Mohon tunggu...
MAbbiyyu Khalis
MAbbiyyu Khalis Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Psikologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Wanita Single Parent Mampu Resilien Setelah Kematian Pasangan

15 Januari 2024   19:08 Diperbarui: 15 Januari 2024   19:09 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasangan hidup merupakan seseorang yang kita pilih menjadi teman hidup, dan menjadi orang tua dari anak-anak nantinya (Fadhilla, N., 2019). Namun ketika salah satu pasangan meninggal atau bercerai, maka pasangan lainnya akan menjadi single parent, single parent adalah individu yang mengalami kehilangan pasangan karena perceraian atau ditinggal mati oleh pasangan (Primayuni, S., 2019). Pada pembahasan ini, penulis lebih berfokus kepada single mother. Pengertian single mother adalah ibu yang harus menjalani peran ganda sebagai ibu sekaligus ayah untuk anak-anaknya dan mengurus rumah tangga secara tunggal karena perceraian atau kematian dari pasangannya (Sari, dkk., 2019). Kematian pasangan hidup ini pastinya akan membawa dampak kepada pasangan yang ditinggalkan karena peristiwa kematian ini pasti terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga. Kematian pasangan ini akan memberikan tekanan kepada pasangan, kesedihan, emosional, dan memberikan permasalahan kepada pasangan yang ditinggalkan (Sari, dkk., 2019). karena dampak yang diberikan dari ditinggalkan oleh pasangan ini menimbulkan rasa duka, maka individu perlu untuk beresiliensi, resiliensi merupakan kemampuan diri individu untuk bertahan dan bangkit dari keterpurukan untuk melanjutkan tujuan hidupnya menjadi lebih baik lagi (Fernandez, I., M., F., & Soedagijono, J., S., 2018). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hurlock (1999; dalam Fernandez, I., M., F., & Soedagijono, J., S., 2018) menyatakan bahwa kehilangan pasangan bisa menghasilkan kesulitan dalam penyesuaian diri bagi pasangan pria dan wanita yang ditinggalkan oleh pasangannya. Tetapi hasil penelitian lebih menunjukkan perhatian khusus pada wanita yang ditinggalkan pasangan yang menimbulkan perasaan kesepian yang mendalam. Penelitian lainnya yang dilakukan sari & Wardhana (2013; dalam Widyataqwa, 2021) yang menunjukkan bahwa saat wanita ditinggalkan pasangan akan mengalami penurutanan kondisi fisik, stigma negatif dari masyarakat terhadap seorang janda dan finansial. Meskipun wanita sering dianggap kaum yang lemah dan mengutamakan perasaan, walaupun begitu wanita single parent tetap dapat bangkit dari keterpurukan setelah kematian pasangannya.

Single parent atau single mother merupakan wanita yang mengatur segala urusan rumah tangga dengan sendiri, seperti mengatur rumah, menjadi tulang punggung untuk anaknya, menjalani peran ganda sebagai orang tua (Primayuni, S., 2019). Secara umum single parent merupakan orang tua tunggal yang mengasuh dan membesarkan anaknya dengan sendiri tanpa bantuan dari pasangan lainnya dan memiliki tanggung jawab besar dalam mengatur keluarganya(Layliyah, 2013; dalam Widyataqwa, 2021). Menurut Hurlock (1980; dalam Primayuni, S., 2019) single parent adalah individu yang kehilangan pasangannya baik karena perceraian ataupun ditinggal mati. Menurut pendapat dari Newman, dkk (Veronika, 2007; dalam Primayuni, S., 2019) Single parent adalah struktur keluarga yang hanya memiliki satu orangtua saja yang disebabkan oleh kematian, perceraian, perkawinan tidak jelas dan pengadopsian. Akan lebih sulit jika perempuan tersebut terbiasa manja dan bergantung dengan orang lain. Sejalan dengan pendapat diatas, definisi dari single mother adalah ibu tunggal yang mengurus semua pekerjaan rumah tangga karena bercerai atau ditinggal mati oleh pasangan sehingga harus menjalankan peran ganda sebagai ibu dan ayah bagi anak-anaknya (Sari, dkk., 2019). Menjadi single mother menjadikan pendapatan keluarga berkurang, memiliki resiko kemiskinan, kesehatan mental ibu yang memburuk, pengasuhan anak menjadi tidak maksimal hingga buruk (Hill, Yeung, & Duncan, 2001; McLanahan, 2009; Harkness, Gregg, & Fernandez, 2020)

Dari beberapa pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa single parent atau single mother adalah wanita yang berpisah dengan pasangannya karena bercerai atau kematian pasangan, sehingga harus mengurus urusan rumah tangga tanpa suami, mendidik anak dengan sendiri dan menjadi tulang punggung untuk anak-anaknya. Wanita menjadi single mother disebabkan oleh perceraian dan kematian pasangannya. Kematian pasangan merupakan peristiwa yang tak terduga dan dapat menjadi tekanan emosional yang berat bagi pasangannya (Sari, dkk., 2019). Menurut Marris (Bonanno, 2004; dalam Fernandez, I., M., F., & Soedagijono, J., S., 2018) perasaan yang muncul saat ditinggal mati oleh pasangan adalah perasaan ketidakpercayaan, keputusasaan, marah, perasaan bersalah, tidak tenang dan perasaan kehilangan ketika kematian pasangan secara tiba-tiba. Kehilangan pasangan akan menjadi tantangan emosional tersendiri bagi setiap individu terutama wanita (Loren, dkk., 2023). Peristiwa kehilangan tersebut merupakan keadaan yang akan menghadapi proses berduka yang merupakan hal yang wajar dan lumrah dialami oleh orang yang mengalami kehilangan (Suseno, 2009; dalam Widyataqwa, 2021). Menurut Sin (2022; dalam Winardi & Subianto, 2023) terdapat beberapa tahapan dalam berduka:

Denial

Perasaan ini merupakan cara penanganan otak untuk menghadapi kehilangan yang hebat. Hal inilah yang menjadi sistem pertahanan dari otak atas respon dari perasaan kaget dan heran atas peristiwa kehilangan yang terjadi.

Anger

Tahapan selanjutnya adalah perasaan marah bahwa kita kehilangan dari orang yang kita sayangi. Tahapan ini harus dilalui oleh setiap orang yang sedang berduka, didalam kemarahan itu terdapat rasa sakit atas rasa kehilangan tersebut. Orang yang berada pada fase ini bisa merasakan marah pada diri sendiri, orang lain dan bahkan kepada tuhan.

Bargaining

Selama tahapan ini, individu akan berkutat dengan pikirannya saja, mereka akan berandai dan berpikir dapat menangani masalah tersebut, mereka akan berfikir "andai saja..." atau "bagaimana jika...". serta memiliki perasaan bersalah.

Depression

Selama tahapan ini, individu akan dihantui oleh perasaan hampa, bersalah, dan lebih muram, individu yang depresi juga merasa aktivitas yang dilakukannya tidak ada gunanya.

Acceptance

Pada tahapan penerimaan ini, individu tidak serta merta merasa bahagia atas apa yang terjadi, tetapi lebih menyadari bahwa realitas baru ini tidak akan berubah.

Finding Meaning

Seorang ahli mengemukakan bahwa lima tahap berduka masih belum tahapan akhir dari duka. Menurutnya menemukan tujuan adalah hal yang sangat penting karena dapat mempermudah dalam menghadapi perasaan berduka. Tahapan ini dapat membuat duka menjadi hal yang berharga dan bermakna.

Fase berduka atas kehilangan seseorang yang berharga merupakan fase awal dari resiliensi (Widyataqwa, 2021). hal ini sesuai dengan hasil studi yang dilakukan Bowlby (1980; dalam Fernandez, I., M., F., & Soedagijono, J., S., 2018) individu yang mengalami kehilangan pasangan akan melalui tahapan berduka, yang pada akhirnya akan mengalami reorganisasi yang dimana hal ini merupakan tahap awal memulai resiliensi. Menurut Sari, dkk. (2019) resiliensi merupakan kemampuan individu untuk bertahan dan beradaptasi dengan keadaan yang sulit yang dialaminya dan berusaha kembali pada keadaan semula atau keadaan yang lebih baik. Menurut ahli lainnya yaitu Holaday (1997; dalam Sari, dkk., 2019) resiliensi merupakan kemampuan individu untuk kembali pada kondisi pada saat sebelum peristiwa berat, keadaan sengsara atau trauma yang dimilikinya dan beradaptasi dengan situasi yang dihadapinya. Sejalan dengan pengertian lainnya, resiliensi menurut Pangestu dan Falah (2018) adalah kemampuan individu untuk bangkit dari keterpurukan atau mampu beradaptasi dari situasi atau kondisi yang buruk sebagai proses berkelanjutan yang memungkinkan dari keberfungsian ketika dihadapkan pada tekanan hidup yang benar. Siebert (2005; dalam Pangestu & Falah, 2018) dalam bukunya The Resilience Advantage menjelaskan bahwa resiliensi merupakan kemampuan mengatasi perubahan yang drastis dalam hidup, menjaga kesehatan jasmani maupun psikologis, bangkit dari keterpurukan dan kemalangan serta mengubah hidup menyesuaikan dengan keadaan yang berubah dan tanpa adanya kekerasan. Dari beberapa pengertian resiliensi dari para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menghadapi, bangkit dan beradaptasi dari kejadian yang berat dalam hidupnya yang memberikan perubahan pada keadaan orang tersebut.

Menurut Patterson & Kelleher (2005; dalam Widyataqwa, 2021) kemampuan seseorang untuk bangkit dan beradaptasi terhadap masalah dibentuk oleh tiga aspek, yaitu:

Nilai pribadi yaitu nilai yang ada pada diri individu yang dapat menentukan hal yang harus dilakukan. Dengan penjelasan tersebut dari nilai pribadi, individu mampu menentukan hal apa yang harus diperjuangkannya dan keyakinan yang dimiliki individu untuk mencapainya.

Kemampuan diri, individu memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan dan bersedia untuk bertanggung jawab atas pilihannya. Jika seseorang memiliki kemampuan dan ketahanan diri yang tinggi maka ia akan memiliki sikap lebih bertanggung jawab atas pilihannya.

Energi pribadi, ketika suatu individu ingin melakukan sesuatu ia harus memiliki energi pribadi sebagai sumber daya pada diri individu terutama untuk menghadapi kesulitan nantinya dan bangkit kembali untuk melanjutkan apa yang ingin dicapainya. Energi pribadi ini dapat berupa energi fisik, emosional dan spiritual

Disisi lain, terdapat ilmuwan Reivich dan Shatte (Ifdil & Taufik, 2012; dalam Sari, dkk., 2019) yang mengemukakan bahwa terdapat tujuh aspek yang membuat seseorang mampu resilien, yaitu

Emotion regulation

Regulasi emosi ini diperlukan agar individu tetap tenang saat berada pada situasi yang buruk. Jadi regulasi emosi sendiri dapat dipengaruhi oleh ketenangan dan fokus, sehingga individu untuk bisa meregulasi emosinya ia membutuhkan ketenangan dan fokus tersebut. Karena ketika individu berada pada situasi yang buruk ia harus menjaga pikirannya agar tidak terganggu dan tetap fokus, hal ini juga dapat mengurangi stress pada individu

Impulse control

Pengendalian impuls dapat digunakan untuk mengendalikan keinginan, dorongan, rasa suka serta tekanan pada dalam diri individu itu sendiri. Jika seseorang tidak memiliki pengendalian impuls atau memiliki kontrol yang rendah maka ia akan sulit mengendalikan dirinya sehingga sering mengalami perubahan emosi, yang pada akhirnya mempengaruhi pikiran dan perilku individu tersebut

Optimism

Optimisme merupakan aspek untuk meyakini masa depan yang cerah. Aspek ini membuat individu memiliki kepercayaan diri bahwa dia memiliki kemampuan dalam menghadapi situasi atau tekanan yang akan datang dimasa depan. Kunci dari resiliensi dan kesuksesan adalah optimisme yang realistis dan self-eficacy.

Causal analysis

Causal analysis  ini merupakan kemampuan individu untuk menganalisa situasi dan permasalahan atau tekanan yang tengah dihadapinya. Hal ini merupakan kemampuan yang penting untuk mampu mengidentifikasi penyebab dari suatu permassalahan karena jika seseorang tidak memiliki kemampuan ini, maka ia akan jatuh pada kesalahan yang sama.

Emphaty

Empati adalah aspek yang membuat individu mampu membaca atau mengetahui tanda-tanda kondisi orang lain, baik itu emosional maupun psikologis. Individu yang memiliki empati yang baik kemungkinan besar ia akan memiliki hubungan sosial yang baik, sebaliknya pada individu yang rendah empatinya akan menyamakan semua keinginan dan kondisi orang lain, karena tidak peka dengan keadaan orang lain

Self efficacy

Self efficacy merupakan kemampuan untuk memecahkan masalah. Jika individu memiliki self efficacy  yang baik, seorang individu akan melakukan usaha apa saja untuk menyelesaikan permasalahannya, dan individu tidak akan mudah menyerah dalam menghadapi permasalahannya.

Reaching out

Aspek ini adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk keluar dan meraih aspek positif dari kehidupan pasca menghadapi situasi yang buruk dan malang yang terjadi. Kemampuan ini tergantung pada bagaimana individu dilatih semenjak kecil untuk menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan.

Maka dari itu kemampuan Resiliensi adalah hal yang penting untuk dimiliki setiap individu untuk menjalani hidupnya, karena di hidup ini akan selalu dihadapkan pada permasalahan yang tidak kita duga, jadi individu harus mempersiapkan dirinya dengan memiliki kemampuan resilien. Selain itu kemampuan Individu untuk melakukan resiliensi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dikemukakan oleh Everall, et al., (Ifdil & Taufik, 2012; dalam Sari, dkk., 2019), diantaranya:

Faktor Individual

Faktor ini dapat mempengaruhi kemampuan resiliensi individu yang dimana faktor ini bersumber dari dalam diri individu sendiri. Yaitu seperti kognitif, konsep diri, harga diri dan kompetensi sosial individu.

Faktor Keluarga

Faktor keluarga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan resiliensi seseorang yang faktornya berhubungan dengan orang tua dan keluarga, seperti cara orang tua memperlakukan anak, keterkaitan emosional dan batin antar keluarga, yang dimana hal ini membantu dan mendukung penyembuhan stress dan trauma individu setelah mendapatkan musibah dan hal ini juga dapat meningkatkan resiliensi seseorang.

Faktor Komunitas

Faktor ini juga dapat mempengaruhi resiliensi seseorang. Sehingga masyarakat sekitar dapat memberikan pengaruh pada resiliensi seseorang seperti kemiskinan dan keterbatasan kesempatan kerja.

Jadi kemampuan seseorang dalam mengahadapi suatu permasalahan atau kondisi yang terpuruk berbeda-beda, kemampuan tersebut dipengaruhi oleh faktor internal seperti kognitif, konsep diri, harga diri dan kompetensi sosial; faktor keluarga seperti pengasuhan orang tua dan keterkaitan antar anggota keluarga; yang terakhir yaitu faktor komunitas atau masyarakat sekitar.

Pasangan merupakan seseorang yang kita pilih untuk mendampingi hidup kita, menjadi orang tua dari anak-anak kita dan menua bersama. Namun ada beberapa pasangan yang ditinggalkan kekasihnya karena kematian, hal tersebut tentunya akan menimbulkan goncangan dan perasaan-perasaan seperti kesepian, sedih, dan rasa duka. Kondisi ini juga membuat seorang wanita menjadi single mother yang membuatnya harus beradaptasi dengan kondisinya. Hal ini juga minyebabkan terjadinya penurunan kondisi fisik dan psikologis, terutama seringkali terjadi pada wanita ketika ditinggalkan oleh pasangannya. Maka dari itu perlunya resiliensi, yaitu kemampuan untuk menghadapi, bangkit dan beradaptasi dari kejadian yang berat dalam hidupnya yang memberikan perubahan pada keadaan orang tersebut. Pasca ditinggalkan oleh pasangannya tentu pasangan yang ditinggalkan berada pada fase duka, fase tersebut merupakan fase awal dari resiliensi. Dimana kemampuan resiliensi setiap individu dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor individu atau internal, faktor keluarga, dan faktor komunitas. Dimana hal inilah yang akan membuat kemampuan resiliensi setiap orang berbeda-beda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun