Mengejutkan. Isu masalah sampah kini memasuki episode baru. Sampah plastik di laut telah menjadi isu global. Riset Jenna R. Jambeck dan kawan-kawan menyebutkan, Indonesia termasuk negara "pembuang" plastik ke laut terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok, disusul Filipina, Vietnam dan Sri Lanka (Kompas.com, 10/12/2015).
Menolak lupa. Dua belas tahun lalu, Indonesia mengalami tragedi sampah di TPA Leuwi Gajah (21/02/2005). Ratusan orang meninggal dunia dan puluhan rumah lenyap. Milyaran rupiah disalurkan untuk pembebasan rumah dan lahan di sekitar lokasi kejadian. Tragedi kemanusiaan itu diperingati setiap 21 Februari sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN).
Sampah plastik di darat sejauh 50 km ke garis pantai, berpotensi masuk ke laut jika salah urus (mismanaged plastic waste). Karena itu, masyarakat diminta tidak membuang sampah sembarangan, terutama sampah plastik di laut. Sampah di laut akan merusak ekosistem ikan, terumbu karang, dan biota laut serta menciptakan rantai racun yang membahayakan manusia. Laut itu bukan "bak sampah raksasa mengapung". Saatnya Lautku Bebas Sampah.
Media ini melaporkan, sebanyak 30 kantong plastik dan sampah plastik lainnya ditemukan dalam perut ikan paus berparuh cuvier di perairan Norwegia (CNN Indonesia, 24/02/2017). Baru-baru ini, tumpukan sampah plastik juga ditemukan mengapung di laut Karibia (Kompas.com, 26/10/017). Ratusan negara yang berbatasan dengan laut dan garis pantai seperti Indonesia, dihadapkan pada masalah ini.
Tak bisa dipungkiri, manusia adalah makhluk penghasil sampah yang sempurna. Tiap hari, manusia memproduksi sampah. Bayangkan, jika tiap orang di Indonesia rata-rata menghasilkan 700 kantong plastik per tahun sebagaimana hasil riset Greeneration yang dikutip media ini, berapa banyak kantong plastik yang dihasilkan oleh sekitar 250 juta penduduk Indonesia?
Ironisnya, sebelum sampah plastik itu mendapat perlakuan Reduce, Reuse,dan Recycle (3R) di darat, benda-benda itu berpotensi masuk ke laut. Akibatnya, sampah plastik seperti bekas botol minuman, kantong plastik, bekas bungkus makanan, dan sampah plastik lainnya akan menjadi masalah krusial di laut.
Hasil riset mengindikasikan, sampah plastik di laut tidak mudah terurai di bawah suhu 50 derajat celsius. Saat berada di dalam laut, benda itu butuh panas matahari dan oksigen agar mudah terurai. Karena itu, sampah plastik yang melayang-layang di dalam lautan membutuhkan waktu yang jauh lebih lama untuk bisa terurai bila dibandingkan dengan sampah plastik di darat.
Indonesia patut menjadikan masalah sampah di laut sebagai masalah serius yang harus segera diatasi. Wisatawan tentu tak nyaman saat mengunjungi wisata bahari Indonesia, sementara dirinya mendapati lautnya kotor tercemar sampah plastik.
Destinasi wisata Bali yang populer di mata dunia pun, tak luput dari sorotan media asing karena pernah mengalami masalah yang sama. Sampah plastik di laut membutuhkan penanganan terpadu sejak dari gunung hingga ke laut.
Kegiatan gotong royong bersih-bersih pantai wisata, pemberian penghargaan terhadap tokoh komunitas atau aktivis peduli sampah, pameran industri kreatif daur ulang sampah, dan atau acara semacam Less Waste Event yang diinisiasi oleh pemerintah Indonesia, perlu terus mendapat dukungan masyarakat.
Hal ini menjadi signifikan, karena Indonesia merupakan negeri kepulauan yang memiliki lautan dengan total panjang garis pantai sekitar 99.000 km, seperti tercatat oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) Indonesia.
Jawa Timur misalnya, memiliki Laut Selatan berombak "garang" dan garis pantai yang panjang, membentang dari Pacitan hingga Banyuwangi. Pesona pantainya cukup menggoda wisatawan. Sayang, sampah plastik masih menjadi masalah di tepi pantai.
Saat mudik tahun lalu, kami sempat mampir di pantai "Paseban" (2016) dan "Teluk Love" (2015). Keduanya berada di kabupaten Jember. Pantainya mempesona. Sayang kami mendapati banyak botol plastik bekas minuman berserakan di tepi kedua pantai. Terusik dengan pemandangan itu, lalu saya tulis kalimat ini, "Save Pantai Paseban".
Saya melihat saat itu lautnya bebas sampah. Saya pun berhasil mengambil foto pemandangan laut lewat kamera smart phone. Foto itu, kini beralih menjadi wall paper di layar laptop saya. Laut Indonesia bebas sampah itu cantik luar dalam!
Gary Bencheghib dan saudaranya, Sam, menyuarakan peduli sampah dengan cara unik. Dua pemuda asal Perancis itu naik perahu dari bahan sampah botol plastik di atas Sungai Citarum (2017). Semangat serupa, mereka lakukan untuk laut Bali saat tercemar sampah beberapa tahun lalu. Pecinta Indonesia itu melakukannya lewat aksi "MakeaChange Bali".
Kehadiran sosok-sosok aktivis lingkungan seperti Gary dan Sam itu penting. Namun dia tak cukup kuat jika melakukannya sendirian. Di era media sosial saat ini, keterlibatan para blogger dalam menyuarakan urgensi pengurangan penggunaan sampah plastik sangat dibutuhkan. Seluruh elemen masyarakat perlu bergerak bersama memeranginya, sebelum sampah di darat masuk ke pantai. Yuk tidak membuang sampah sembarangan. Saatnya, lautku bebas sampah.
Sementara itu, pemerintah harus mengatur sistem tatakelola sampah yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Hal ini dipandang mendesak, karena data dari KLHK (2016) menunjukkan indikasi volume timbulan sampah plastik di 22 kota metropolitan dan kota besar di Indonesia cenderung meningkat selama lima tahun terakhir. Volumenya semula hanya 400.000 m3/tahun (2011), kini meningkat menjadi 1.200.000 m3/tahun (2015).
Di pihak lain, pemerintah membangun infrastruktur tol laut untuk mendukung sektor perhubungan dan pariwisata. Pada tahun ini (2017), kinerja sektor pariwisata membuahkan hasil yang menggembirakan. Sektor ini menjadi penyumbang kedua terbesar terhadap penerimaan negara. Jika masalah sampah tidak segera teratasi, maka masa depan sektor ini akan terganggu.Â
Untuk itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama 11 kementerian lainnya bertekad memerangi masalah sampah di laut. Kepentingan ini menyangkut hajat hidup banyak makhluk. So, Yuk sekali lagi gemakan Lautku Bebas Sampah.
Selain itu, Tim Reform Leader Academy Kemaritiman (RLA Kemaritiman) terus menyuarakan "Laut Indonesia Darurat Sampah". Program RLA Kemaritiman ini sejalan dengan gerakan nasional "Laut Indonesia Bersih Bebas Sampah 2025".
Gerakan tersebut dilakukan secara serentak, diikuti oleh sejumlah instansi pusat dan daerah, seperti Kemenko Bidang Kemaritiman, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Perhubungan, Perdagangan dan seterusnya, tak terkecuali melibatkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Papua Barat. Para aktivis peduli sampah pun ikut dilibatkan.
Bermula dari gerakan bersih dan bebas sampah di daerah masing-masing, saya yakin akan mengantarkan kita kepada terbukanya berbagai pintu "rezeki". Manfaatnya tidak saja berlaku untuk penyelamatan ekosistem laut, tetapi juga untuk penyelamatan rantai kehidupan di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H