Hari ini hujan tak henti-hentinya mengguyur. Air memercik riang ke arahku, kuputuskan untuk sedikit menggeser tubuhku lebih masuk ke dalam warung. Suara para orang tua yang sedang berbincang di sebelahku seakan berlomba dengan gaduhnya atap seng yang dihujam rintik hujan dengan derasnya, teramat deras bagaikan tiada lagi yang lebih deras.
Sesekali kutengok bangku di sebelah kananku, sepasang kekasih duduk berhimpitan saling bercerita penuh canda. Tak dihiraukannya orang-orang yang ada disekitar mereka. Senyum tersungging dari wajahku, bukan karena melihat mesranya pasangan tersebut, melainkan saat kunikmati kopi hitam pahit pesananku yang memang benar-benar pahit, “Ah, Mak lupa nambahin gula lagi ini.”
Di Sabtu sore yang tak biasanya sesendu ini, kuputuskan untuk “ziarah” ke warung kopi langgananku, Mak Kah panggilan akrab ibu pemilik warung ini, janda beranak lima yang baru dua bulan lalu ditinggal mati suaminya, seorang yang juga sudah kuanggap sebagai ibu keduaku. Hujan yang tak kunjung reda memaksaku untuk menghabiskan waktu sore cukup lama di tempat ini.
Terhitung sejam lebih aku berada di situ. Dari sebelum begitu ramai pelanggan Mak Kah karena hujan belum turun tadi, hingga begitu penuhnya warung yang tak begitu luas ini oleh mereka yang mungkin mencari tempat berteduh sambil menghangatkan tubuh, memesan kopi atau teh panas sebagai penawar hawa dingin. Kutengok ke arah luar, tiba-tiba kuteringat, bodohnya aku.
“Mak minta kreseknya!”
Kuambil kantong plastik hitam di bawah meja sambil berteriak
“Iyaa,” jawabnya.
Aku lupa menutup karbu motorku yang telanjang, kuatir motor tua warisan kakekku itu ngambek lagi. Sesegera mungkin aku menghampirinya, yang masih saja berdiri dengan gagah tak perduli hujan membasahi. Tak kuhiraukan hujan yang terlanjur deras, langsung saja kututup bagian yang rawan kemasukan air dengan kantong plastik yang kuminta dari Mak Kah tadi.
Motor tua keluaran honda inilah yang senantiasa menemaniku kemanapun aku pergi. Tak terhitung sudah berapa kali motor itu mogok. Susah memang, tapi bagian itulah yang menurutku sebuah keasyikan tersendiri memiliki motor yang terkesan antik tersebut.
Setelah selesai, kembali lagi aku masuk ke warung, kulepas jaketku. Kuhela nafas sejenak, terngiang pikiran mau kemana aku setelah ini. Ah tidak, lebih tepatnya mau kemana lagi. Sudah dua minggu lebih kumencari keberadaan seseorang yang begitu berpengaruh kepadaku, yang “hilang” entah kemana.
Risha namanya. Seorang gadis yang berhasil membuat hatiku tumbuh rasa untuk pertama kalinya. Yang memaksaku merasakan bagaimana cinta itu bekerja, sejak aku masih duduk di bangku SMP bahkan hingga saat ini aku menjadi seorang mahasiswa. Harus kemana lagi aku mencarimu.