Di Bawah Kubah Baitul Hikmah
Oleh: M. Abd. Rahim
***
Masa pencarian jari diri belum kutemukan. Masih berubah-ubah mengikuti angin kehidupan. Setelah berteduh di bawah kubah Masjid Baitul Hikmah, hatiku penuh kedamaian.Â
Siapakah diriku, Aku hanya manusia biasa yang penuh dosa. Belum sempurna menjalankan perintah agama. Namun pertama yang kulalui di masjid tersebut adalah seperti air yang mengalir di tempat wudu masjid, kuikuti mengalirnya air hidup dengan bahagia.Â
Malam indah menemani remaja masjid, menyatu dalam kebersamaan dalam momen masak bersama pada malam pergantian tahun.
"Ayo Lif, ke lantai 2!" Ajak Farid teman sekamarku yang baru kutempati. Kebiasaan yang jarang ditinggalkan oleh remaja masjid untuk melihat indahnya warna warni ledakan kembang api pada pergantian tahun baru. Hatiku sudah bahagia untuk menikmati fasilitas masjid walaupun tidak berupa barbeque atau panggang daging.
Fasilitas yang diberikan oleh masjid, yaitu kami bisa masak di dapur lengkap dengan lemari pendingin, menyimpan bumbu masak lengkap dengan sayur mayur. Tapi di malam tahun baru, kami masak bersama di halaman masjid, dan dilantai dua. Selain itu, masjid menyediakan alat-alat masak, kipas angin, rice cooker, dan alat masak lainnya.Â
Di malam pergantian tahun baru kami dibelikan jagung manis, ikan, areng dan alat pemanggang. Maka di malam itu, berbagi tugas. Alif memasak nasi di dapur masjid, membuat sambal dan gorengan. Farid memesan kopi, teh dan minuman lainnya sesuai selera. Pak Sahid dan cak Iput  siap-siap membakar ikan di bawah, dan Afandi dan Madi membakar jagung di lantai dua.
"Nasinya apa sudah matang?" Tanya Pak Mukin kepadaku di teras masjid bersama Abah, Farid, dan Pak Syahid yang sedang menikmati kopi.Â
"Ini Abah jagungnya, monggo dinikmati!" Seru Afandi sambil memberi senampan jagung yang sudah dibakar. "Alhamdulillah..., akhirnya bisa menikmati." Jawab mereka.
Malam mulai larut nasi dan ikan sudah matang dan siap disajikan. Rice cooker dan beberapa menit lauk pauk kami bawa ke lantai bawah. Ikan bakar yang dilumpuri kecap, baunya sedap menggoda hidung-hidung selera kami.
Asap masih mengepul dan menemani kami makan bersama, ikan bakar, telur dadar dan sambal bawang, habis kami serang. Selesai makan bersama, arang yang masih membara dan asap yang terus menyala kusiram air agar tidak sampai ke dalam masjid.Â
Malam semakin larut, Abah dan Pak Mukin pun pulang, meninggalkan jejak janggel jagung dan beberapa piring yang tertumpuk. Selesai makan bersama, kami berkumpul di atas masjid sambil membawa ponsel kesayangan. Kami ke atas melalu tangga di gudang sudah terpasang di lantai dua menuju atap masjid.
Pukul 00.00, warna warni letusan kembang api mengelilingi bumi. Tidak lupa kami mengabadikannya, ada teman kami yang naik kubah untuk merekam keindahan tersebut sambil berputar dari sudut Utara sampai ke sudut Utara lagi. Walaupun kami tidak ada yang membawa petasan, hati kami merasa penuh kebahagiaan.Â
Setelah melewati warna warni sinar petasan, kami kembali ke kamar masing-masing. Di bawah kubah Baitul Hikmah itulah kami beristirahat, mengukir prestasi, meningkatkan iman dalam hati. Di bawah kubah Baitul Hikmah itulah kami mengasah potensi, belajar bermasyarakat.
Di bawah kubah masjid Baitul Hikmah banyak yang memperoleh berkah. Di sinilah aku menimba ilmu dan berbagi ilmu. Di sinilah, kami saling membantu dan saling berbagi. Kebanyakan dari kami yang bernaung di Masjid ini, menjadi guru ada yang menjadi ASN dan dosen.
Aku terlahir dari keluarga sederhana, tapi bisa menggapai asa, walau mendapatkan gelar sarjana harus banting tulang. Dulu sebelum kuliah bekerja jualan kupyah saat siang hari dan pagi membantu ibu membersihkan rumah dan memasak untuk keluarga. Di bawah kubah Masjid Baitul Hikmah inilah cita-citaku dan keluargaku menjadi guru tercapai.
***
Surabaya, 27 Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H