Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Mengenang Kepingan Narasi di Sekitar Keraton Jogja

11 Mei 2017   19:40 Diperbarui: 12 Mei 2017   11:17 1444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Menuju Museum Keraton Jogjakarta/Dok. Pribadi

Gamelan di Keraton Jogja/Dok. Pribadi
Gamelan di Keraton Jogja/Dok. Pribadi
Laiknya Bali, kekuatan Jogja sebagai kota wisata budaya terletak pada kreativitasnya dalam merawat tradisi dan membuat narasi. Tanpa narasi, maka tempat wisata laksana dunia sepi cerita. Bayangkan, andaikan Anda menonton tayangan “National Geographic” tanpa narasi, maka ia akan tampak seperti benda mati!

Pesan Di Balik Telapak Tangan 

Siang hari selepas mengunjungi Keraton kala itu, kawan-kawan kami ada yang menuju ke Pasar Beringinharjo naik bendi dan becak. Sementara kami dan anak-anak, naik becak menuju area pakir, bermaksud melepas lelah sambil menunggu kawan-kawan bertemu di titik kumpul dekat Kantor BI Yogyakarta, depan Malioboro.

Apalagi yang menarik dengan Jogja di seputar kawasan Malioboro? Pikirku. Tak sengaja, kami melihat Rumah Pintar dekat Malioboro. Rupanya tempat ini cukup menarik untuk anak-anak. Mereka merasa asyik berada di tempat ini. Ada taman edukasi dan area bermain untuk anak-anak, masjid, plaza, toko souvenir, dan air mancur.

Lagi-lagi, saya mendapati salah satu pesan pemimpin Keraton Yogyakarta di tempat ini. Ada salah satu monumen bercap telapak tangan yang diteken oleh Seripaduka Hamengkubowo X yang berkaitan degan perilaku kasih terhadap kota. Sekilas isinya sederhana, tapi bagi saya pesannya cukup bermakna.

Sebuah prasasti bertapak tangan/Dok. Pribadi
Sebuah prasasti bertapak tangan/Dok. Pribadi
“Kota kita tidak membutuhkan pujian yang berlebihan, dia hanya perlu sentuhan kasih dari hati nurani kita” (Petikan Pesan Hamengku Bowo X)

Pesan itu mengingatkan saya, saat berdiskusi dengan Pak Herman Soemarjono pada tahun 2013 lalu. Pemilik Hotel Splendid Inn, Kota Malang itu menegaskan, “bahwa dalam dunia pariwisata, hospitality (keramahan) itu merupakan roh, jiwa, semangat dari pariwisata itu sendiri”.

Manurutnya, “tanpa adanya hospitality dalam pariwisata, maka seluruh produk yang ditawarkan seperti benda mati yang tidak memiliki nilai untuk dijual”.  Maknanya dalam, bukan?

Di kesempatan berbeda dia menceritakan, pernah ada pelanggan yang hendak menginap ke hotelnya dengan naik becak. Oleh penarik becak, diputar-putar dulu agar ada alasan pelanggan mau membayar ongkos lebih mahal dari semestinya, tuturnya. Nah… ?

Pak Herman yang ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Cabang Malang kala itu, berpendapat bahwa “selama mengunjungi wisata ASEAN, sesungguhnya wisata Indonesia jauh lebih menarik dari pada wisata yang ada di ASEAN. Bukankah begitu, saya kira Anda pun tahu”, tuturnya. Sayang, kita tidak dapat melayani dengan sepenuh hati, dengan hospitality, kira-kira begitu kritiknya.

Catatan Penutup: Sisi Lain di Pasar Beringinharjo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun