Mohon tunggu...
Maarif SN
Maarif SN Mohon Tunggu... Guru - Setia Mendidik Generasi Bangsa

Membaca untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru (Tak) Boleh Bohong

5 Juni 2024   14:46 Diperbarui: 5 Juni 2024   15:48 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak pekan lalu, bahkan sejak bulan lalu profesi guru menjadi trending topik di media sosial, bahkan juga di media mainstream. Sayangnya, viralitas saat itu adalah hal negatif yang memang ada dan menjadi sisi gelap guru dan pendidikan kita. Pekan ini hingga satu bulan ke depan dapat dipastikan akan kembali viral hal-hal yang berkaitan dengan guru, mulai dari hal terkait nilai raport, kenaikan kelas, kelulusan, hingga penerimaan siswa baru atau PPDB.

Diskursus tentang guru dan pendidikan kita sepertinya belum akan berhenti, setidaknya hingga beberapa tahun ke depan, mengingat kebijakan bidang pendidikan kita belum menemukan arah yang benar. Meskipun saat mengatakan ini tanpa didukung data dan dasar yang valid, setidaknya kita semua sekarang bisa melihat, membaca, mendengar, dan merasakan bagaimana sikap dan kecenderungan sebagian besar siswa di kesehariannya.

Riset internasional tentang rentang nilai tingkat kecerdasan rata-rata manusia Indonesia dan hasil PISA sudah cukup menjadi dasar alasan bagaimana proses pendidikan berjalan sehingga hasil akhirnya demikian. Pemilu menjadi puncak olok-olok yang bahkan sampai menjadi perhatian dan jokes di dunia internasional. Sangat memalukan sebenarnya.

Sistem, Konsep, dan Implementasinya

Sebagai seorang guru aktif di sekolah, saya merasakan sekali bagaimana sistem ini mempengaruhi kinerja guru (bukan berarti mengabaikan komponen pendidikan yang lain) dan proses pendidikan. Sistem ini menjadikan pendidikan kurang efektif dalam membentuk karakter siswa dan meningkatkan pola pikir yang merangsang tumbuhnya kecerdasan. 

Dalam sebuah konten video yang cukup terkenal karya seorang guru Bahasa Indonesia dari Jawa Timur yang isinya begitu kritis terhadap sistem ini, diungkapkan bahwa secara konseptual Kurikulum Merdeka ini sudah bagus, hanya implementasinya yang kurang bagus. Menurutnya banyak pakar dan pelaku atau praktisi yang mengatakan demikian, namun jarang mereka itu berkumpul dan berdiskusi membicarakan tentang implementasinya, khususnya dengan para penentu kebijakan pendidikan ini. 

Sejak sepuluh tahun lalu sudah terasa dan sudah ada juga pakar yang mengungkapkan bahwa ada indikasi pemerintah pusat ingin menghandle seluruh proses pendidikan di semua jenjang. Perubahan nomenklatur kementerian menjadi indikator awal, pengambil alihan jenjang SMA/SMK ke Propinsi menjadi indikasi lanjutan, sedangkan di tingkat akar rumput, sistem digital yang bernama Dapodik menjadi alat kontrol yang sangat kuat bagi semua jenjang sekolah, sejak dari PAUD hingga SMA/SMK.

Pergantian menteri pendidikan yang berlatar belakang startup, bisnis transportasi digital yang sukses besar, pada periode kedua kepala pemerintahan menjadi momen krusial. Dengan dalih perubahan fokus pembangunan pada SDM, setelah periode awal fokus pada infrastruktur, mereka menyusun sistem baru yang memiliki kekuatan kontrol lebih kuat lagi. Pendidikan berbasis IT yang saat terjadinya pandemi menjadi alternatif, diupayakan menjadi solusi permanen masalah pendidikan. 

Sialnya, penerapan sistem baru itu tidak (kurang) dipersiapkan dengan perubahan budaya yang terlanjur melekat saat pandemi. Bahwa para siswa yang mengalami gangguan belajar selama pandemi, diperkenankan / mendapat keringanan untuk melanggar norma dan etika yang berlaku, khususnya di sekolah. Meskipun nilai ujian kurang memenuhi syarat, bahkan ada yang tidak ikut ujian, mereka tetap (harus) diluluskan. Pertimbangannya macam-macam, dan semua harus maklum adanya. 

Peraturanbya tetap, tidak diubah, hanya nilainya yang dikonversi. Konversi nilai ini bukan dengan mengubah standar yang sudah ada dengan standar yang lebih rendah, tetapi guru harus mengkonversi nilai yang rendah itu agar berada di atas standar yang ada. Alias ? 

Berbohong! dan semua harus memaklumi! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun