Pak/Buk, mbok damel surat ngge tamba kangen
Alhamdulillah, sepenggal kalimat tulisan anakku di secarik kertas, yang sudah kupikirkan sejak awal namun belum tersampaikan, sebagai cara yang akan kusarankan untuk berkomunikasi dengannya, sudah ditulis dan diselipkan di dalam pakaian kotor yang kuambil sesuai pesan pengurus pondoknya melalui WA.Â
Ada secercah rasa bangga dan bahagia di lubuk hati dan pikiranku. Karena ini bisa berarti bahwa ada inisiatif yang tumbuh dari hati dan pikirannya untuk mengatasi mssalah yang kini dihadapinya, kangen keluarga.Â
Baru sepekan ini bermukim di Pondok Pesantren, anakku sudah menunjukkan sisi positif sebagaimana yang kuharapkan. Contoh nyata yang kulakukan selama ini dan kutunjukkan padanya mulai terlihat dampaknya.Â
Hal ini tak lepas dari pola yang sama yang pernah kurasakan selama orangtua mendidikku. Bukan dengan banyak nasehat berbusa-busa, bukan dengan hardikan dan teriakan atau ancaman, tetapi dengan menulis.
Selama ini memang cukup sering ada kurir paket yang datang ke rumah, tetapi paket yang datang bukan dari lapak jual beli online sebagaimana para tetangga sering mendapatkan. Paket-paket yang datang atas namaku lebih sering berupa buku.
Ya, memang aku sering memesan buku, bukan membeli, dan buku-buku itu bukan sekedar buku, tetapi buku yang di dalamnya ada namaku, bahkan di beberapa buku ada surprise bagi mereka, anak-anakku.
Ketika paket datang, seringkali yang menerima adalah anak-anakku, sementara aku masih di tempat kerja, jadi kuminta mereka sekalian membukanya dan membaca isi tulisanku di sana. Atau, ketika aku sudah di rumah, kuajak mereka unboxing bersama, dengan video, kemudian diupload di medsos.
Alhamdulillah, itu menjadi kesan mendalam bagi anak-anakku. Seperti halnya kesan yang ditanamkan orang tuaku dan hingga kini melekat di benakku, ratusan judul buku yang bertumpuk dan berjajar di ruang keluarga, adalah koleksi Ayah yang tiada ternilai yang diwariskan pada anak-anaknya.Â
Korespondensi sebagai sarana pendidikan
Kebiasaan saling berkirim surat atau istilahnya korespondensi, dengan tulisan tangan di atas kertas, adalah kebiasaan "kuno", kebiasaan yang sudah jarang dilakukan oleh orang-orang di era yang sudah serba digital.Â
Pesan singkat yang ditulis anakku di secarik kertas itu tentu saja belum ĺayak disebut sebagai sebuah surat. Di sà na tidak ada bagian-bagian pada umumnya sebuah  surat, seperti tempat dan tanggal pembuatan, alamat pemgirim dan alamat tujuan, serta bagian pembukam inti, penutup.
Dalam korespondensi, dikenal bermacam-macam jenis surat. Setiap jenis surat memiliki struktur dan bahasa sendiri yang berbeda-beda, disesuaikan dengan audiens (penerima pesan) dan maksud / kepentingan penulisannya.Â
Dari adanya kategorisasi/klasifikasi surat, kemudian berkembang kebiasaan yang pada tahap lanjut menjadi etika. Dari etika itulah disusun aturan-aturan formalnya sehingga kemudian menjadi ilmu tersendiri.Â
Dengan adanya pemahaman tersebut, maka muncul istilah surat yang baik dan surat yang kurang baik. Definisi surat yang baik, secara sederhana adalah surat yang isinya atau maksudnya mudah dipahami oleh penerimanya.Â
Sebagaimana halnya keterampilan manusia yang lain, yang secara kodrati diperoleh melalui latihan, menulis (surat yang baik) membutuhkan keterampilan khusus, yang hanya diperoleh melalui latihan yang terus menerus.Â
Di sinilah alasan utama mengapa aku ingin menyampaikan pada anakku untuk bersurat, alias menuliskan apa yang ingin disampaikan pada ayah dan ibunya, atau apapùn yang ingin sekedar dicurahkan dari hati dan perasaannya ketika sedang jauh dari keluarga, melalui surat.Â
Meskipun ada jenis tulisan tersendiri untuk mencurahkan pikiran dan perasaan, yang disebut "diary", namun tak kusarankan padanya untuk saat ini.Â
Di usianya yang masih pra remaja, keterikatan dengan orang tua masih begitu kuat, aku tak ingin  dengan serta merta melepaskan keterikatannya. Biarlah dengan diwakili secarik kertas, kami berdua, ayah dan ibunya, hadir di setiap kerinduannya.Â
Aku yakin, waktu akan mendewasakannya sejalan dengan pengalaman yang diperolehnya di sana. Ada saatnya nanti dia bisa memilah masalahnya, mana yang harus disimpannya sendiri di dalam diary, dan mana yang perlu disampaikan pada orang tua dan keluarganya.Â
Yang terpenting, sambil belajar ilmu agama di pondok, dan ilmu umum di madrasah, aku masih bisa melatihnya berliterasi sastra, melalui korespondensi  sebagaimana yang diinginkannya, untuk menumbuhkan bakat dan kemampuannya yang masih terpendam.
Klimbungan, 202407011519
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H