Perubahan, menurut pendapat populer adalah satu hal yang tak pernah berhenti, alias abadi. Ungkapan untuk memperindah proses ini biasanya disampaikan dengan kalimat puitis, "Tidak ada perubahan yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri"
Saat muda dulu, orang-orang yang suka membaca dan mengikuti berita melalui media cetak dan elektronik pikirannya lebih terbuka dan mudah menerima hal-hal baru. Oleh karenanya ketika kekuasaan mulai menampakkan upaya-upaya yang sistematis dalam rangka melanggengkan pengaruhnya, dapat dibaca oleh orang-orang seperti itu.
Sebagai orang yang berpikiran relatif lebih maju, anak-anak muda seperti itu tidak tinggal diam melihat gejala-gejala penetapan status quo untuk waktu yang lama. Mereka tidak ingin para penguasa itu terus menerus menikmati suasana yang menguntungkan yang hanya dinikmati oleh segolongan orang tertentu, karena jelas bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Secara tersamar, orang-orang itu menyebut dirinya sebagai "kelompok anti kemapanan" yang kemudian juga digunakan oleh media sebagai sebutan bagi kelompok-kelompok yang berseberangan dengan kekuasaan.Â
Kalangan tua yang relatif mapan dan nyaman dengan situasi kehidupannya, umumnya cenderung sejalan dengan jalan pikiran kekuasaan. Doktrinasi melalui opini yang disusupkan dalam berita dan propaganda oleh penguasa tak dapat dicerna dengan baik, sehingga mereka cenderung menjadi versus kelompok anti kemapanan itu.
Meskipun tidak semua, tetapi jumlah orang tua yang katakanlah 'konservatif" terlalu banyak jika dibandingkan dengan jumlah pemuda yang "progresif" . Umumnya orang tua progresif pada waktu itu adalah kaum akademisi di perguruan tinggi, atau para pegiat politik yang partainya berseberangan ideologi dengan penguasa.Â
Situasi "pengkutuban" seperti saat ini, alias polariasasi masyarakqt  tidak dapat terjadi pada masa itu, salah satu faktornya adalah ketimpangan kuantitas antara kaum progresif vs konservatif.Â
Seiring dengan kemajuan ekonomi dan pendidikan, plus perubahan komposisi penduduk, keseimbangan mulai terjadi. Jumlah usia muda perlahan mendominasi grafik kependudukan sebagai akibat "baby boomer". Hingga kemudian gerakan anti kemapanan mencapai puncaknya di tahun 98 melalui gerakan reformasi. Meruntuhkan kaum pro status quo alias konservatif, yang didominasi golongan tua.
Situasi yang demikian dapat dikatakan seperti pengulangan sejarah. Kita ingat bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 tak lepas juga dari peran para pemuda progresif yang berbeda pendapat dengan kaum tua yang taat pada kesepakatan dengan musuh (Jepang, yang sudah kalah perang).
Kini, jaman sudah berubah, para pemuda progresif yang dulu mempelopri gerakan perubahan  sudah tak muda lagi, namun demikian pola pikirnya tetap modern, mengedepankan pemikiran ilmiah yang rasional.Â