa anak yang mengikuti, adalah hujan deras penyebabnya. Aku masih standby bersama Feliks di ruang perpustakaan siap menerima ilmu. Bila hujan hanya gerimis, mereka masih bisa melewatinya dengan nafas lega. Di sisa tenagaku menerima pembelajaran dan membantu para panitia menyiapkan pelaksanaan Hari Guru, Aku masih butuh ilmu.
Guru yang mengajariku adalah orang tuaku di sekolah. Mereka membimbingku dari ketidaktahuan menuju cahaya pengetahuan. Namun bagian dari temanku tidak sadar diri bahwa kita sebagai siswa yang membutuhkan guru. Membutuhkan ilmunya, membutuhkan pengalamannya.
"Tsa-Sya, Dhlo-Dho." Rino masih belajar membedakan antara bunyi huruf Hijaiyah Tsa dan Syin besar, antara bunyi huruf Dhlo dan Dhod. Kemudian kami lanjut membunyikan panjang dan pendeknya huruf.Â
Bu Yayuk senyum dan membenarkan ketika kami salah.
***
Sementara Pak Alif mempersiapkan absensi untuk kegiatan Hari Guru besok. Memang semua harus dipersiapkan, yang sebelumnya sore tadi pak Alif ngeprint bacaan istighosah kemudian digandakan sebanyak 360 lembar.
Aku yang disuruh pak Alif pergi ke foto kopi belakang sekolah, tapi masih tutup. Pergi ke tempat foto kopi lain, "Pak toko foto kopinya buka jam berapa?" Tanyaku kepada pemilik toko yang sedang bersama anak perempuannya.
"Iya mas ini mau saya buka!, maaf tadi tutup sementara menjemput anakku pulang sekolah." Katanya
Anak perempuannya kurang lebih baru berumur 5 tahun. Memakai seragam kanak-kanak. Anaknya diturunkan, kemudian bapak tersebut membuka tokonya. Begitulah jerih payah orang tua ketika anaknya sudah sekolah. Menutup tokonya sementara hanya untuk mengantar atau menjemputnya sekolah.
"Baik pak!"
Setelah kumasuk, benar mesin fotocopy sudah nyala dan lembar bacaan istighosah kiriman dari Ust. Mahrus siap digandakan.Â
"Ditunggu saja mas, sebentar kok!"
Beberapa menit 360 lembar bacaan istighosah sudah dimasukkan ke tas plastik. "Berapa Pak?"
"72 ribu"
"Kwitansinya ya pak!"
Aku sangat berterima kasih, karena aku adalah orang pertama yang dilayaninya. Sehingga aku tidak harus menunggu lama karena biasanya banyak mahasiswa yang menjilid skripsinya di sini.
Menjumpai anak sekolah, para Maha Siswa mengerjakan tugas akhirnya. Mereka adalah berjalan menuju proses masa depan yang cerah. Yang tidak lain adalah guru sebagai pengantar kesuksesannya tersebut.
"Ya Allah berikanlah kesehatan pada semua guru-guruku, guru-guru Indonesia yang mendidik anak bangsa. Karena merekalah aku tahu, karena ilmu dari merekalah hati dan fikiranku bercahaya menatap masa depan yang lebih cerah." Doaku sambil jalan kembali ke sekolah
"Untuk para teman-temanku yang sering melukai hati bapak atau ibu guru segeralah minta maaf kepadanya, mintalah rida darinya karena dari rida tersebut hidup kita akan mulia. Ingatlah para teman-teman sekolahku jangan pernah menyakiti guru, karenanya kita tidak bisa memperoleh barokahnya ilmu."
"Guruku tetaplah menjadi obor untukku, berilah cahaya dengan ilmu-ilmumu. Selamat Hari Guru Pak Alif dan guru-guruku semua. Maafkan segala kesalahan dan kebodohan. Semoga langkahmu selalu di permudah oleh-Nya, semoga ilmu yang kau beri menjadi cahaya masa depanku dan anak bangsa." Aku berdoa dalam Sukma dan meneteskan air mata.
***
Surabaya, 25 November 2022
Naskah ke-27, tantangan dari dokjay 30 hari menulis di KompasianaÂ
***
Silahkan Baca Juga Naskah Sebelumnya:
Naskah ke-1 : Guruku Adalah Orang Tuaku
Naskah ke-2: Sekolahku Adalah Surgaku
Naskah ke-3: Satu Visi, Satu hati
Naskah ke-4: Tragedi di Warung Pak Sugi
Naskah ke-5: Doa Bersama Untuk Para Guru Indonesia
Naskah ke-6: Ibu dan Guruku Melarangku Pacaran
Naskah ke-7: Madu Guru, Buah Manis Cita-cita Siswa
Naskah ke-8: Teman Kerja Adalah Guruku
Naskah ke-9: Berguru pada Pangeran Diponegoro
Naskah ke-10: Berguru pada Sunan Kalijaga
Naskah ke-11: Si Kebaya Merah
Naskah ke-12: Kangen Masakan Ayah
Naskah ke-13: Guruku Inspirasiku, Karenamu Ada Toko Online
Naskah ke-14: Berkah Digitalisasi Warung Pak Sugi
Naskah ke-15: Cinta Bersmi, Kembali dari Tanah Suci
Naskah ke-16: Cinta Segitiga
Naskah ke-17: Ledakan Itu, Melukai Dua Hati
Naskah ke-18: Hubungan Terlarang
Naskah ke-19: Guruku Adalah Obat Hatiku
Naskah ke-20: Ibuku Awet Muda, Apa Rahasianya?
Naskah ke-21: Di Ujung Waktu; 8 Miliar Manusia
Naskah ke-22: Solusi Bau Badan Menjadi Teladan
Naskah ke-23: Berguru Pada Elon Musk
Naskah ke-24: Hujan Di Akhir Bulan
Naskah ke-25: Detik Perjuanganku Menyambut Hari Guru
Naskah ke-26: Semangat Menyambut Hari guru
Naskah ke-27: Cahaya Itu Ilmu, Obornya adalah Guru
Naskah ke-28: Upacara Hari Guru
Naskah ke-29: Doa Bersama, Persiapan Ujian Akhir Semester
Naskah ke-30: Arti Apresiasi
Naskah ke-31: Bertemu di Warung Kelontong
Naskah ke-32: Lembutnya Hati Telah KembaliÂ
Naskah ke-33: Saat Belajar Bersama
Naskah ke-34: Badai Cinta Melukai Cinta
Naskah ke-35: Salju Berhembus dalam Kalbu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H