Oh Jogja! Kota ini mengingatkan saya saat Tour de Yogya bersama rombongan pada liburan akhir tahun lalu (18/12/2016). Keraton Jogyakarta, Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Pantai Parangtritis yang kami kunjungi kala itu, menyimpan narasi hidup.
Pada 13 Mei 2017 nanti, kami akan hadir kembali ke Jogja untuk merangkai narasi di ajang Indonesia Community Day (ICD) 2017, sekaligus mengapresiasi gagasan rekan-rekan komunitas KJOG selaku tuan rumah.
Kenangan Bermakna di Keraton Jogja
“Dunia layaknya buku, dan bagi mereka yang tidak melakukan perjalanan, berarti hanya membaca satu halaman saja”, demikian kata Saint Augustine.
Saat melakukan perjalanan ke Keraton Jogjakarta kala itu, saya mendapati nilai-nilai bermakna, seperti tercermin dalam cuplikan amanat penobatan HB-IX yang tersimpan di Keraton Jogja berikut ini.
Nilai cinta tanah air, juga tercermin dari para petinggi dan masyarakat Keraton yang "legowo" untuk tidak berpisah dengan Republik Indonesia pasca kemerdekaan RI. Hal ini terekam dalam petikan amanat Hamengku Buwono IX yang diteken pada tanggal 5 September 1945 berikut ini.
Dibalik dokumen-dokumen bersejarah itu, tentu menyimpan narasi panjang. Begitu juga dengan benda-benda bersejarah lainnya seperti beduk, kentongan, gamelan, blangkon, keris, dan masih banyak lagi. Video ini adalah kenangan saat bersama pemandu wisata Keraton Jogja (lihat video).
Saya mendapati, ada kearifan lokal yang dapat dipetik dari kehidupan Keraton Jogjakarta yang sudah berumur lebih dari 250 tahun itu. Kekayaan Keraton, menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi wisata budaya Jogja.
Pesan Di Balik Telapak Tangan
Siang hari selepas mengunjungi Keraton kala itu, kawan-kawan kami ada yang menuju ke Pasar Beringinharjo naik bendi dan becak. Sementara kami dan anak-anak, naik becak menuju area pakir, bermaksud melepas lelah sambil menunggu kawan-kawan bertemu di titik kumpul dekat Kantor BI Yogyakarta, depan Malioboro.
Apalagi yang menarik dengan Jogja di seputar kawasan Malioboro? Pikirku. Tak sengaja, kami melihat Rumah Pintar dekat Malioboro. Rupanya tempat ini cukup menarik untuk anak-anak. Mereka merasa asyik berada di tempat ini. Ada taman edukasi dan area bermain untuk anak-anak, masjid, plaza, toko souvenir, dan air mancur.
Lagi-lagi, saya mendapati salah satu pesan pemimpin Keraton Yogyakarta di tempat ini. Ada salah satu monumen bercap telapak tangan yang diteken oleh Seripaduka Hamengkubowo X yang berkaitan degan perilaku kasih terhadap kota. Sekilas isinya sederhana, tapi bagi saya pesannya cukup bermakna.
Pesan itu mengingatkan saya, saat berdiskusi dengan Pak Herman Soemarjono pada tahun 2013 lalu. Pemilik Hotel Splendid Inn, Kota Malang itu menegaskan, “bahwa dalam dunia pariwisata, hospitality (keramahan) itu merupakan roh, jiwa, semangat dari pariwisata itu sendiri”.
Manurutnya, “tanpa adanya hospitality dalam pariwisata, maka seluruh produk yang ditawarkan seperti benda mati yang tidak memiliki nilai untuk dijual”. Maknanya dalam, bukan?
Di kesempatan berbeda dia menceritakan, pernah ada pelanggan yang hendak menginap ke hotelnya dengan naik becak. Oleh penarik becak, diputar-putar dulu agar ada alasan pelanggan mau membayar ongkos lebih mahal dari semestinya, tuturnya. Nah… ?
Pak Herman yang ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Cabang Malang kala itu, berpendapat bahwa “selama mengunjungi wisata ASEAN, sesungguhnya wisata Indonesia jauh lebih menarik dari pada wisata yang ada di ASEAN. Bukankah begitu, saya kira Anda pun tahu”, tuturnya. Sayang, kita tidak dapat melayani dengan sepenuh hati, dengan hospitality, kira-kira begitu kritiknya.
Catatan Penutup: Sisi Lain di Pasar Beringinharjo
Saat berada di Jogja, kami menginap di hotel dekat Malioboro, sebelum paginya Balik ke Malang. Sebelum sempat memejamkan mata, kami sempat jalan-jalan di sekitar Titik Nol Jogja, dekat pasar Beringinharjo.
Pasarnya sih sudah tutup, tujuan kami hanya ingin mencari kopi dan makanan ringan. Eit… saya mendapati papan seruan untuk hati-hati terhadap, maaf, pencopet. Namun bersyukur, saya tidak pernah mengalami pencopetan selama di Jogja.
Namun harus diakui, Pasar Beringinharjo terkenal sebagai pasar batik murah. Seruan lain yang positip agar berbelanja hemat sesuai kebutuhan di pasar itu, patut mendapat apresiasi. Itulah sisi lain saat akhir tahun lalu berlibur di Yogyakarta.
Sampai jumpa di forum ICD Jogja. Kami bersama kawan-kawan asal Malang hendak merangkai narasi baru selama berada di sana. Keramahan Jogja, adalah magnit termahal yang membuat kami akan datang kembali! Yuk nikmati suasana Jogja Istimewa melalui "Song of Sabdatama berkut ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H